Tiga hari telah berlalu. Kamis sore
kami diingatkan lagi oleh pengurus melalui papan pengumuman.
Sandal jepit yang sebelumnya berserakan di luar kamar, kini habis tak tersisa kecuali sandal selèn, sandal tak genap
satu pasang. Sehingga terpaksa para santri memilih
menggunakan sepatu yang biasa dipakai ke sekolah. Termasuk aku yang tidak
kebagian sandal. Sial
sekali!!! Tapi Alhamdulillah masih bisa berangkat meski tanpa sandal.
Kesehatanku lebih penting dibanding alas kaki seperti yang dipakai teman-teman.
            ”Aduh, masa nyèkèr sih?” Kesalku
            "Siapa cepat, dia dapat.” Kata
salah seorang santri yang hendak menyimpan sandalnya di almari supaya tidak
diambil santri lain. Betul juga, kalau semua orang punya prinsip seperti ini
mungkin pengangguran di negeri ini tidak terlalu banyak. Jadinya, seseorang
selalu bergerak untuk mengubah nasib hidupnya. Bersikukuh untuk tetap tegar
menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan dan cobaan. 
            Malam Jum’at tiba.
Shalat maghrib telah usai, jarum jam menunjukkan pukul 18.00 WIB. Bus yang menjemput kami telah siap di depan
gerbang pesantren. Kami pun bergegas masuk ke dalamnya supaya dapat tempat
duduk yang nyaman. Aku duduk di samping Pak Sopir, Eh...tiba-tiba Anton datang
dan memintaku untuk pindah tempat dengan alasan dia sudah memesannya terlebih
dahulu. Aku tak habis pikir mengapa ia tega mengusirku dari tempat duduk yang
telah kudapatkan. Aku membiarkannya begitu saja, buat apa membuat keributan.
Toh, masih bisa berdiri. Malah bisa melatih otot-otot kaki supaya lebih kuat. Ada sedikit rasa kesal pada Anton, tapi
sudahlah bukan sebuah masalah yang perlu diperpanjang lagi. 
            "Ya Allah, tabahkanlah hatiku
dan ampunilah kesalahannya.” Kata batinku sambil berdiri di dekat pintu masuk
bagian depan.
            Kami telah berkumpul semuanya di
dalam bus, para pengurus dengan senang hati menemaniku berdiri sambil
berpegangan pintu. Sosok Karebet seperti kernet angkotan umum. Ia berdiri di
pintu depan dengan bersandarkan pada besi pintu masuk. Pengurus lainnya
berjajar di belakangku disertai canda tawa yang cukup meriah. Aku terhibur
dengan humor yang mereka ciptakan dan tak terasa bus berhenti di depan sebuah
bangunan megah yang pernah kudatangi sebelumnya. Taman yang indah, air mancur yang memancar
berkejaran dan bunga-bunga yang tumbuh sangat menawan. 
            "Ayooo...., pada medun, dèwèk wis tekan.”[1] Teriak Karebet dengan logat
bahasa ngapaknya yang menjadi ciri khas kotaku. Ia memberi komando setelah
keluar dari bus.
            Jalan
itu masih tampak ramai, kendaraan bermotor lalu lalanh di jalan raya depan rumah H. Shidiq. Di tepi-tepi
jalan berderetan para pedagang makanan yang sedang sibuk melayani pelanggannya.
Beberapa saat kemudian, tuan rumah menyambut kedatangan kami dengan sapaan ramah.
Beliau bersama masyarakat mempersilahkan kami untuk segera  memasuki ruangan yang telah dipersiapkan oleh tuan rumah. Di seluruh penjuru ruang tamu, tikar
telah tertata dengan rapi.
Tidak ada asbak rokok di sana. Haji Shidiq sendiri tidak merokok, mungkin
beliau tidak ingin rumah satu-satunya itu dihinggapi asap rokok yang bisa
merugikan kesehatannya dan kedua anaknya.
            Meskipun
santri, kami tidaklah menunjukkan rasa kagum berlebihan atas keindahan tata
ruang rumah H. Shidiq. Yah,
sekedar kagum tidaklah masalah. Acara yang tadinya direncanakan mulai pukul 18.30 akhirnya ditunda sampai
jam 19.00 karena menunggu beberapa undangan yang belum hadir. Meskipun
demikian, hal itu tidaklah membuat para undangan merasa kecewa. Tiga puluh
menit berlalu serasa baru lima menit. Pernak-pernik di dalam ruangan menjadi
objek kenikmatan tersendiri bagi mata yang memandang.
Pemandangan yang elok, rumah seperti itu sangat jarang di kampungku bahkan
tidak ada yang memilikinya. 
            Jam 19.00 acara dimulai hingga berakhir pukul setengah sembilan. Malam itu aku tak
melihat Hafshoh keluar ruangan, hanya lah Barlian yang bersamaku. Kami berdua
duduk di dekat tangga.
            "Hafshoh kemana, Yan?" Tanyaku
pada Barlian di sela-sela istirahat.
            "Dia bantu-bantu menyiapkan
makanan di belakang."
            "O, begitu. Bagus lah."
            "O iya Han, kalau bisa malam
ini kau nginep saja di rumahku, semalam aja. Please ya!"
            Hatiku tersentak mendengar ucapan Barlian
yang sama sekali tak kuduga. Ia mengharap dengan sangat atas persetujuanku.
            "Tapi, Yan." Kataku cemas
            "Nggak apa-apa, ntar biar
ayahku yang minta ijin sama pengurus pondokmu. Aku sudah kasih tahu ayah akan
hal ini dan ayah juga nggak keberatan kalau kamu nginep di sini. Ya....kan mumpung bisa ketemu malam hari. Oke?” Kata Barlian
memaksa dengan halus
            "Bener nih?" Kataku meyakinkan
            "Iya, bener! Suwerr." Kata Barlian sambil menunjukkan dua
jarinya membentuk huruf V.
            "Oke..." 
~~~***~~~
            Para santri dan warga sekitar sudah
pulang semua, terkecuali aku yang masih berdiri ditemani oleh seorang sahabat di
rumah megah itu. Haji Shidiq memperhatikan keraguan dalam diriku. Beliau pun
mendekati kami.
            "Mas Burhan, saya harap kamu
bisa meluangkan waktumu di rumah ini semalam. Jangan khawatir, saya sudah
ijinkan sama pengurus. InsyaAllah besok pagi saya antar kamu ke pondok. Nah
sekarang silahkan ngobrol-ngobrol dulu sama Barlian!" Kata beliau lalu
meninggalkan kami dan menuju ruangan bagian dalam.
            Perasaanku semakin tak enak, tapi Barlian
selalu menghiburku dengan kata-katanya yang menyenangkan.
Dari dalam ruangan, aku melihat Hafshoh yang mengenakan busana muslimah dan
berkerudung warna pink dengan tali yang diikat ke belakang.
Ia begitu cantik malam ini, sinar matanya yang memancar terang-memunculkan
pesona berbeda. Hatiku tergoda melihat keindahan parasnya yang anggun.
Kutinggalkan pemandangan yang indah itu ketika Barlian memanggilku dari depan
kamarnya. 
            Ruangannya bersih dan luas. Kalau
di pondokku, kamar sebesar itu dijadikan dua kamar. Atau satu kamar yang dihuni
oleh sekitar dua puluh santri. Di dalamnya tersedia
berbagai macam barang milik Barlian yang semuanya serba Wah. Ada lima
tumpukan buku lagu dan dua buah majalah bola tergeletak di atas meja
belajarnya. Di samping
tumpukan buku itu, ada sebuah
lampu belajar warna biru yang
terlipat. 
Kami duduk berdampingan di atas spring bad. Lain lagi di rumahku, hanya
ada alas tikar yang dijulurkan di atas rangkaian bambu-bambu pekarangan rumah.
Kadang banyak kutu yang menempel pada bambu-bambu itu, tapi masih aman karena
lapisan tikar tidak terlalu tipis. Di atasnya masih dilapisi kain selimut atau
karpet yang terbuat dari plastik. Alangkah bahagianya hidup dengan berbagai
kesenangan seperti ini. Sebuah gitar nonelektrik pun berdiri di pojok tempat tidurnya. Lalu kuraih gitar itu dengan meminta ijin pada pemiliknya. Ia mengiyakan. 
            "Kamu suka main gitar,
Han?" Katanya
            "Lumayan laa...h.” Jawabku. 
            Malam ini di wajah Barlian tampak
tersimpan sesuatu yang belum aku ketahui.
Dulu, sewaktu aku masih di rumah, aku memang sering main
gitar bareng teman-temanku di depan warung makan. Beberapa anak muda di
kampungku sangat hobi kumpul-kumpul sehabis shalat Isya. Sekedar iseng, aku
terkadang ikut mereka supaya semakin menambah keakraban diantara kami. Betapapun
bejatnya moral mereka, tak sepantasnya mereka harus dijauhi. Malah kalau bisa, mereka diajak pergi ke masjid supaya terbiasa shalat
berjama’ah. 
            "Oo..jadi ceritanya dulu kau
seorang penyanyii........??? Tapi kayaknya di sekolah, kamu nggak pernah
latihan ngebend. Kan lumayan bisa nambah percaya diri dan eksistensi
kamu di sekolahan. Juara kelas, wakil ketua OSIS terus ditambah lagi bisa ngebend,
wah keren banget pokoknya. Iya nggak?" Cetusnya sambil memperhatikan
jari-jemariku memainkan senar gitar. Dari kunci C berpindah ke E minor lalu G.
Kupetik masing-masing kunci sebanyak dua kali. Sedikit-sedikit aku pernah belajar gitar sama
tetanggaku sendiri. Istilahnya kursus singkat lah, cukup satu bulan saja.
            ”Jreng.....Jreng.....” Suara gitar bernyanyi dengan nyaring.
            "Aku cuma kadang-kadang, cuma iseng
aja supaya nggak stress.”
            ”Naa....h kalau pengin nggak stress
mendingan cari cewek. Keuntungannya niih, Satu bisa diajak curhat kalau kita
lagi banyak masalah, dua bisa diajak jalan-jalan kalau lagi liburan sekolah.
Tiga bisa diajak nonton film bareng ke bioskop atau kemana lah yang kita suka.
Itu Han yang bikin kita happy, masa.....ngilangin stress kok main gitar. Nggak
bakalan ilang, buktinya aku yang tiap hari main gitar, masalahku tetep-tetep
aja nggak berubah. Tapi sekali aku jalan-jalan sama dia. Wahhh...Hii....lang,
semua penat di otakku.”
            Ia memalingkan pandangannya ke arah
dinding yang ditempeli poster group band papan atas dan pemain sepak bola;
Ronaldo, Zidane dan Inzaghi. Satu lagi pembalap ulung, Vellentino Rossi juga
tak ketinggalan. Di hadapan kami berdiri tegak sebuah almari berukuran sekitar
dua meter dengan cermin yang lumayan gedhe. Aku menatap bayanganku dalam
cermin bersama Barlian. Ia masih memandangi gambar tadi. Sepertinya ia sangat
bermimpi ingin menjadi orang hebat seperti mereka. Semoga saja bisa tercapai.
            Di sela-sela keheningan antara aku
dan Barlian, kucoba mengajukan pertanyaan ringan kepadanya.
            "Yan....Barlian.
ngomong-ngomong kamu lagi ada masalah ya, kok merenung terus?" Kataku. 
Ia melihat bayanganku di cermin itu. Ia belum juga menyahut, mungkin ia
sedang berfikir atau melamunkan sesuatu. Dua cowok yang sangat jauh latar
belakang keluarganya. Tapi masalah pendidikan, semua orang berhak atasnya.
Miskin kaya, tua muda mereka berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak
cukup hanya sembilan tahun, tapi long life education. Thalabul ’ilmi
minalmahdi ila lahdi. Ya...pendidikan seumur hidup, belajar....belajar dan
belajar untuk menghadapi segala persoalan kehidupan yang rupek supaya lebih
mudah. Tapi yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa seseorang di sisi Allah bukanlah
dilihat dari kekayaan materinya. Seseorang di sisi Tuhan dilihat karena
ketaqwaannya. Inilah Firman Allah yang nyata. Aku juga yakin, aku pasti bisa
sekolah sampai menjadi sarjana kelak. Semangatku harus tetap membara untuk
meraih cita-citaku sebagai seorang guru. 
Hidup ini adalah perjuangan, aku harus tetap tegar meskipun orang tuaku hanya ada rejeki pas-pasan—yang cukup untuk kebutuhanku dan adik-adikku di
sekolah.
            "Sebenernya sepele sih, Han.
Cuma aku aja yang terlalu membesar-besarkan masalah itu. Tapi, bener niih, kamu
mau tahu. Ntar kalau aku ceritain, kamu kepengin kayak aku. Kamu masih jomblo
kan, Han?"
            Wah, benar-benar pertanyaan yang
sangat tabu buatku. Tak lama kemudian aku pun menyahut.
            "He....eh."
            "Aku baru saja jadian sama
seseorang, Han. Namanya Sari. Wuiih aku banggaa.............sekali
Han, punya cewek yang pintar seperti dia. Sekarang, dia jadi ketua OSIS. Aku kangen banget."
            Barlian mungkin tak menyadari kalau
apa yang diutarakan kepadaku sangat membuatku iri. Jiwa remajaku bergejolak,
aku membayangkan bagaimana rasanya memiliki kekasih hati. Betapa bergejolaknya
hati ini yang diliputi perasaan rindu pada sang pujaan hati. Dan bagaimana
bahagianya hati seseorang yang bisa berdampingan dengan orang yang dicintainya?
Akan tetapi sangat disayangkan, terkadang seseorang itu lalai akan kewajiban
yang utama karena saking senangnya pada yang dicintainya. Dunia....oh, dunia.
Kau memang perhiasan yang sangat mempesona. Tapi, sayang kau tak bisa dibawa sampai ke alam
baka.
            "Kenapa nggak ditelpon aja?”
            "Masa....malem-malem gini
telpon, Han. Tadi siang aku dah telpon, katanya ia mau
ada acara malam ini. Ntar ngganggu lagi.....jadi ketua OSIS kan sibuk ba..nget,
iya kan?”
            ”Ya, udah kalau nggak mau telpon.Di
sms aja, gimana?”
            ”E........Nggak lah, Han. Mendingan
besok aja aku ketemuan di sekolahnya. Kamu nggak bisa ngrasain sih, Han. Coba
aja kalau kamu dah punya cewek, pasti bakalan kayak aku.” Katanya dengan wajah
yang berseri-seri
            Ia semakin tak mengerti saja akan
perasaanku yang ada dalam
kekalutan. Coba saja kalau
adiknya bisa menjadi milikku, pasti aku bakalan bisa merasakan cinta dan sayang
pada seorang kekasih. Tapi mau dikemanakan lagi reputasi yang telah kuperjuangkan sepanjang belajarku di sekolah? Aku
mati-matian belajar matematika hingga larut malam, mengerjakan PR setiap hari
demi rasa ta’dzimku pada guruku di sekolahan. Menjadi pengurus OSIS yang harus
senantiasa menjadi teladan bagi para siswa di sekolahan, tidak boleh melanggar
aturan sekolah. Tidak boleh berambut panjang, apalagi untuk memiliki seorang
pacar.  
Huhh,...Rasa-rasanya
sesuatu yang mustahil, betapa beratnya amanah yang dipikul
seorang pengurus, hingga orang lain pun tak bisa merasakan bagaimana ketika
pembina OSIS memarahi kami karena lalai suatu hal. Atau ketika harus
persiapan upacara, kami lah yang pertama kali dikejar-kejar pembina OSIS untuk
latihan. 
            ”Gimana ini pengurus OSIS, kok belum
juga latihan?” Kata Bapak pembina kepada kami
            Dalam keadaan seperti ini, mana
sempat bertemu dengan sang kekasih hati. Berjalan berdua, main ke rumahnya atau
jalan-jalan yang tujuanya hanya sekedar hura-hura. Iya sih, asalkan berani menanggung resiko tidak masalah. Latihan upacara beres,
urusan kepengurusan oke dan stabilitas suasana sekolahan bisa terjaga. Tapi apa
mungkin?  
            Dunia malam bercahaya terang.
            Karena sang bintang-bintang yang
gemerlapan.
Tuhan, ijinkan aku berjumpa dengan sang bintang pujaan
             Karena Engkaulah Sang Pemilik semua.
            Diam-diam hatiku terketuk untuk
menyayangi seorang Hafshoh, adik semata wayang Barlian. Sama
halnya Nabi Adam a.s yang ingin ditemani istrinya, Siti Hawa atau Nabi Yusuf a.s dengan Siti Zulaikha dan para pecinta lain di dunia ini bersama
kekasih tercintanya. Meskipun kami belum sempat berbicara panjang lebar, akan
tetapi firasatku mengatakan bahwa ia seorang muslimah yang shalehah dan besar kemungkinan
ia akan menerima kehadiranku. Ah....Aku terlalu GR, tapi tak apalah karena
memang seorang cowok terkadang seperti itu. Kemana pun ia berada ia akan
menyempatkan waktunya untuk menceritakan dirinya dengan seseorang yang
mengganggu perasaan hatinya.
            Malam semakin larut. Barlian telah
tertidur pulas di atas ranjang—mengarungi mimpi-mimpi indah bersama khayalannya
berjumpa dengan seorang gadis pujaannya. Mataku belum juga terpejam seakan
menantikan bidadari. Dengan
siapa aku akan berjumpa dalam mimpiku malam ini? Wallahu a’lam

 
 
No comments:
Post a Comment