Thursday, March 8, 2012

NOVEL MdC BAGIAN 4


        Sepulang sekolah kepalaku masih terasa hangat, meskipun cuaca di sekolahku nampak sejuk dan angin sepoi-sepoi berhembus dari arah pegunungan belakang sekolahku. Tangga menuju ruang kelas Hafshoh masih dipenuhi anak-anak yang hendak pulang. Mereka menuruni tangga dengan wajah berseri-seri, menuju tempat parkir motor dan sepeda. Ada juga yang masih duduk-duduk di depan kelas sambil bercanda ria—sambil merencanakan kegiatan hari minggu. Apakah mau ke pantai Petanahan, pantai Bocor atau pantai Ayah. Atau malah jalan-jalan ke benteng Vanderwick di Gombong. Kata mereka yang pernah ke sana, di sana merupakan tempat yang sangat bagus. Bagi yang sudah punya doi, sangat baik karena kebanyakan mereka hanya ingin bersenang-senang dengan sang pacar. Ironis sekali, kota kecilku hendak dinodai oleh pemandangan mesum para generasi muda. Mau dikemanakan predikat ”Kebumen Beriman” yang selama ini diagung-agungkan?
            Di dekat tangga itu aku menunggu semua siswa keluar dari jalan sempit yang tingginya tak lebih dari lima meter. Dalam waktu tak lebih dari sepuluh menit, para siswa yang turun dari tangga sudah tak ada lagi. Tapi, aku yakin Hafshoh masih di ruang kelasnya bersama sebagian teman ceweknya.
            Aku dan Hafshoh sudah berdiri di depan pintu kelas X.8.
            "Kamu nggak pulang Shoh?" Tanyaku
            "Nggak lah Mas, nanti ada kegiatan ekstra pramuka, males kalau dah pulang harus ke sini lagi.”
            Kami duduk di samping bunga-bunga yang sedang tumbuh mekar depan teras kelas. Jarak diantara kami tak kurang dari satu meter.
            "Hafshoh, ada sesuatu yang pengin aku oongin sama kamu. E......Ngomon-ngomong, besok kamu ada acara nggak sepulang sekolah?" Tanyaku
            "Kayaknya nggak ada dech, emangnya kenapa, Mas?"
            "A.......gimana ya?” Aku berpikir sejenak. ”Gini Shoh, Besok temenku pengin kenalan sama kamu. Bisa nggak?" 
            "Ya, nggak masalah sii...h. Insya Allah aku bisa, pulang sekolah kan?”
            Tepat sekali tebakannya.
            Siang itu kami berpisah di depan kelas X.8. Angkutan umum mungkin tinggal  tersisa satu buah yang lewat di depan sekolah kami. Jiwaku terasa tenang dan kepalaku menjadi dingin setelah sekitar sepuluh menit bersama orang selama ini aku impi-impikan. Gadis berperawakan shalihah yang layak dirindukan oleh setiap santri di negeri Indonesia ini. Ah.....aku benar-benar mulai jatuh hati padanya. Hafshoh, Hafshoh.

~~~***~~~

            Hari berikutnya, sepulang sekolah aku menemui Hafshoh yang masih berada di dalam kelas. Sementara Barlian telah keluar lebih dulu dengan teman-teman satu Band-nya. Mereka rutin latihan setiap hari Rabu dan sabtu. Di ruangan ada dua siswi yang hendak keluar dari kelas X.8. Keduanya menatap kami sejuk. Kami berempat tersenyum indah memaknai kebersamaan sesama muslim. Indahnya persahabatan, dalam hangatnya kebersamaan tak kan terlupakan. Inilah makna yang aku pahami dari sebuah ikatan sahabat, berbeda dengan cinta yang arahnya lebih banyak menuju pada kenikmatan sementara. Atau cinta yang menuju pada arena pelaminan kedua mempelai. Inilah cintanya hamba sejati, cinta yang dijalin dengan komitmen bersama dan membawa visi misi yang jelas. Cinta bukan karena kecantikan fisik, cinta bukan karena harta kekayaan dan cinta bukan karena keturunan bangsawan. Melainkan cinta yang dijalin guna meraih kebahagiaan dan tujuan ibadah kepada Allah SWT. 
            Kami menuruni tangga seperti hari kemarin. Kuperhatikan sikap Hafshoh biasa-biasa saja, kedua tangannya memegang erat tali pengikat tas sekolah yang melingkari setengah badannya. “Dag...dig...dug,” Detak jantungku bergoyang di saat bibirnya melantunkan syair lagu cinta romantika kaum remaja. Remaja yang haus akan lantunan musik dan syair-syair indah dalam kehidupannya. Suaranya bagus. Merdu. Ia sangat menikmatyi syair yang dibawakan sendiri.
            ”Suaramu bagus, Shoh.” Kataku memuji
            ”Masa sih??”
            ”Bener, Suwer." Kataku sambil menunjukkan kedua jariku membentuk huruf V.
            Gerbang sekolahku menjadi saksi persahabatan kami berdua. Di situlah tawa dan canda kami pertama kali mengembang menjadi satu kenangan yang indah. Sampailah kami di gardu sebelah timur sekolah. Anton telah berdiri di sana. Seperti hari-hari biasa, ia tidak pernah memasukan seragam sekolahnya. Di bawah kancing baju yang paling bawah bertuliskan hiasan seperti tato. Tidak jelas apa bacannya.
            Mata kami beradu.
            "Hafsho..h, ini temenku di pondok. Ia juga anak sekolah sini kelas XI IPS.” Kataku setelah berada di hadapan mereka
            "Kenalkan, aku Anton. Senang bertemu denganmu. Kamu, siapa namanya?” Kata Anton lembut. Ia menyodorkan tangan kanannya kepada Hafshoh untuk berjabat tangan.
            "Hafshoh.” Kata Hafshoh halus. Ia tak menyambut tangan Anton, tapi menelungkupkan kedua telapak tangannya seperti yang pernah ia lakukan di hadapanku sebelumnya.
            "Oh, maaf. Nggak apa-apa kok. Han, boleh aku bicara sama dia empat mata. Ya....paling-paling nggak sampai lima menit lah?"
            Aku menatap kedua mata Hafshoh yang lama tak berkedip. Bibirnya bergumam tak jelas. Aku paling gemar membaca tatapan seorang wanita, biasanya tatapan itu mengisyaratkan bahwa ia tak mengijinkan sesuatu. Sebenarnya aku kasihan padanya, hingga akhirnya aku mencari solusi yang terbaik buat kami saat itu.
            "Silahkan. Oke...lima menit ya!" Pintaku pada Anton.
            ”Han, kalian nggak ada acara kan?” Kata Anton menegaskan
            ”E....aku nggak ada. Tapi Hafshoh masih ada kepentingan lain.”
Ini kulakukan demi kelegaan hati Hafshoh saja. Meski sebenarnya Hafshoh tidak ada acara yang penting. Bukannya aku dusta pada mereka, tetapi aku memilih yang terbaik bagi Hafshoh.
            Aku menghindar beberapa langkah dari mereka supaya Anton tidak canggung. Suara Anton tak banyak yang bisa kutangkap, lebih-lebih suara Hafshoh yang sangat kecil.            Tak lama kemudian, Anton telah meluncurkan motornya dari tempat itu setelah menghampiriku sejenak. Aku mendekati Hafshoh.
            "Apa yang ia katakan, Shoh?" Tanyaku sambil berjalan melintasi depan sekolah kami.
            "Biasa, Mas. Anak muda.”
            "Maksud kamu.”
            "Udahlah Mas, yang penting sekarang ia kan udah pergi dan...”
            "Dan....acara berikutnya apa?" Kataku menggoda
            Ia pun tersenyum manja.
            "Ah Mas Burhan bisa aja....ya pulang laaa...h." Katanya membalas.
            Kepalanya tertunduk seraya memperhatikan gerak langkah kaki kami yang seirama. Sengatan matahari yang mengenai kulit kami, sama sekali tak kami rasakan panasnya. Ia sama sekali tak menaruh curiga padaku, aku pun enjoy saja bersamanya. 

No comments:

Post a Comment