Wednesday, February 29, 2012

NOVEL MdC BAGIAN 2

Tiga hari telah berlalu. Kamis sore kami diingatkan lagi oleh pengurus melalui papan pengumuman. Sandal jepit yang sebelumnya berserakan di luar kamar, kini habis tak tersisa kecuali sandal selèn, sandal tak genap satu pasang. Sehingga terpaksa para santri memilih menggunakan sepatu yang biasa dipakai ke sekolah. Termasuk aku yang tidak kebagian sandal. Sial sekali!!! Tapi Alhamdulillah masih bisa berangkat meski tanpa sandal. Kesehatanku lebih penting dibanding alas kaki seperti yang dipakai teman-teman.
            ”Aduh, masa nyèkèr sih?” Kesalku
            "Siapa cepat, dia dapat.” Kata salah seorang santri yang hendak menyimpan sandalnya di almari supaya tidak diambil santri lain. Betul juga, kalau semua orang punya prinsip seperti ini mungkin pengangguran di negeri ini tidak terlalu banyak. Jadinya, seseorang selalu bergerak untuk mengubah nasib hidupnya. Bersikukuh untuk tetap tegar menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan dan cobaan.
            Malam Jum’at tiba.
Shalat maghrib telah usai, jarum jam menunjukkan pukul 18.00 WIB. Bus yang menjemput kami telah siap di depan gerbang pesantren. Kami pun bergegas masuk ke dalamnya supaya dapat tempat duduk yang nyaman. Aku duduk di samping Pak Sopir, Eh...tiba-tiba Anton datang dan memintaku untuk pindah tempat dengan alasan dia sudah memesannya terlebih dahulu. Aku tak habis pikir mengapa ia tega mengusirku dari tempat duduk yang telah kudapatkan. Aku membiarkannya begitu saja, buat apa membuat keributan. Toh, masih bisa berdiri. Malah bisa melatih otot-otot kaki supaya lebih kuat. Ada sedikit rasa kesal pada Anton, tapi sudahlah bukan sebuah masalah yang perlu diperpanjang lagi.
            "Ya Allah, tabahkanlah hatiku dan ampunilah kesalahannya.” Kata batinku sambil berdiri di dekat pintu masuk bagian depan.
            Kami telah berkumpul semuanya di dalam bus, para pengurus dengan senang hati menemaniku berdiri sambil berpegangan pintu. Sosok Karebet seperti kernet angkotan umum. Ia berdiri di pintu depan dengan bersandarkan pada besi pintu masuk. Pengurus lainnya berjajar di belakangku disertai canda tawa yang cukup meriah. Aku terhibur dengan humor yang mereka ciptakan dan tak terasa bus berhenti di depan sebuah bangunan megah yang pernah kudatangi sebelumnya. Taman yang indah, air mancur yang memancar berkejaran dan bunga-bunga yang tumbuh sangat menawan.
            "Ayooo...., pada medun, dèwèk wis tekan.”[1] Teriak Karebet dengan logat bahasa ngapaknya yang menjadi ciri khas kotaku. Ia memberi komando setelah keluar dari bus.
            Jalan itu masih tampak ramai, kendaraan bermotor lalu lalanh di jalan raya depan rumah H. Shidiq. Di tepi-tepi jalan berderetan para pedagang makanan yang sedang sibuk melayani pelanggannya. Beberapa saat kemudian, tuan rumah menyambut kedatangan kami dengan sapaan ramah. Beliau bersama masyarakat mempersilahkan kami untuk segera  memasuki ruangan yang telah dipersiapkan oleh tuan rumah. Di seluruh penjuru ruang tamu, tikar telah tertata dengan rapi. Tidak ada asbak rokok di sana. Haji Shidiq sendiri tidak merokok, mungkin beliau tidak ingin rumah satu-satunya itu dihinggapi asap rokok yang bisa merugikan kesehatannya dan kedua anaknya.
            Meskipun santri, kami tidaklah menunjukkan rasa kagum berlebihan atas keindahan tata ruang rumah H. Shidiq. Yah, sekedar kagum tidaklah masalah. Acara yang tadinya direncanakan mulai pukul 18.30 akhirnya ditunda sampai jam 19.00 karena menunggu beberapa undangan yang belum hadir. Meskipun demikian, hal itu tidaklah membuat para undangan merasa kecewa. Tiga puluh menit berlalu serasa baru lima menit. Pernak-pernik di dalam ruangan menjadi objek kenikmatan tersendiri bagi mata yang memandang. Pemandangan yang elok, rumah seperti itu sangat jarang di kampungku bahkan tidak ada yang memilikinya.
            Jam 19.00 acara dimulai hingga berakhir pukul setengah sembilan. Malam itu aku tak melihat Hafshoh keluar ruangan, hanya lah Barlian yang bersamaku. Kami berdua duduk di dekat tangga.
            "Hafshoh kemana, Yan?" Tanyaku pada Barlian di sela-sela istirahat.
            "Dia bantu-bantu menyiapkan makanan di belakang."
            "O, begitu. Bagus lah."
            "O iya Han, kalau bisa malam ini kau nginep saja di rumahku, semalam aja. Please ya!"
            Hatiku tersentak mendengar ucapan Barlian yang sama sekali tak kuduga. Ia mengharap dengan sangat atas persetujuanku.
            "Tapi, Yan." Kataku cemas
            "Nggak apa-apa, ntar biar ayahku yang minta ijin sama pengurus pondokmu. Aku sudah kasih tahu ayah akan hal ini dan ayah juga nggak keberatan kalau kamu nginep di sini. Ya....kan mumpung bisa ketemu malam hari. Oke?” Kata Barlian memaksa dengan halus
            "Bener nih?" Kataku meyakinkan
            "Iya, bener! Suwerr." Kata Barlian sambil menunjukkan dua jarinya membentuk huruf V.
            "Oke..."
~~~***~~~

            Para santri dan warga sekitar sudah pulang semua, terkecuali aku yang masih berdiri ditemani oleh seorang sahabat di rumah megah itu. Haji Shidiq memperhatikan keraguan dalam diriku. Beliau pun mendekati kami.
            "Mas Burhan, saya harap kamu bisa meluangkan waktumu di rumah ini semalam. Jangan khawatir, saya sudah ijinkan sama pengurus. InsyaAllah besok pagi saya antar kamu ke pondok. Nah sekarang silahkan ngobrol-ngobrol dulu sama Barlian!" Kata beliau lalu meninggalkan kami dan menuju ruangan bagian dalam.
            Perasaanku semakin tak enak, tapi Barlian selalu menghiburku dengan kata-katanya yang menyenangkan. Dari dalam ruangan, aku melihat Hafshoh yang mengenakan busana muslimah dan berkerudung warna pink dengan tali yang diikat ke belakang. Ia begitu cantik malam ini, sinar matanya yang memancar terang-memunculkan pesona berbeda. Hatiku tergoda melihat keindahan parasnya yang anggun. Kutinggalkan pemandangan yang indah itu ketika Barlian memanggilku dari depan kamarnya.
            Ruangannya bersih dan luas. Kalau di pondokku, kamar sebesar itu dijadikan dua kamar. Atau satu kamar yang dihuni oleh sekitar dua puluh santri. Di dalamnya tersedia berbagai macam barang milik Barlian yang semuanya serba Wah. Ada lima tumpukan buku lagu dan dua buah majalah bola tergeletak di atas meja belajarnya. Di samping tumpukan buku itu, ada sebuah lampu belajar warna biru yang terlipat.
Kami duduk berdampingan di atas spring bad. Lain lagi di rumahku, hanya ada alas tikar yang dijulurkan di atas rangkaian bambu-bambu pekarangan rumah. Kadang banyak kutu yang menempel pada bambu-bambu itu, tapi masih aman karena lapisan tikar tidak terlalu tipis. Di atasnya masih dilapisi kain selimut atau karpet yang terbuat dari plastik. Alangkah bahagianya hidup dengan berbagai kesenangan seperti ini. Sebuah gitar nonelektrik pun berdiri di pojok tempat tidurnya. Lalu kuraih gitar itu dengan meminta ijin pada pemiliknya. Ia mengiyakan.
            "Kamu suka main gitar, Han?" Katanya
            "Lumayan laa...h.” Jawabku.
            Malam ini di wajah Barlian tampak tersimpan sesuatu yang belum aku ketahui.
Dulu, sewaktu aku masih di rumah, aku memang sering main gitar bareng teman-temanku di depan warung makan. Beberapa anak muda di kampungku sangat hobi kumpul-kumpul sehabis shalat Isya. Sekedar iseng, aku terkadang ikut mereka supaya semakin menambah keakraban diantara kami. Betapapun bejatnya moral mereka, tak sepantasnya mereka harus dijauhi. Malah kalau bisa, mereka diajak pergi ke masjid supaya terbiasa shalat berjama’ah.
            "Oo..jadi ceritanya dulu kau seorang penyanyii........??? Tapi kayaknya di sekolah, kamu nggak pernah latihan ngebend. Kan lumayan bisa nambah percaya diri dan eksistensi kamu di sekolahan. Juara kelas, wakil ketua OSIS terus ditambah lagi bisa ngebend, wah keren banget pokoknya. Iya nggak?" Cetusnya sambil memperhatikan jari-jemariku memainkan senar gitar. Dari kunci C berpindah ke E minor lalu G. Kupetik masing-masing kunci sebanyak dua kali. Sedikit-sedikit aku pernah belajar gitar sama tetanggaku sendiri. Istilahnya kursus singkat lah, cukup satu bulan saja.
            ”Jreng.....Jreng.....” Suara gitar bernyanyi dengan nyaring.
            "Aku cuma kadang-kadang, cuma iseng aja supaya nggak stress.”
            ”Naa....h kalau pengin nggak stress mendingan cari cewek. Keuntungannya niih, Satu bisa diajak curhat kalau kita lagi banyak masalah, dua bisa diajak jalan-jalan kalau lagi liburan sekolah. Tiga bisa diajak nonton film bareng ke bioskop atau kemana lah yang kita suka. Itu Han yang bikin kita happy, masa.....ngilangin stress kok main gitar. Nggak bakalan ilang, buktinya aku yang tiap hari main gitar, masalahku tetep-tetep aja nggak berubah. Tapi sekali aku jalan-jalan sama dia. Wahhh...Hii....lang, semua penat di otakku.”
            Ia memalingkan pandangannya ke arah dinding yang ditempeli poster group band papan atas dan pemain sepak bola; Ronaldo, Zidane dan Inzaghi. Satu lagi pembalap ulung, Vellentino Rossi juga tak ketinggalan. Di hadapan kami berdiri tegak sebuah almari berukuran sekitar dua meter dengan cermin yang lumayan gedhe. Aku menatap bayanganku dalam cermin bersama Barlian. Ia masih memandangi gambar tadi. Sepertinya ia sangat bermimpi ingin menjadi orang hebat seperti mereka. Semoga saja bisa tercapai.
            Di sela-sela keheningan antara aku dan Barlian, kucoba mengajukan pertanyaan ringan kepadanya.
            "Yan....Barlian. ngomong-ngomong kamu lagi ada masalah ya, kok merenung terus?" Kataku.
Ia melihat bayanganku di cermin itu. Ia belum juga menyahut, mungkin ia sedang berfikir atau melamunkan sesuatu. Dua cowok yang sangat jauh latar belakang keluarganya. Tapi masalah pendidikan, semua orang berhak atasnya. Miskin kaya, tua muda mereka berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak cukup hanya sembilan tahun, tapi long life education. Thalabul ’ilmi minalmahdi ila lahdi. Ya...pendidikan seumur hidup, belajar....belajar dan belajar untuk menghadapi segala persoalan kehidupan yang rupek supaya lebih mudah. Tapi yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa seseorang di sisi Allah bukanlah dilihat dari kekayaan materinya. Seseorang di sisi Tuhan dilihat karena ketaqwaannya. Inilah Firman Allah yang nyata. Aku juga yakin, aku pasti bisa sekolah sampai menjadi sarjana kelak. Semangatku harus tetap membara untuk meraih cita-citaku sebagai seorang guru.
Hidup ini adalah perjuangan, aku harus tetap tegar meskipun orang tuaku hanya ada rejeki pas-pasan—yang cukup untuk kebutuhanku dan adik-adikku di sekolah.
            "Sebenernya sepele sih, Han. Cuma aku aja yang terlalu membesar-besarkan masalah itu. Tapi, bener niih, kamu mau tahu. Ntar kalau aku ceritain, kamu kepengin kayak aku. Kamu masih jomblo kan, Han?"
            Wah, benar-benar pertanyaan yang sangat tabu buatku. Tak lama kemudian aku pun menyahut.
            "He....eh."
            "Aku baru saja jadian sama seseorang, Han. Namanya Sari. Wuiih aku banggaa.............sekali Han, punya cewek yang pintar seperti dia. Sekarang, dia jadi ketua OSIS. Aku kangen banget."
            Barlian mungkin tak menyadari kalau apa yang diutarakan kepadaku sangat membuatku iri. Jiwa remajaku bergejolak, aku membayangkan bagaimana rasanya memiliki kekasih hati. Betapa bergejolaknya hati ini yang diliputi perasaan rindu pada sang pujaan hati. Dan bagaimana bahagianya hati seseorang yang bisa berdampingan dengan orang yang dicintainya? Akan tetapi sangat disayangkan, terkadang seseorang itu lalai akan kewajiban yang utama karena saking senangnya pada yang dicintainya. Dunia....oh, dunia. Kau memang perhiasan yang sangat mempesona. Tapi, sayang kau tak bisa dibawa sampai ke alam baka.
            "Kenapa nggak ditelpon aja?”
            "Masa....malem-malem gini telpon, Han. Tadi siang aku dah telpon, katanya ia mau ada acara malam ini. Ntar ngganggu lagi.....jadi ketua OSIS kan sibuk ba..nget, iya kan?”
            ”Ya, udah kalau nggak mau telpon.Di sms aja, gimana?”
            ”E........Nggak lah, Han. Mendingan besok aja aku ketemuan di sekolahnya. Kamu nggak bisa ngrasain sih, Han. Coba aja kalau kamu dah punya cewek, pasti bakalan kayak aku.” Katanya dengan wajah yang berseri-seri
            Ia semakin tak mengerti saja akan perasaanku yang ada dalam kekalutan. Coba saja kalau adiknya bisa menjadi milikku, pasti aku bakalan bisa merasakan cinta dan sayang pada seorang kekasih. Tapi mau dikemanakan lagi reputasi yang telah kuperjuangkan sepanjang belajarku di sekolah? Aku mati-matian belajar matematika hingga larut malam, mengerjakan PR setiap hari demi rasa ta’dzimku pada guruku di sekolahan. Menjadi pengurus OSIS yang harus senantiasa menjadi teladan bagi para siswa di sekolahan, tidak boleh melanggar aturan sekolah. Tidak boleh berambut panjang, apalagi untuk memiliki seorang pacar. 
Huhh,...Rasa-rasanya sesuatu yang mustahil, betapa beratnya amanah yang dipikul seorang pengurus, hingga orang lain pun tak bisa merasakan bagaimana ketika pembina OSIS memarahi kami karena lalai suatu hal. Atau ketika harus persiapan upacara, kami lah yang pertama kali dikejar-kejar pembina OSIS untuk latihan.
            ”Gimana ini pengurus OSIS, kok belum juga latihan?” Kata Bapak pembina kepada kami
            Dalam keadaan seperti ini, mana sempat bertemu dengan sang kekasih hati. Berjalan berdua, main ke rumahnya atau jalan-jalan yang tujuanya hanya sekedar hura-hura. Iya sih, asalkan berani menanggung resiko tidak masalah. Latihan upacara beres, urusan kepengurusan oke dan stabilitas suasana sekolahan bisa terjaga. Tapi apa mungkin?  
            Dunia malam bercahaya terang.
            Karena sang bintang-bintang yang gemerlapan.
Tuhan, ijinkan aku berjumpa dengan sang bintang pujaan
             Karena Engkaulah Sang Pemilik semua.
            Diam-diam hatiku terketuk untuk menyayangi seorang Hafshoh, adik semata wayang Barlian. Sama halnya Nabi Adam a.s yang ingin ditemani istrinya, Siti Hawa atau Nabi Yusuf a.s dengan Siti Zulaikha dan para pecinta lain di dunia ini bersama kekasih tercintanya. Meskipun kami belum sempat berbicara panjang lebar, akan tetapi firasatku mengatakan bahwa ia seorang muslimah yang shalehah dan besar kemungkinan ia akan menerima kehadiranku. Ah....Aku terlalu GR, tapi tak apalah karena memang seorang cowok terkadang seperti itu. Kemana pun ia berada ia akan menyempatkan waktunya untuk menceritakan dirinya dengan seseorang yang mengganggu perasaan hatinya.
            Malam semakin larut. Barlian telah tertidur pulas di atas ranjang—mengarungi mimpi-mimpi indah bersama khayalannya berjumpa dengan seorang gadis pujaannya. Mataku belum juga terpejam seakan menantikan bidadari. Dengan siapa aku akan berjumpa dalam mimpiku malam ini? Wallahu a’lam


[1] Ayo teman-teman, semua turun. Kita sudah sampai

No comments:

Post a Comment