Ayam jago di
luar rumah telah berkokok. Telingaku mendengar suara itu setelah ada seseorang
yang membangunkanku. Ia mengenakan kerudung warna biru muda mengkilap seperti
ada mutiara-mutiara di sekelilingnya. Suaranya lembut penuh kasih.
            ”Mas Barlian....Mas Burhan....Ayo
bangun, kita shalat shubuh bareng di mesjid. Ayah udah nunggu di luar. Cepetan yaa....!" Kata Hafshoh di dekat tempat tidur kami
lalu keluar dari kamar tanpa menutup kembali  pintu kamar.
            "Yan, Ian...ayo bangun! kita dah ditunggu." Kataku sambil menepuk-nepuk bahunya
yang empuk. Kalau bahuku
ditepuk mungkin tulang bahuku juga ikut kena. Maklum saja, tubuhku kurus. Tapi
alhamdulillah, Allah senantiasa memberikan kesehatan yang cukup. Kalau sakit,
paling-paling gatal-gatal atau batuk-batuk ringan.
            "Auuwww..." Ia mengigau
            Aku mengulanginya—membangunkan
Barlian yang kelihatannya masih digelayuti rasa kantuk.  Tak lama kemudian.
Ia bangkit. Matanya masih menutup rapat dengan kepala tertunduk ke bawah. 
            "Jam berapa, Han?" Tanya Barlian
            "Setengah lima kurang sepuluh,
ayo!" Ajakku
            Kelopak matanya mulai terbuka lalu
menggerak-gerakkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan untuk melemaskan
otot-otot tubuh. Kedua kakinya diselonjorkan sedangkan tangannya memutar-mutar
kepalanya sampai terdengar suara ”krekk...krekk”. Suara tulang lehernya
terdengar olehku.
            "Ayo, bismillah!” Katanya
seraya mengangkat tubuhnya keluar dari tempat tidur.
            Kami berjalan menuju kamar mandi dan
kembali lagi dari sana dalam keadaan suci. Lantunan ayat suci Al-Qur'an dari
sebuah ruangan terdengar telingaku. Bacaannya fasih dan tartil seperti qari'
Internasional tahun 1985, H. Muammar Z.A. Luar biasa suara Qari’ yang satu ini.
Beliau menjadi juara internasional di Kualalumpur pada tahun itu. Nafasnya
panjang sekali, bila dibandingkan dengan suara para penyanyi tidak ada
apa-apanya. Apalagi kalau beliau diundang dalam suatu acara di pesantren, waktu
satu jam beliau tuntaskan hanya untuk qira’ah. Ajaibnya beliau tidak lagi
membaca sebagaimana para qari’ pemula, beliau hafal luar kepala. Kalau orang
Kebumen mengatakan istilah tersebut dengan kata ’Apal Kecèpal’. Karena
saking hafalnya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dilantunkan. Suaranya merdu,
merdu sekali sampai merasuk ke dalam jiwa setiap insan. Tak jarang beliau
sampai menangis ketika melantunkan gema wahyu ilahi, tapi tidak dengan suara
tangisan seperti bayi yang minta minum susu atau seperti anak kecil yang
terjatuh dari sepeda. 
            "Yang sedang baca Al-Qur'an siapa,
Yan?" Tanyaku di dalam kamarnya.
            "Itu suara ayahku waktu masih
muda. Ada kasetnya kok..emangnya kenapa, Han?" Jawabnya sambil mencari
gaun yang cocok untuk pergi ke masjid.
            "Suaranya bagus. Aku salut pada
ayahmu.”
            "Kamu suka, Han?" Aku
mengangguk. ”Kamu boleh pinjem kok. Sante aja! Tapi nanti aja kalau mau pulang,
gimana?" Kata Barlian sehabis berpakaian ala ustadz dan mengusap minyak wangi
cair untuk kesegaran tubuh.
            "Oke.” Kataku
            Seseorang dari luar kamar membuka
pintu dan berdiri di tengahnya.
            "Ayo, semuanya! Sebentar lagi
iqamah.” Panggil ayah Barlian
            Kami bertiga beserta Hafshoh menuju
masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah beliau. Masjid yang megah,
tepatnya berada di sebelah selatan rumah mereka. Sesampainya di sana, iqamah
dikumandangkan oleh seorang muadzin yang telah berada di dekat pengimaman.
Namun sayang jama'ahnya hanya satu shof, itupun tidak penuh sampai dinding
pojok masjid. Alangkah indahnya desain bangunan masjid itu, sayang tak seindah
barisan jama'ah shalatnya. Sudah habis berapa ratus juta untuk mendirikan
bangunan suci itu, tapi setelah bangunan itu jadi, malah tidak digunakan
sebagaimana mestinya. Pada salah satu dinding masjid bertuliskan pernyataan
bahwa tanah masjid ini adalah waqaf seseorang yang bernama Haji Shidiq. Semoga
Allah senantiasa memberikan kemudahan dalam hidupnya dan pahala hingga masa
yang tak tertentu. Pahala orang yang mewaqafkan pasti akan terus mengalir
selama apa yang diwaqafkan masih bisa dimanfaatkan oleh umat manusia.
            Selimut-selimut hangat masih
membungkus mereka dalam dinginnya udara fajar. Detakan kecil jam dinding
semakin melelapkan telinganya diikuti sekujur tubuhnya yang meringkuk penuh
kenikmatan di atas bumi Allah. Sungguh bumi memanas akibat ulah tangan-tangan
manusia itu sendiri. Manusia yang tidak tahu bersyukur kepada Tuhannya, manusia
yang melalaikan shalatnya baik di waktu fajar maupun petang. Na’udzubillah
min dzalik
            Kesegaran tubuh telah pulih kembali.
Aku dan Barlian masih di dalam kamarnya, sementara Hafshoh beserta ayahnya
sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi di dapur. Tak lama kemudian Hafshoh
memanggil kami dari luar kamar.
            "Ma.....s, ayo sarapan
dulu!" Kata Hafshoh agak keras
            Kami yang masih mengenakan sarung
segera memenuhi panggilannya di meja makan. Kami berempat duduk saling
berhadapan, Barlian berhadapan dengan ayahnya sedangkan Aku bertemu empat mata dengan
gadis tercantik di ruangan itu. 
            "Mari Mas Burhan, anggap aja
rumah sendiri. Barlian, ayo donk Burhan diajak!" Kata H. Shidiq kepada anak
laki-lakinya.
            "Emangnya mau kemana, Yah? Kok
diajak segala.” Kata Barlian sambil tersenyum kecil. ”Tapi nggak masalah kok,
Burhan kan orangnya pemalu banget. Kemarin aja pas mau kenalan sama Hafshoh.
Ah..enggaklah.” Kata Barlian sambil melebarkan senyum.
            Aku tersipu malu oleh kata-kata Barlian
barusan. Lalu kami pun sarapan bersama dengan penuh kenikmatan.
            "Bismillahirrahmanirrahim,
Allahumma baariklana fii maa razaqtanaa waqinaa 'adzaa bannaar.”[1] Kami berdo'a bersama. 
Di sela-sela
menyantap hidangan....
            "Gimana Mas Burhan, dengan masakannya
?" Kata H. Shidiq
            "Alhamdulillah...enak sekali.”
Jawabku
            "Siapa dulu yang masak? Hafshoo..h.
Kalau dia yang masak pasti oke banget. Lebih-lebih sekarang lagi ada tamu, yang
penting nii.h jangan kebanyakan garam!" Barlian nyelonong sehabis suapan
terakhir
            "Ah...Mas Barlian bisa aja. Ini
kan resep dari Ibu. Kalau orang lain suka makanan buatan Hafshoh itu berarti
ibu juga senang kan. Aku ingin selalu membuat ibu senang, meskipun ibu sudah
tidak ada.” Kata Hafshoh sambil mengenang almarhumah tercinta.
            "Kalau sudah selesai semua, ayo
kita langsung berangkat? Ntar kalian telat lagi.” Kata ayahnya
            "Oh..iya, Yah.”
            "Ada apa, Yan?" Tanya ayahnya
kepada Barlian
            "Itu.
Burhan mau pinjem kaset tilawah ayah, katanya ia tertarik pada suara merdu
ayah, gimana Yah boleh kan?" Pintanya
            "Kaset?....kaset yang mana
ya?"
            "Itu lho Yaah, kaset tilawah
yang tadi shubuh diputer di kamar ayah. Rekaman suara ayah waktu masih muda
dulu. Masa lupa sih...?”
            "Oo...itu, Boleh, kenapa tidak? Nanti biar ayah
ambilkan di kamar. Sekarang  kalian ganti
pakaian sekolah dulu. Setelah itu kita berangkat bersama sekalian mengantar
Burhan ke pesantren.”
            "Baik, Yah.” Kata Barlian dan
Hafshoh kompak
            Beliau
masuk ke kamarnya untuk mengambilkan kaset yang akan kupinjam. Setelah beberapa
saat, kami pun go out dan meninggalkan rumah beliau.
Sesampainya di
depan pesantren. Sinar mentari sudah menyapa ramah sekali.
            "Terima kasih banyak, Pak.”
Kataku pada H. Shidiq
            Beliau tersenyum tulus lantas melaju kencang ke
arah timur. Melintasi desa karang sari dan sekolah kejuruan yang berada di
sebelah timur perempatan desa tersebut. Teman-temanku masih ramai di kamar
mandi seperti hari-hari biasanya. Kupasang kopiah di kepalaku, rambut depan
kelihatan sebagian. Aku masuk dengan mengendap-endap seperti anak kecil yang
sedang main petak umpet. Kamar-kamar sudah sepi, akan tetapi lampu-lampu
masih banyak yang menyala-berbaur dengan sinar mentari pagi. 
            Mataku melirik sebuah Hape milik
Jehan di atas almarinya. Pukul enam lewat empat lima menit. Aku sudah terbiasa
dengan waktu seperti itu. Saatnya membagi waktu yang sudah mèpèt itu. Dalam
waktu dua menit aku harus sudah memakai seragam sekolah, putih abu-abu. Satu menit untuk menata rambut dan dua
menit terakhir kugunakan untuk menata buku pelajaran dan bersepatu.
            "Yah, aku masih punya sisa
waktu sepuluh menit untuk ke sekolah.” Kataku sambil mengatur nafas. 
            Pagi ini Kang Soleh tidak bisa
mengantarku ke sekolah karena Gus Husein sedang sakit dan ia diminta Abah untuk
menemaninya di ndalem. Saat ini Gus Husein masih duduk di sekolah dasar, ia
anak ragil pengasuh pondokku. Enaknya jadi Kang Soleh, bisa makan minum, mandi
di rumah Pak Yai dengan gratis. Pasti enak-enak lauk dan sayurnya. Ah...tak
tahulah, apakah memang seperti itu atau tidak?
            "Han, ditunggu temanmu di luar.”
Kata Syukron yang sudah siap berangkat ke sekolah. Ternyata ia juga belum
berangkat. Sekarang baru kelas VIII di Tsanawiyyah.            
            "Siapa, Kron?"
            "Nggak tahu, tadi Anton yang
bilang sama aku saat papasan di pintu gerbang.”
            "Anton yang bilang? Lalu siapa
yang menungguku di sana?" Batinku masih penasaran. Kuambil tas dan
sepatuku lalu melangkahkan kaki keluar dari pondok. Di sana berdiri seorang
siswa berpakaian seperti seragamku dengan mengenakan helm standar. Wajahnya tak
jelas karena tertutupi oleh warna kaca yang gelap.
            Ia membuka helm lantas tersenyum
renyah memperhatikan kedatanganku. Namun ia bukanlah orang yang asing bagiku,
aku paham betul siapa dia. Dia Anton, salah satu temanku di pondok Al-Miftah. 
            "Eh, Burhan. Kamu mau ke
sekolah kan? Melu aku bae yuh...[2]
Daripada jalan kaki, kan mending naik motor. Angkotan dah penuh semua. Nggak bakalan
kamu bisa sampai ke sekolah tepat waktu!" Katanya seraya menyodorkan
sebuah helm cakil. Pake helm seperti ini, kalau ketahuan polisi pasti kena
tilang. 
            "Tapi.....? Katanya ada temanku
yang sedang nunggu di sini. Apa bener, Ton?"
            "Aa....h nggak usah dipikirin.
Dia udah pergi. Ayo, dah siang nih. Mau ikut nggak?" Katanya 
            Dengan terpaksa aku ikut Anton
bersama motor barunya yang dibeli satu bulan kemarin. Ia jadi jarang tinggal di
pesantren, kesenangan itu telah membuatnya lalai dari kewajibannya di
pesantren. Maka wajar saja kalau dia sering dipanggil pihak keamanan. Ia
mengendarai motornya kencang sekali. Aku semakin ragu akan niat baiknya
memboncengku ke sekolah.
            "Eh, Ton. Kita mau ke mana?
Jalan menuju sekolah kita bukan lewat sini.” Suaraku keras di telinga Anton.
            "Sudah la..h, nggak usah banyak
komentar. Ntar juga nyampe!" Jawabnya
            "Iya...tapi aku mau ke sekolah,
terlalu lama kalau lewat sini. Aku mau ke sekolahan, Toon.” Kecurigaanku muncul
semakin kuat.
            "Aku juga mau sekolah, Han.
Bukan cuma kamu aja yang pengin pinter kan?” Katanya membalas
            Beberapa menit kemudian, ia
menghentikan laju motornya di tepi stadion Candradimuka, stadion yang sering
digunakan untuk konser grup band ternama di negeri ini. Pas di pertigaan menuju
jalan Arumbinang, kami berdiri saling berhadapan. Kedua mata kami saling
memandang dengan sangat kuat.  Mungkin
wajahku telah memerah karena menahan amarah padanya, tapi aku tetap berusaha
mengendalikan emosi yang terus bergejolak. Ia melempar senyum sinis seraya
menatapku serius. 
            "Kamu kaget ya, Han. Aku bawa
ke tempat ini?" Katanya
            "Langsung aja Ton, apa maumu
sekarang. Buang-buang waktu aja." Kataku setengah emosi
            "Sabar dong, Han. Kan tak sepantasnya
kamu berkata seperti itu. Katanya orang nomer satu di sekolahan, Jadi aku harap
kau bisa tenang sedikit!" 
            "Oke!" Aku mengalah. Tapi,
hatiku selalu resah karena teringat bel sekolahan pasti sudah berdering tiga
kali. Kena hukuman guru piket. Takut ketahuan pembina OSIS yang tegasnya bukan
main. Sekali saja pengurus OSIS plin-plan—pasti langsung kena teguran. 
            "Aku
hanya butuh bantuanmu, Burhan Cakee....p. Aku yakin kamu pasti bisa
melakukannya.” Katanya pede habis.
            "Bantuan? Bantuan apa Ton?
Nggak ada duit."
            "E......bukan itu. Aku dah
punya banyak, nggak usah lah. Gini, Han. Kamu tahu Hafshoh kan, itu...adiknya
Barlian. Denger-denger kini kamu sudah mulai deket sama kedua anak Haji Shidiq
itu. Mereka anak yang baik, tampan dan juga cantik. Dan kau juga tahu kalau
Hafshoh itu adalah gadis terpopuler di sekolah kita, tentu kau tertarik dengan
gadis itu, bukan?" Katanya sok tahu.
            "Trus, apa hubungannya denganku?”
            "Terus terang aku pengin
deketin dia, Han. Boleh nggak? Tapi harus boleh karena aku.....aku sangat
menyukai gadis yang cantik. Nah, aku butuh bantuanmu biar aku bisa mengenalnya
lebih deket sama dia. Jalan satu-satunya ya lewat kamu. Kamu pasti bisa pertemukan
aku dengannya!
            Memang tubuhnya lebih sangar
dibandingkan tubuhku. Aku pasti kalah andai saja kami berkelahi satu lawan
satu. Ia tidak gemuk dan tidak juga kurus, sedangkan aku. Perawakan sedang lah.
Gemuk tidak, kurus iya.  Inilah pemberian
Allah yang harus aku terima, Dia-lah yang membentuk rupa manusia di dunia ini
sesuai dengan kehendak-Nya. Bapak Ibu pun tak mampu memesan dan menginginkan
anak yang kuat, tampan dan tanpa cacat. Semua orang memiliki kekurangan, baik
fisik maupun wataknya. Tinggal disyukuri saja apa yang sudah ada.
”Aku sudah susun rencana bagus buat yang satu ini. Sabtu besok, sekolah
kita kan pulang gasik. Lalu Barlian pasti ada acara nge-Band di luar
sekolah. Sedangkan Hafshoh seperti yang sudah kamu ketahui, biasanya ia
langsung pulang atau main ke rumah temennya. Untuk itu, kamu harus bujuk dia Han
supaya jangan keburu pulang. Aku tunggu di samping gardu sekolah sebelah timur.”
Kata Anton lancar.
Aku tak tahu pasti kenapa ia memilih di luar sekolah, padahal di dalam
sekolah pun lebih mudah dan pastinya bisa sambil istirahat. 
 ”Jangan salahkan aku ya, kalau kamu nggak
mau memenuhi permintaanku!" Lidahnya bersilat lincah mengancamku. Ia
berkacak pinggang sambil tertawa menggelegar. Bajunya sudah dikeluarkan beberapa
menit yang lalu. Cahaya sang surya telah menaik lebih tinggi. Sungguh sial
nasibku pagi ini. Ach....
            Kata-katanya telah membuatku membisu.
Lalu ia pun mengantarku ke sekolah dan menurunkan di depan gardu sebelah timur
sekolah. Ada sedikit terbersit dalam hatiku rasa takut pada guru piket yang
sedang berjaga. Begitu pula aku takut meminta Hafshoh untuk memenuhi permintaan
Anton esok hari. Siswa yang terkenal brutal dan liar, satu sekolahan sudah
paham dengan tingkah lakunya. Kedua orang tuanya sibuk kerja di luar kota,
sehingga tak ada yang memperhatikannya lebih, sebagaimana perhatian orang tua
kepada putra-putrinya. Bapaknya menitipkan di pesantren Al-Miftah lalu
ditinggal begitu saja, hanya uang bulanan yang ia terima. Mana cukup untuk
membentuk karakter seorang anak? Masalah moral terserah, padahal seseorang itu
dianggap punya wibawa baik dihadapan manusia maupun Tuhannya bila ia bermoral,
punya akhlak yang mulia. Akhlaakul Kariimah. Sungguh sangat disayangkan.
Harta benda bukanlah sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan ini, ia tidak
lebih hanya sekedar titipan yang setiap waktu bisa diambil pemiliknya. 
            Guru piket mencatat nama dan kelasku
di buku besar, kulirik jarum jam di belakang mereka. Pukul 07.15. Itu artinya
aku sudah terlambat lima belas menit. Malu rasanya bertatap muka dengan para
pegawai sekolah, apalagi bertemu dengan teman seorganisasi yang sedang sibuk
mempersiapkan latihan upacara hari senin besok.
            ”Ada
pembina OSIS nggak ya?” Batinku ketar-ketir tak karuan. Aku tetap berjalan
santai sambil menarik nafas sedikit demi sedikit.
Aku pura-pura
tak melihat mereka. Meskipun pengurus OSIS, mereka tak luput dari kesalahan.
Aku pun dihukum guru piket, lumayan juga disuruh menyapu lantai gedung
bertingkat depan ruang Lab IPA. Ruangan itu persis berada di atas ruang guru
serta menghadap ke arah utara. Syukurlah, bukan di lantai bawah. Kalau di dekat
kelas, pasti banyak siswa yang mengetahuinya. 
”Pengurus OSIS kok datang telat. Katanya jadi teladan?” Dugaanku akan
kata-kata para siswa. 
            Selesai dari hukuman. Aku mengambil
tas sekolah di dekat meja guru piket dan mengambil surat izin masuk kelas. Setiap
kelas sedang melangsungkan tadarus rutin hari Jum'at. Ya...membaca surat Yasin satu
kali. Aku melewati beberapa ruang kelas dan menuju ruang kelasku yang tak jauh
dari ruang OSIS. Belum sampai di depan pintu kelasku, seseorang dari ruang OSIS
melambaikan tangannya seakan menarik tubuhku memasuki ruangan yang kecil itu.
Sosok itu tak lain adalah ketua OSIS di sekolahku. Muslih, itulah panggilan
akrabnya. Sang pemimpin yang memiliki tanggung jawab cukup besar dan menjadi
sorotan utama para siswa kelas X sampai XII. Orangnya kecil, kulitnya putih dan
memakai kacamata. Ia cerdas bukan main, ia lah salah satu sainganku di sekolah.
Tapi kami tetap berlomba-lomba menjadi yang terbaik secara fair, tidak ada
kecurangan di sana-sini, mencontek apalagi menjiplak garapan PR punya teman.
            Ia menanyakan alasan keterlambatanku
hari ini, wataknya yang tegas menjadikan teman-temanku yang ada di ruangan itu
bertindak cepat melaksanakan tugas sebagai pengurus OSIS. Hari ini tugasnya
latihan upacara di halaman sekolah. 
            "Han, tolong kamu nanti atur
posisi setiap petugas beserta barisan peserta upacara ya! Dan ini susunan
acaranya tolong sampaikan pada Ratna. Sekarang ia sudah ada disana.” Kata Muslih
dengan nada suara lincah. Ia keluar dari ruangan. Aku kasihan kalau ia sampai
dimarahi pembina OSIS, meskipun ia melakukan pembelaan diri, tapi sia-sia.
Seringkali pembelaan itu ditolak sehingga selesai menghadap pembina kamilah
yang menjadi sasaran kemarahan sang ketua. Kini tinggal aku seorang. Pikiranku
semakin bercabang-tak tahu arah dimana ujungnya. Segera kutanggalkan tas di
ruang OSIS dan langsung menuju lapangan tempat latihan upacara. Tak terasa
jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.45 WIB.

 
 
No comments:
Post a Comment