Friday, March 2, 2012

NOVEL MdC BAGIAN 3



            Ayam jago di luar rumah telah berkokok. Telingaku mendengar suara itu setelah ada seseorang yang membangunkanku. Ia mengenakan kerudung warna biru muda mengkilap seperti ada mutiara-mutiara di sekelilingnya. Suaranya lembut penuh kasih.

            ”Mas Barlian....Mas Burhan....Ayo bangun, kita shalat shubuh bareng di mesjid. Ayah udah nunggu di luar. Cepetan yaa....!" Kata Hafshoh di dekat tempat tidur kami lalu keluar dari kamar tanpa menutup kembali  pintu kamar.
            "Yan, Ian...ayo bangun! kita dah ditunggu." Kataku sambil menepuk-nepuk bahunya yang empuk. Kalau bahuku ditepuk mungkin tulang bahuku juga ikut kena. Maklum saja, tubuhku kurus. Tapi alhamdulillah, Allah senantiasa memberikan kesehatan yang cukup. Kalau sakit, paling-paling gatal-gatal atau batuk-batuk ringan.
            "Auuwww..." Ia mengigau
            Aku mengulanginya—membangunkan Barlian yang kelihatannya masih digelayuti rasa kantuk.  Tak lama kemudian.
Ia bangkit. Matanya masih menutup rapat dengan kepala tertunduk ke bawah.
            "Jam berapa, Han?" Tanya Barlian
            "Setengah lima kurang sepuluh, ayo!" Ajakku
            Kelopak matanya mulai terbuka lalu menggerak-gerakkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan untuk melemaskan otot-otot tubuh. Kedua kakinya diselonjorkan sedangkan tangannya memutar-mutar kepalanya sampai terdengar suara ”krekk...krekk”. Suara tulang lehernya terdengar olehku.
            "Ayo, bismillah!” Katanya seraya mengangkat tubuhnya keluar dari tempat tidur.
            Kami berjalan menuju kamar mandi dan kembali lagi dari sana dalam keadaan suci. Lantunan ayat suci Al-Qur'an dari sebuah ruangan terdengar telingaku. Bacaannya fasih dan tartil seperti qari' Internasional tahun 1985, H. Muammar Z.A. Luar biasa suara Qari’ yang satu ini. Beliau menjadi juara internasional di Kualalumpur pada tahun itu. Nafasnya panjang sekali, bila dibandingkan dengan suara para penyanyi tidak ada apa-apanya. Apalagi kalau beliau diundang dalam suatu acara di pesantren, waktu satu jam beliau tuntaskan hanya untuk qira’ah. Ajaibnya beliau tidak lagi membaca sebagaimana para qari’ pemula, beliau hafal luar kepala. Kalau orang Kebumen mengatakan istilah tersebut dengan kata ’Apal Kecèpal’. Karena saking hafalnya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dilantunkan. Suaranya merdu, merdu sekali sampai merasuk ke dalam jiwa setiap insan. Tak jarang beliau sampai menangis ketika melantunkan gema wahyu ilahi, tapi tidak dengan suara tangisan seperti bayi yang minta minum susu atau seperti anak kecil yang terjatuh dari sepeda.
            "Yang sedang baca Al-Qur'an siapa, Yan?" Tanyaku di dalam kamarnya.
            "Itu suara ayahku waktu masih muda. Ada kasetnya kok..emangnya kenapa, Han?" Jawabnya sambil mencari gaun yang cocok untuk pergi ke masjid.
            "Suaranya bagus. Aku salut pada ayahmu.”
            "Kamu suka, Han?" Aku mengangguk. ”Kamu boleh pinjem kok. Sante aja! Tapi nanti aja kalau mau pulang, gimana?" Kata Barlian sehabis berpakaian ala ustadz dan mengusap minyak wangi cair untuk kesegaran tubuh.
            "Oke.” Kataku
            Seseorang dari luar kamar membuka pintu dan berdiri di tengahnya.
            "Ayo, semuanya! Sebentar lagi iqamah.” Panggil ayah Barlian
            Kami bertiga beserta Hafshoh menuju masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah beliau. Masjid yang megah, tepatnya berada di sebelah selatan rumah mereka. Sesampainya di sana, iqamah dikumandangkan oleh seorang muadzin yang telah berada di dekat pengimaman. Namun sayang jama'ahnya hanya satu shof, itupun tidak penuh sampai dinding pojok masjid. Alangkah indahnya desain bangunan masjid itu, sayang tak seindah barisan jama'ah shalatnya. Sudah habis berapa ratus juta untuk mendirikan bangunan suci itu, tapi setelah bangunan itu jadi, malah tidak digunakan sebagaimana mestinya. Pada salah satu dinding masjid bertuliskan pernyataan bahwa tanah masjid ini adalah waqaf seseorang yang bernama Haji Shidiq. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan dalam hidupnya dan pahala hingga masa yang tak tertentu. Pahala orang yang mewaqafkan pasti akan terus mengalir selama apa yang diwaqafkan masih bisa dimanfaatkan oleh umat manusia.
            Selimut-selimut hangat masih membungkus mereka dalam dinginnya udara fajar. Detakan kecil jam dinding semakin melelapkan telinganya diikuti sekujur tubuhnya yang meringkuk penuh kenikmatan di atas bumi Allah. Sungguh bumi memanas akibat ulah tangan-tangan manusia itu sendiri. Manusia yang tidak tahu bersyukur kepada Tuhannya, manusia yang melalaikan shalatnya baik di waktu fajar maupun petang. Na’udzubillah min dzalik
            Kesegaran tubuh telah pulih kembali. Aku dan Barlian masih di dalam kamarnya, sementara Hafshoh beserta ayahnya sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi di dapur. Tak lama kemudian Hafshoh memanggil kami dari luar kamar.
            "Ma.....s, ayo sarapan dulu!" Kata Hafshoh agak keras
            Kami yang masih mengenakan sarung segera memenuhi panggilannya di meja makan. Kami berempat duduk saling berhadapan, Barlian berhadapan dengan ayahnya sedangkan Aku bertemu empat mata dengan gadis tercantik di ruangan itu.
            "Mari Mas Burhan, anggap aja rumah sendiri. Barlian, ayo donk Burhan diajak!" Kata H. Shidiq kepada anak laki-lakinya.
            "Emangnya mau kemana, Yah? Kok diajak segala.” Kata Barlian sambil tersenyum kecil. ”Tapi nggak masalah kok, Burhan kan orangnya pemalu banget. Kemarin aja pas mau kenalan sama Hafshoh. Ah..enggaklah.” Kata Barlian sambil melebarkan senyum.
            Aku tersipu malu oleh kata-kata Barlian barusan. Lalu kami pun sarapan bersama dengan penuh kenikmatan.
            "Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma baariklana fii maa razaqtanaa waqinaa 'adzaa bannaar.”[1] Kami berdo'a bersama.
Di sela-sela menyantap hidangan....
            "Gimana Mas Burhan, dengan masakannya ?" Kata H. Shidiq
            "Alhamdulillah...enak sekali.” Jawabku
            "Siapa dulu yang masak? Hafshoo..h. Kalau dia yang masak pasti oke banget. Lebih-lebih sekarang lagi ada tamu, yang penting nii.h jangan kebanyakan garam!" Barlian nyelonong sehabis suapan terakhir
            "Ah...Mas Barlian bisa aja. Ini kan resep dari Ibu. Kalau orang lain suka makanan buatan Hafshoh itu berarti ibu juga senang kan. Aku ingin selalu membuat ibu senang, meskipun ibu sudah tidak ada.” Kata Hafshoh sambil mengenang almarhumah tercinta.
            "Kalau sudah selesai semua, ayo kita langsung berangkat? Ntar kalian telat lagi.” Kata ayahnya
            "Oh..iya, Yah.”
            "Ada apa, Yan?" Tanya ayahnya kepada Barlian
            "Itu. Burhan mau pinjem kaset tilawah ayah, katanya ia tertarik pada suara merdu ayah, gimana Yah boleh kan?" Pintanya
            "Kaset?....kaset yang mana ya?"
            "Itu lho Yaah, kaset tilawah yang tadi shubuh diputer di kamar ayah. Rekaman suara ayah waktu masih muda dulu. Masa lupa sih...?”
            "Oo...itu, Boleh, kenapa tidak? Nanti biar ayah ambilkan di kamar. Sekarang  kalian ganti pakaian sekolah dulu. Setelah itu kita berangkat bersama sekalian mengantar Burhan ke pesantren.”
            "Baik, Yah.” Kata Barlian dan Hafshoh kompak
            Beliau masuk ke kamarnya untuk mengambilkan kaset yang akan kupinjam. Setelah beberapa saat, kami pun go out dan meninggalkan rumah beliau.
Sesampainya di depan pesantren. Sinar mentari sudah menyapa ramah sekali.
            "Terima kasih banyak, Pak.” Kataku pada H. Shidiq
            Beliau tersenyum tulus lantas melaju kencang ke arah timur. Melintasi desa karang sari dan sekolah kejuruan yang berada di sebelah timur perempatan desa tersebut. Teman-temanku masih ramai di kamar mandi seperti hari-hari biasanya. Kupasang kopiah di kepalaku, rambut depan kelihatan sebagian. Aku masuk dengan mengendap-endap seperti anak kecil yang sedang main petak umpet. Kamar-kamar sudah sepi, akan tetapi lampu-lampu masih banyak yang menyala-berbaur dengan sinar mentari pagi.
            Mataku melirik sebuah Hape milik Jehan di atas almarinya. Pukul enam lewat empat lima menit. Aku sudah terbiasa dengan waktu seperti itu. Saatnya membagi waktu yang sudah mèpèt itu. Dalam waktu dua menit aku harus sudah memakai seragam sekolah, putih abu-abu. Satu menit untuk menata rambut dan dua menit terakhir kugunakan untuk menata buku pelajaran dan bersepatu.
            "Yah, aku masih punya sisa waktu sepuluh menit untuk ke sekolah.” Kataku sambil mengatur nafas.
            Pagi ini Kang Soleh tidak bisa mengantarku ke sekolah karena Gus Husein sedang sakit dan ia diminta Abah untuk menemaninya di ndalem. Saat ini Gus Husein masih duduk di sekolah dasar, ia anak ragil pengasuh pondokku. Enaknya jadi Kang Soleh, bisa makan minum, mandi di rumah Pak Yai dengan gratis. Pasti enak-enak lauk dan sayurnya. Ah...tak tahulah, apakah memang seperti itu atau tidak?
            "Han, ditunggu temanmu di luar.” Kata Syukron yang sudah siap berangkat ke sekolah. Ternyata ia juga belum berangkat. Sekarang baru kelas VIII di Tsanawiyyah.           
            "Siapa, Kron?"
            "Nggak tahu, tadi Anton yang bilang sama aku saat papasan di pintu gerbang.”
            "Anton yang bilang? Lalu siapa yang menungguku di sana?" Batinku masih penasaran. Kuambil tas dan sepatuku lalu melangkahkan kaki keluar dari pondok. Di sana berdiri seorang siswa berpakaian seperti seragamku dengan mengenakan helm standar. Wajahnya tak jelas karena tertutupi oleh warna kaca yang gelap.
            Ia membuka helm lantas tersenyum renyah memperhatikan kedatanganku. Namun ia bukanlah orang yang asing bagiku, aku paham betul siapa dia. Dia Anton, salah satu temanku di pondok Al-Miftah.
            "Eh, Burhan. Kamu mau ke sekolah kan? Melu aku bae yuh...[2] Daripada jalan kaki, kan mending naik motor. Angkotan dah penuh semua. Nggak bakalan kamu bisa sampai ke sekolah tepat waktu!" Katanya seraya menyodorkan sebuah helm cakil. Pake helm seperti ini, kalau ketahuan polisi pasti kena tilang.
            "Tapi.....? Katanya ada temanku yang sedang nunggu di sini. Apa bener, Ton?"
            "Aa....h nggak usah dipikirin. Dia udah pergi. Ayo, dah siang nih. Mau ikut nggak?" Katanya
            Dengan terpaksa aku ikut Anton bersama motor barunya yang dibeli satu bulan kemarin. Ia jadi jarang tinggal di pesantren, kesenangan itu telah membuatnya lalai dari kewajibannya di pesantren. Maka wajar saja kalau dia sering dipanggil pihak keamanan. Ia mengendarai motornya kencang sekali. Aku semakin ragu akan niat baiknya memboncengku ke sekolah.
            "Eh, Ton. Kita mau ke mana? Jalan menuju sekolah kita bukan lewat sini.” Suaraku keras di telinga Anton.
            "Sudah la..h, nggak usah banyak komentar. Ntar juga nyampe!" Jawabnya
            "Iya...tapi aku mau ke sekolah, terlalu lama kalau lewat sini. Aku mau ke sekolahan, Toon.” Kecurigaanku muncul semakin kuat.
            "Aku juga mau sekolah, Han. Bukan cuma kamu aja yang pengin pinter kan?” Katanya membalas
            Beberapa menit kemudian, ia menghentikan laju motornya di tepi stadion Candradimuka, stadion yang sering digunakan untuk konser grup band ternama di negeri ini. Pas di pertigaan menuju jalan Arumbinang, kami berdiri saling berhadapan. Kedua mata kami saling memandang dengan sangat kuat.  Mungkin wajahku telah memerah karena menahan amarah padanya, tapi aku tetap berusaha mengendalikan emosi yang terus bergejolak. Ia melempar senyum sinis seraya menatapku serius.
            "Kamu kaget ya, Han. Aku bawa ke tempat ini?" Katanya
            "Langsung aja Ton, apa maumu sekarang. Buang-buang waktu aja." Kataku setengah emosi
            "Sabar dong, Han. Kan tak sepantasnya kamu berkata seperti itu. Katanya orang nomer satu di sekolahan, Jadi aku harap kau bisa tenang sedikit!"
            "Oke!" Aku mengalah. Tapi, hatiku selalu resah karena teringat bel sekolahan pasti sudah berdering tiga kali. Kena hukuman guru piket. Takut ketahuan pembina OSIS yang tegasnya bukan main. Sekali saja pengurus OSIS plin-plan—pasti langsung kena teguran.
            "Aku hanya butuh bantuanmu, Burhan Cakee....p. Aku yakin kamu pasti bisa melakukannya.” Katanya pede habis.
            "Bantuan? Bantuan apa Ton? Nggak ada duit."
            "E......bukan itu. Aku dah punya banyak, nggak usah lah. Gini, Han. Kamu tahu Hafshoh kan, itu...adiknya Barlian. Denger-denger kini kamu sudah mulai deket sama kedua anak Haji Shidiq itu. Mereka anak yang baik, tampan dan juga cantik. Dan kau juga tahu kalau Hafshoh itu adalah gadis terpopuler di sekolah kita, tentu kau tertarik dengan gadis itu, bukan?" Katanya sok tahu.
            "Trus, apa hubungannya denganku?”
            "Terus terang aku pengin deketin dia, Han. Boleh nggak? Tapi harus boleh karena aku.....aku sangat menyukai gadis yang cantik. Nah, aku butuh bantuanmu biar aku bisa mengenalnya lebih deket sama dia. Jalan satu-satunya ya lewat kamu. Kamu pasti bisa pertemukan aku dengannya!
            Memang tubuhnya lebih sangar dibandingkan tubuhku. Aku pasti kalah andai saja kami berkelahi satu lawan satu. Ia tidak gemuk dan tidak juga kurus, sedangkan aku. Perawakan sedang lah. Gemuk tidak, kurus iya.  Inilah pemberian Allah yang harus aku terima, Dia-lah yang membentuk rupa manusia di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya. Bapak Ibu pun tak mampu memesan dan menginginkan anak yang kuat, tampan dan tanpa cacat. Semua orang memiliki kekurangan, baik fisik maupun wataknya. Tinggal disyukuri saja apa yang sudah ada.
”Aku sudah susun rencana bagus buat yang satu ini. Sabtu besok, sekolah kita kan pulang gasik. Lalu Barlian pasti ada acara nge-Band di luar sekolah. Sedangkan Hafshoh seperti yang sudah kamu ketahui, biasanya ia langsung pulang atau main ke rumah temennya. Untuk itu, kamu harus bujuk dia Han supaya jangan keburu pulang. Aku tunggu di samping gardu sekolah sebelah timur.” Kata Anton lancar.
Aku tak tahu pasti kenapa ia memilih di luar sekolah, padahal di dalam sekolah pun lebih mudah dan pastinya bisa sambil istirahat.
 ”Jangan salahkan aku ya, kalau kamu nggak mau memenuhi permintaanku!" Lidahnya bersilat lincah mengancamku. Ia berkacak pinggang sambil tertawa menggelegar. Bajunya sudah dikeluarkan beberapa menit yang lalu. Cahaya sang surya telah menaik lebih tinggi. Sungguh sial nasibku pagi ini. Ach....
            Kata-katanya telah membuatku membisu. Lalu ia pun mengantarku ke sekolah dan menurunkan di depan gardu sebelah timur sekolah. Ada sedikit terbersit dalam hatiku rasa takut pada guru piket yang sedang berjaga. Begitu pula aku takut meminta Hafshoh untuk memenuhi permintaan Anton esok hari. Siswa yang terkenal brutal dan liar, satu sekolahan sudah paham dengan tingkah lakunya. Kedua orang tuanya sibuk kerja di luar kota, sehingga tak ada yang memperhatikannya lebih, sebagaimana perhatian orang tua kepada putra-putrinya. Bapaknya menitipkan di pesantren Al-Miftah lalu ditinggal begitu saja, hanya uang bulanan yang ia terima. Mana cukup untuk membentuk karakter seorang anak? Masalah moral terserah, padahal seseorang itu dianggap punya wibawa baik dihadapan manusia maupun Tuhannya bila ia bermoral, punya akhlak yang mulia. Akhlaakul Kariimah. Sungguh sangat disayangkan. Harta benda bukanlah sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan ini, ia tidak lebih hanya sekedar titipan yang setiap waktu bisa diambil pemiliknya.
            Guru piket mencatat nama dan kelasku di buku besar, kulirik jarum jam di belakang mereka. Pukul 07.15. Itu artinya aku sudah terlambat lima belas menit. Malu rasanya bertatap muka dengan para pegawai sekolah, apalagi bertemu dengan teman seorganisasi yang sedang sibuk mempersiapkan latihan upacara hari senin besok.
            ”Ada pembina OSIS nggak ya?” Batinku ketar-ketir tak karuan. Aku tetap berjalan santai sambil menarik nafas sedikit demi sedikit.
Aku pura-pura tak melihat mereka. Meskipun pengurus OSIS, mereka tak luput dari kesalahan. Aku pun dihukum guru piket, lumayan juga disuruh menyapu lantai gedung bertingkat depan ruang Lab IPA. Ruangan itu persis berada di atas ruang guru serta menghadap ke arah utara. Syukurlah, bukan di lantai bawah. Kalau di dekat kelas, pasti banyak siswa yang mengetahuinya.
”Pengurus OSIS kok datang telat. Katanya jadi teladan?” Dugaanku akan kata-kata para siswa.
            Selesai dari hukuman. Aku mengambil tas sekolah di dekat meja guru piket dan mengambil surat izin masuk kelas. Setiap kelas sedang melangsungkan tadarus rutin hari Jum'at. Ya...membaca surat Yasin satu kali. Aku melewati beberapa ruang kelas dan menuju ruang kelasku yang tak jauh dari ruang OSIS. Belum sampai di depan pintu kelasku, seseorang dari ruang OSIS melambaikan tangannya seakan menarik tubuhku memasuki ruangan yang kecil itu. Sosok itu tak lain adalah ketua OSIS di sekolahku. Muslih, itulah panggilan akrabnya. Sang pemimpin yang memiliki tanggung jawab cukup besar dan menjadi sorotan utama para siswa kelas X sampai XII. Orangnya kecil, kulitnya putih dan memakai kacamata. Ia cerdas bukan main, ia lah salah satu sainganku di sekolah. Tapi kami tetap berlomba-lomba menjadi yang terbaik secara fair, tidak ada kecurangan di sana-sini, mencontek apalagi menjiplak garapan PR punya teman.
            Ia menanyakan alasan keterlambatanku hari ini, wataknya yang tegas menjadikan teman-temanku yang ada di ruangan itu bertindak cepat melaksanakan tugas sebagai pengurus OSIS. Hari ini tugasnya latihan upacara di halaman sekolah.
            "Han, tolong kamu nanti atur posisi setiap petugas beserta barisan peserta upacara ya! Dan ini susunan acaranya tolong sampaikan pada Ratna. Sekarang ia sudah ada disana.” Kata Muslih dengan nada suara lincah. Ia keluar dari ruangan. Aku kasihan kalau ia sampai dimarahi pembina OSIS, meskipun ia melakukan pembelaan diri, tapi sia-sia. Seringkali pembelaan itu ditolak sehingga selesai menghadap pembina kamilah yang menjadi sasaran kemarahan sang ketua. Kini tinggal aku seorang. Pikiranku semakin bercabang-tak tahu arah dimana ujungnya. Segera kutanggalkan tas di ruang OSIS dan langsung menuju lapangan tempat latihan upacara. Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.45 WIB.


[1] Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ya Allah berkahilah kami terhadap apa yang engkau rizqikan pada kami dan jagalah kami dari siksa api neraka
[2] Ikut aku aja yuk..

No comments:

Post a Comment