Sepulang
sekolah kepalaku masih terasa hangat, meskipun cuaca di sekolahku nampak sejuk
dan angin sepoi-sepoi berhembus dari arah pegunungan belakang sekolahku. Tangga
menuju ruang kelas Hafshoh masih dipenuhi anak-anak yang hendak pulang. Mereka
menuruni tangga dengan wajah berseri-seri, menuju tempat parkir motor dan
sepeda. Ada juga yang masih duduk-duduk di depan kelas sambil bercanda ria—sambil
merencanakan kegiatan hari minggu. Apakah mau ke pantai Petanahan, pantai Bocor
atau pantai Ayah. Atau malah jalan-jalan ke benteng Vanderwick di Gombong.
Kata mereka yang pernah ke sana, di sana merupakan tempat yang sangat bagus.
Bagi yang sudah punya doi, sangat baik karena kebanyakan mereka hanya ingin
bersenang-senang dengan sang pacar. Ironis sekali, kota kecilku hendak dinodai oleh
pemandangan mesum para generasi muda. Mau dikemanakan predikat ”Kebumen
Beriman” yang selama ini diagung-agungkan?
Di dekat tangga itu aku menunggu
semua siswa keluar dari jalan sempit yang tingginya tak lebih dari lima meter. Dalam
waktu tak lebih dari sepuluh menit, para siswa yang turun dari tangga sudah tak
ada lagi. Tapi, aku yakin Hafshoh masih di ruang kelasnya bersama sebagian teman
ceweknya.
Aku dan Hafshoh sudah berdiri di
depan pintu kelas X.8.
"Kamu nggak pulang Shoh?" Tanyaku
"Nggak lah Mas, nanti ada
kegiatan ekstra pramuka, males kalau dah pulang harus ke sini lagi.”
Kami duduk di samping bunga-bunga
yang sedang tumbuh mekar depan teras kelas. Jarak diantara kami tak kurang dari
satu meter.
"Hafshoh, ada sesuatu yang
pengin aku oongin sama kamu. E......Ngomon-ngomong, besok kamu ada acara nggak
sepulang sekolah?" Tanyaku
"Kayaknya nggak ada dech,
emangnya kenapa, Mas?"
"A.......gimana ya?” Aku
berpikir sejenak. ”Gini Shoh, Besok temenku pengin kenalan sama kamu. Bisa
nggak?"
"Ya,
nggak masalah sii...h. Insya Allah aku bisa, pulang sekolah kan?”
Tepat sekali tebakannya.
Siang itu kami berpisah di depan
kelas X.8. Angkutan umum mungkin tinggal tersisa satu buah yang lewat di depan sekolah
kami. Jiwaku terasa tenang dan kepalaku menjadi dingin setelah sekitar sepuluh
menit bersama orang selama ini aku impi-impikan. Gadis berperawakan shalihah yang
layak dirindukan oleh setiap santri di negeri Indonesia ini. Ah.....aku
benar-benar mulai jatuh hati padanya. Hafshoh, Hafshoh.
~~~***~~~
Hari berikutnya, sepulang sekolah
aku menemui Hafshoh yang masih berada di dalam kelas. Sementara Barlian telah
keluar lebih dulu dengan teman-teman satu Band-nya. Mereka rutin latihan setiap
hari Rabu dan sabtu. Di ruangan ada dua siswi yang hendak keluar dari kelas X.8.
Keduanya menatap kami sejuk. Kami berempat tersenyum indah memaknai kebersamaan
sesama muslim. Indahnya persahabatan, dalam hangatnya kebersamaan tak kan
terlupakan. Inilah makna yang aku pahami dari sebuah ikatan sahabat, berbeda
dengan cinta yang arahnya lebih banyak menuju pada kenikmatan sementara. Atau
cinta yang menuju pada arena pelaminan kedua mempelai. Inilah cintanya hamba
sejati, cinta yang dijalin dengan komitmen bersama dan membawa visi misi yang
jelas. Cinta bukan karena kecantikan fisik, cinta bukan karena harta kekayaan
dan cinta bukan karena keturunan bangsawan. Melainkan cinta yang dijalin guna
meraih kebahagiaan dan tujuan ibadah kepada Allah SWT.
Kami menuruni tangga seperti hari kemarin.
Kuperhatikan sikap Hafshoh biasa-biasa saja, kedua tangannya memegang erat tali
pengikat tas sekolah yang melingkari setengah badannya. “Dag...dig...dug,” Detak
jantungku bergoyang di saat bibirnya melantunkan syair lagu cinta romantika
kaum remaja. Remaja yang haus
akan lantunan musik dan syair-syair indah dalam kehidupannya. Suaranya bagus.
Merdu. Ia sangat menikmatyi syair yang dibawakan sendiri.
”Suaramu bagus, Shoh.” Kataku memuji
”Masa sih??”
”Bener, Suwer." Kataku sambil
menunjukkan kedua jariku membentuk huruf V.
Gerbang sekolahku menjadi saksi
persahabatan kami berdua. Di situlah tawa dan canda kami pertama kali
mengembang menjadi satu kenangan yang indah. Sampailah kami di gardu sebelah timur sekolah. Anton
telah berdiri di sana. Seperti
hari-hari biasa, ia tidak pernah memasukan seragam sekolahnya. Di bawah kancing
baju yang paling bawah bertuliskan hiasan seperti tato. Tidak jelas apa
bacannya.
Mata kami beradu.
"Hafsho..h, ini temenku di
pondok. Ia juga anak sekolah sini kelas XI IPS.” Kataku setelah berada di
hadapan mereka
"Kenalkan, aku Anton. Senang bertemu
denganmu. Kamu, siapa namanya?” Kata Anton lembut. Ia menyodorkan tangan
kanannya kepada Hafshoh untuk berjabat tangan.
"Hafshoh.” Kata Hafshoh halus.
Ia tak menyambut tangan Anton, tapi menelungkupkan kedua telapak tangannya
seperti yang pernah ia lakukan di hadapanku sebelumnya.
"Oh, maaf. Nggak apa-apa kok.
Han, boleh aku bicara sama dia empat mata. Ya....paling-paling nggak sampai
lima menit lah?"
Aku menatap kedua mata Hafshoh yang
lama tak berkedip. Bibirnya bergumam tak jelas. Aku paling gemar membaca
tatapan seorang wanita, biasanya tatapan itu mengisyaratkan bahwa ia tak
mengijinkan sesuatu. Sebenarnya aku kasihan padanya, hingga akhirnya aku
mencari solusi yang terbaik buat kami saat itu.
"Silahkan. Oke...lima menit ya!"
Pintaku pada Anton.
”Han, kalian nggak ada acara kan?”
Kata Anton menegaskan
”E....aku nggak ada. Tapi Hafshoh
masih ada kepentingan lain.”
Ini kulakukan demi kelegaan hati Hafshoh saja. Meski sebenarnya Hafshoh tidak
ada acara yang penting. Bukannya aku dusta pada mereka, tetapi aku memilih yang
terbaik bagi Hafshoh.
Aku menghindar beberapa langkah dari
mereka supaya Anton tidak canggung. Suara Anton tak banyak yang bisa kutangkap,
lebih-lebih suara Hafshoh yang sangat kecil. Tak
lama kemudian, Anton telah meluncurkan motornya dari tempat itu setelah
menghampiriku sejenak. Aku mendekati Hafshoh.
"Apa yang ia katakan, Shoh?"
Tanyaku sambil berjalan melintasi depan sekolah kami.
"Biasa, Mas. Anak muda.”
"Maksud kamu.”
"Udahlah Mas, yang penting
sekarang ia kan udah pergi dan...”
"Dan....acara berikutnya
apa?" Kataku menggoda
Ia pun tersenyum manja.
"Ah Mas Burhan bisa aja....ya
pulang laaa...h." Katanya membalas.
Kepalanya tertunduk seraya
memperhatikan gerak langkah kaki kami yang seirama. Sengatan matahari yang
mengenai kulit kami, sama sekali tak kami rasakan panasnya. Ia sama sekali tak
menaruh curiga padaku, aku pun enjoy saja bersamanya.
No comments:
Post a Comment