Aktiv Menulis
Blog ini saya buat untuk saling berbagi ilmu. Memang kebanyakan tulisan saya berupa artikel pendidikan sesuai dengan profesi saya yaitu guru. Guru harus aktif membaca dan menulis. Khususnya menulis di media seperti blog ini. Semoga bermanfaat untuk para pembaca semua.
Monday, February 12, 2024
Do'a Kami
Sunday, July 31, 2022
Pentingnya Riyadoh Orang Tua Bagi Anak-Anaknya
Oleh: Wawan Hary
Sebuah pertanyaan
sederhana barangkali ini terjadi pada diri kita atau keluarga kita. Sebenarnya
darimana anak belajar membentak? Orang tua. Dari siapa anak belajar membela
diri meski salah? Orang tua. Dari mana anak bisa menyalahkan orang lain dan
tidak mau meminta maaf? Orang tua. Seorang anak adalah peniru ulung yang dengan
panca inderanya mampu menirukan gaya, ucapan, cara berpakaian, cara makan,
bahkan cara orang tua marah.
Barangkali sebagian
orang tua ada yang suka mencubit atau memukul seorang anak ketika ia nakal atau
usil pada adiknya. Karena kenakalan anak membuat adiknya menangis, lalu orang
tua membentak dan memukul si anak. Kasihan bukan?
Suatu saat ketika
anak bermain dengan adiknya lagi, dan merasa disakiti, maka ia akan membentak
dan memukul adiknya. Orang tua lalu datang dan memisahkan percekcokan mereka.
“Sudah dibilangi,
kalau sama adiknya jangan memukul!” Ucap orang tua tanpa merasa ada yang aneh
pada ucapannya
Sekali lagi anak
adalah seorang peniru ulung yang susah dicegah karena itu bersifat natural. Bukankah
seorang gadis kecil suka memakai lipstik ibunya di depan cermin karena ingin
terlihat cantik? Sebenarnya dari mana ia meniru gaya memakai lipstik tersebut. Kalau
bukan karena orang tua yang berdandan ria di hadapan anak langsung, sepertinya
tidak akan terjadi lipstik diputer-puter dan dioleskan pada wajah anak.
Oleh karena itu,
orang tua adalah role model, contoh terbaik dan nyata yang dihadapi langsung
oleh anak. Anak seorang perokok aktif, maka tidak heran anak-anaknya menjadi
penghisap asap sejak dini. Bagaimanapun juga guru menasihati, ribuan nasihat
keluar setiap hari di telinga anak, jika orang tua masih memberikan teladan dan
contoh yang sama, tetap akan ditiru. Karena anak adalah peniru ulung.
“Ayo kita shalat
di masjid!” Ucap seorang bapak
“Nanti yang ikut
shalat bisa ikut jajan” Lanjutnya
Wah, kalau anak
shalat hanya karena jajan berarti kalau tidak beli jajan anak tidak akan
shalat. Barangkali ada yang berfikir seperti itu. Wajar saja. Memang di mana
pun tempat, anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, mereka sangat
tertarik dengan jajan atau mainan, bukan traktiran gratis atau hanya sekedar
naik mobil keliling jalan raya. Pada prinsipnya, kebaikan itu harus dibiasakan
bukan datang ujug-ujug atau bimsalabim.
Ya Alloh
jadikanlah anak-anak kami anak yang sholeh-sholehan. Tapi waktunya shalat anak
dibiarkan bermain hape, waktunya mengaji malah sering diajak ngabuburit,
saatnya latihan khataman malah diajak malam mingguan di alun-alun. Sholeh sholehah
butuh dikawal ketat dan diriyadhohi, minimal bacakan fatihah sehabis shalat buat
anak-anak kita supaya pikiran, hati dan wawasannya terbuka lebar sehingga mudah
menerima petunjuk ataupun ilmu dari siapapun.
Sebagaimana dawuh Bu Nyai Hj.
Khoiriyyah Baidlowi, Kakak ipar K.H Maimoen Zubair: “Bagi yang ingin
keturunannya ‘alim dan rezekinya berkah, yaitu ngakeh-ngakehno (memperbanyak)
membaca Ya Fattahu Ya Razzaq”. Atau Dawuh dari Bu Nyai Hj. Musyafa’ah Adlan,
PP. Walisongo, Jombang :“Jika ingin putra-putrinya hafal Qur’an. Syaratnya
orang tua harus ikhlas jika anaknya menghafalkan Qur’an. Lalu orang tuanya
mengirimi fatikhah kepada anaknya sehari semalam 100x, dan orang tua juga harus
rajin qiyamul lail (tahajjud), berdoa kepada Allah supaya anaknya diberikan
kemudahan dalam menghafal Qur’an.”
Inilah
yang disebut dengan riyadhoh bathiniyyah, ikhtiar orang tua yang tidak tampak
mata manusia tetapi dilakukan secara kontinyu dan istiqomah. Selain anak-anak
terbiasa meniru kebaikan orang tua dalam bersikap dan berbicara, mereka sangat
membutuhkan doa kita, tirakat kita, riyadhoh kita. Kalau kita sudah dijadikan
wasilah sebagai peminta sesuatu pada Alloh, kita juga harus berusaha bengun
malam, berwudlu, ambil sajadah, pakai pakaian
terbaik, lalu lafalkan Allahu akbar. Selesai dari itu kita mengangkat
kedua tangan dan berdoa: “Robbi hablii minashshoolihiin, robbij’alnii
muqiimashsholaati wamin dzurriyyati robbanaa wataqobbal du’aa” dan
seterusnya.
Thursday, July 28, 2022
Keutamaan Memiliki Anak Perempuan
Oleh : Wawan Hary
Anak adalah
anugerah yang sangat indah bagi orang tua. Ia hadir di dunia ini tidak hanya
memberikan warna kebahagiaan akan tetapi ia juga membawa sepaket rejeki yang
tidak diketahui oleh setiap orang tua. Baik mereka lahir dalam kondisi sebagai
kaum adam maupun kaum hawa, setiap orang tua pasti akan menerima dengan hati
yang lapang dan penuh syukur. Entah berapa lama sepasang suami istri menantikan
hadirnya buah hati. Barangkali ada yang setahun, dua tahun bahkan sepuluh tahun
baru dikaruniai momongan.
Ketika sang buah
hati lahir sebagai gadis kecil yang cantik, orang tua akan mengucap
alhamdulillah, gadis kecilku telah lahir dengan sehat dan selamat. Begitu juga
ketika bayi mungil lahir sebagai baby boy yang tampan, orang tua akan melafalkan
ungkapan rasa syukur tak terhingga. Yang perlu disayangkan ketika ada seorang
ayah yang mengeluhkan karena ia hanya memiliki anak perempuan dan tak seorang
pun keturunannya yang laki-laki.
“Anakku perempuan
lagi”, ucapnya kurang semangat
Perlu kita ingat
kembali bahwa pada zaman jahiliyyah, seorang bayi perempuan atau kaum hawa itu
sendiri dirasa kurang berharga, hingga para orang tua tega membunuh hidup-hidup
putrinya. Perempuan dianggap makhluk yang lemah karena tidak bisa berperang,
bisa diwariskan dan nilainya sangat tidak berharga. Di zaman sekarang, wanita
begitu berharga, mereka merawat diri dengan sebaik-baiknya hanya saja sangat
disayangkan diantara mereka dapat diperjual belikan dan menginginkan kebebasan
serta kepuasan duniawi yang tidak halal. Orang tua yang memiliki anak perempuan
harus bersiap siaga menghadapi zaman yang jauh lebih modern namun banyak
kerusakan moral akibat didikan yang sewenang-senang.
Masih pada zaman
jahiliyyah, wanita yang sedang haid, ia akan diusir dari rumahnya karena
dianggap kotor dan najis. Dan ia boleh kembali ke rumah ketika sudah selesai
dari haid (suci). Islam datang dengan segala kasih sayangnya, menjaga wanita
dari hal demikian. Rasulullah SAW juga telah mencontohkan kepada para suami,
untuk tidak segan memeluk istrinya di kala sedang haid (menstruasi). Kasih sayang
dalam rumah tangga harus selalu diwujudkan, tanpa menganggap kotor dan hina seorang
kekasih hati. Kerukunan dan ketenangan batin seorang suami atau istri
perlu dirawat dan dipupuk meski dalam kondisi haid. Bukankah demikian?
Seribu tahun lebih
Nabi SAW sudah memberikan kabar gembira bagi para orang tua yang berhasil
mendidik dan merawat anak perempuanya dengan sebaik-baiknya hingga
menikahkannya dengan laki-laki terbaik.
“Man kaana
lahu bintan au bintaini au tsalaasah farabbahunna wa ahsana ilaihinna wa ath’ama
hunna wakasaa hunna tsumma zawwaja hunna kunna lahu hijaaban minannaar “
Barangsiapa yang memiliki 1 anak perempuan, 2 anak perempuan atau 3 anak perempuan
kemudian memelihara, berbuat baik padanya, memberikan makan, memberikan pakaian
lalu menikahkannya maka mereka (anak perempuannya) menjadi hijab (penghalang)
bagi orang tuanya dari siksa api neraka”.
Alangkah Bahagianya
orang tua yang memiliki anak perempuan, di dunia ia berjuang keras mendidik
putri tercintanya, di akhirat putrinya akan menjadi hijab (penghalang) dari
siksa api neraka. Seorang suami bersyukurlah dengan anak-anak perempuan yang
kini menjadi tanggung jawabnya. Seorang wanita kini bisa menjadi apapun yang
mereka inginkan. Mereka bukanlah beban dan tanggung jawab yang tidak
menguntungkan, justru memberikan banyak keberuntungan baik di dunia maupun di
akhirat.
Seorang ayah yang
dikarunia 2 anak perempuan misalnya, ia adalah seseorang yang akan menjadi
pejuang tangguh. Ia diberikan amanah tiga tulang rusuk, istrinya dan kedua anak
perempuanya. Sewaktu-waktu tulang rusuk itu membengkok artinya jauh dari Alloh
SWT, seorang ayah harus meluruskan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Inilah
perjuangan yang harus terus diupayakan oleh orang tua, hingga putrinya
dinikahkan dengan laki-laki yang shaleh, bertanggung jawab dan senantiasa
mengajak pada jalan Alloh SWT. Aamiin.
Monday, July 25, 2022
Tuesday, July 19, 2022
Tiga Alasan Kenapa Masalah Rumah Tangga Selalu Datang
Oleh: Wawan Hary
Masalah merupakan salah satu
pelengkap hidup seseorang. Masalah hadir dalam kehidupan kita bukan tanpa
maksud dan tujuan. Ia sengaja dikirimkan oleh Alloh SWT dengan membawa visi dan
misi yang jelas dan terukur. Tinggal bagaimana manusia menyikapi masalah tersebut
dengan penuh syukur dan kewaspadaan. Semua membutuhkan ilmu dan penataan hati
yang tidak bisa semaunya sendiri. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim harus
mengetahui betul prinsip hidup ketika masalah itu menimpa kita. Salah satu
contoh masalah hidup ini adalah permasalahan dalam rumah tangga.
Rumah tangga yang bahagia bukanlah
rumah tangga yang berjalan tanpa masalah. Bahkan bila kita mencarinya di dunia
ini, rumah tangga siapa yang tidak ditemukan masalah. Bahkan Rasulullah SAW
sendiri tidak sepi dari masalah dalam keluarga. Karena sejatinya, masalah dalam
rumah tangga yang muncul dengan berbagai bentuknya bukanlah bermaksud
menghancurkan bangunan itu sendiri, akan tetapi menguatkan dan mengokohkan
supaya lebih kuat lagi perjalanan menuju dermaga yang indah. Barangkali awal-awal
pernikahan, masalah muncul karena kebutuhan rumah tangga habis. Meteran listrik
memanggil-manggil, beras di dapur tinggal wadahnya, gas elpiji bak tong sampah,
kiriman medsos stagnan pada gambar jam kotak dan tak juga membiru, serta
kebutuhan rumah tangga lain yang minta segera ditangani.
Bulan kedua pernikahan berjalan,
kebutuhan rumah tangga alhamdulillah sudah tercukupi. Setiap hari kini sudah
bisa memasak nasi seperti semula. Tiba-tiba istri bilang bahwa ia telat haid,
suami pun berfikir keras.
“Jangan-jangan, dia hamil?”
Kenapa sebagian suami
mempermasalahkan kehamilan seorang istri, sedangkan ia sendiri sudah disahkan
sebagai pemimpin rumah tangga. Kehamilan bukanlah masalah yang perlu
disesalkan, ia adalah anugerah terindah yang dikirim Alloh SWT untuk
meningkatkan kualitas pribadi maupun kuantitas rejeki. Setiap anak yang
ditakdirkan lahir di dunia ini sungguh membawa rejekinya masing-masing. Menyangsikan
rejeki atas lahirnya anak sama artinya menyangsikan kekuasaan Alloh Sang Maha
Pemberi rejeki terbaik.
Kita kembali bahwasanya masalah
datang tidak hanya kebetulan saja atau iseng-iseng untuk menambah cerita
kehidupan kita di dunia. Beberapa alasan kenapa masalah dihadirkan yaitu
pertama bukti cinta Alloh SWT kepada hamba-Nya. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “ Apabila Alloh menicintai suatu kaum,
Dia akan menguji mereka”. Memang, cinta Alloh tidak semua diwujudkan dalam
bentuk hadiah yang mengembirakan, namun cinta-Nya seringkali berupa ujian yang
akan banyak menguras genangan air mata dan kejernihan hati manusia. Bukankah terkadang
rasa pahit akan lebih menyembuhkan daripada rasa manis yang memabukkan?
Kedua, membuat kita semakin sabar. Siapa
yang tidak hafal, orang sabar disayang Tuhan. Atau firman Alloh SWT :”Sesungguhnya
Alloh bersama orang-orang yang sabar” dan lain sebagainya. Semua ungkapan iu
benar adanya. Yang perlu kita laksanakan adalah pembuktian bahwa kita mampu
bertahan atas kondisi yang sangat tidak mengenakan.
“Sabar ya, semoga banyak hikmah
setelah ini”
Ketiga, melatih kita untuk pandai
bersyukur. Bukankah masalah itu datang hanya di waktu-waktu tertentu saja? Terkadang
sebulan sekali, dua bulan sekali dan seterusnya. Masalah dalam rumah tangga
terkadang datang dengan rupa yang cukup pelik. Masalah anak, keuangan, dunia
kerja, persahabatan, kebutuhan biologis dan orang ketiga. Pesan bagi seorang
istri, hendaknya tidak suka menghapus kebaikan-kebaikan seorang suami yang
selama ini menemani dalam suka duka. Hendaknya lebih berhati-hati menata diri
secara perilaku dan spiritual, karena hakikatnya istri yang baik adalah dia
yang dipandang suaminya selalu menyenangkan, saat diperintah suaminya
senantiasa mematuhi, dan dialah seorang istri yang selalu menjaga harta serta kehormatan
dirinya saat suaminya tidak di rumah.
Pesan juga bagi seorang suami, mensyukuri yang sudah ada akan
membuat diri lebih baik dibandingkan memusingkan apa-apa yang belum didapatkan.
Kikislah sikap rakus dan serakah terhadap apa-apa yang bukan milik kita,
tentunya semua itu sudah secara proporsional diberikan oleh Alloh SWT. Sebagai contoh,
seorang anak remaja yang dimanja lalu diijinkan mengendarai mobil di jalan raya
bukankah ini sebuah bahaya besar? Berapa banyak kecelakaan terjadi akibat
terlalu dini mengemudikan kendaraan? Terhadap yang sudah ada marilah kita
syukuri, dan terhadap yang belum kita miliki tetap diikhtiari tanpa ada hasud,
iri dan sikap serakah.
Sunday, July 10, 2022
Inilah Saya, Bukan Inilah Bapak Saya
“Kemuliaan
itu didapatkan dengan adab, bukan karena keturunan”
Oleh: Wawan Hary
Kan’an, putra seorang
Nabi dan Rasul Allah harus mengalami nasib yang tragis ditelan banjir. Ketidaktaatannya
pada ayahandanya menjadikan ia anak yang celaka dan tidak selamat dari ancaman
air bah. Ini adalah kisah nyata yang patut menjadi cermin bagi umat Islam
khususnya. Menjadi apapun kita hidup di dunia ini, maka tidak sepantasnya
kemuliaan orang tua diagung-agungkan. Tidak juga
membangga-banggakan harta yang banyak, karena harta itu milik orang tua.
Imam Assyafi’i rahimahullah pernah
mengatakan :”Laisal Fataa man yaquulu haadza abii, walaakinnal fataa man
yaquulu haaa ana dza, bukanlah dinamakan seorang pemuda—dia yang mengatakan
inilah ayah saya. Akan tetapi yang dinamakan pemuda adalah dia yang mengatakan
inilah saya”. Cukup manis bukan perkataan beliau? Melalui lisan beliaulah
kita diingatkan bahwa ayah bagi kita adalah motivator, supporter,
fasilitator yang disediakan oleh Allah SWT supaya kita bisa mencontoh
kerja kerasnya, semangatnya dalam menjalani hidup, ketahanan dirinya dalam
menghadapi berbagai hal yang tidak menyenangkan, membela kita mati-matian demi
keselamatan kita, dan lain sebagainya.
Kita yang memiliki ayah seorang
ketua RT, lurah, camat, bupati, gubernur, presiden, atau raja—sudahlah, itu
semua milik ayah kita. Malah semestinya kita harus berhati-hati dalam
membelanjakan gaji setiap bulannya, karena dalam jabatan itu terkadang muncul
harta-harta yang haram. Kita sebagai anak beliau, yang dicontoh adalah adabnya.
Bagaimana cara ayah kita menjamu tamu, bagaimana ketika beliau masuk rumah
orang lain, bagaimana sikap beliau ketika disuap untuk meng-ACC sebuah proyek
beromset miliaran rupiah? Itu yang kita teladani, ketika beliau menyimpang dari
tatanan syariat Islam, kita pula yang harus memilahnya dan juga meluruskan
beliau.
Atau barangkali ayah kita seorang Guru,
Ustadz, Kyai, bahkan Habaib—sudahlah, itu semua kemuliaan
milik ayah kita. Kita tidak bisa mengambil akhlak mulia mereka begitu saja,
akan tetapi kita harus belajar hari demi hari untuk mempelajari akhlak mulia
beliau. Bagaimana sikap beliau ketika ada tamu yang ngomel-ngomel tak
ketulungan? Bagaimana ketika datang sepertiga malam terakhir, beliau
menyempatkan bangun untuk qiyamul lail atau tidak? Bagaimana akhlak beliau ketika diundang
oleh orang-orang fakir dan miskin dalam sebuah acara? Datang apa tidak? Inilah
beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Bukan sebaliknya, karena merasa ayah
kita adalah kyai besar—lantas ke mana-mana bebas berbuat tanpa merasa khawatir
tindakannya salah atau keliru.
Seorang muslim yang sejati, pasti
akan bisa mencontoh Nabiyullah Ibrahim yang memiliki ayah seorang pembuat
patung berhala, akan tetapi beliau tidak mengikuti jejaknya. Seorang muslim
yang kuat, pasti akan mencontoh Khalifah Ali Bin Abi Thalib meski ayahnya sendiri
sampai meninggal dunia tidak mau mengikrarkan diri masuk Islam. Adablah yang
menjadi patokan kemuliaan seseorang, sungguh bukan keturunan yang menjadikan
diri kita mulai di hadapan manusia lebih-lebih di hadapan Sang Pencipta.
Cukuplah adab Rasulullah SAW sebagai
tolok ukur kemuliaan kita, semakin baik kita mencontoh beliau, semakin mulia
pula kita di hadapan sesama dan Yang Maha Kuasa.
***
Saturday, July 9, 2022
Ketika Ibu Mengatakan Tidak Suka Daging
Oleh : Wawan Hary
Seorang ibu akan
memberikan apapun yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Bahkan di saat beliau
tidak memiliki. Beliau tetap akan berusaha mencarikan apa yang menjadi
keinginan anaknya. Terkadang beliau akan berbuat sesuatu yang dipandang kurang
baik menurut ukuran adat di masyarakat, akan tetapi hal itu dilakukan supaya
anaknya merasa senang dan tercukupi kebutuhannya.
Suatu waktu, di
saat kecil penulis pernah mengungkapkan ingin disembelihkan hewan kurban atas
nama sendiri. Hal ini diungkapkan beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Adha. Sungguh
kalimat itu terlontar begitu saja tanpa adanya persiapan ini dan itu. Namun bagi
orang tua, apalagi saat itu diungkapkan di depan seorang ibu—sosok yang telah
melahirkan ke dunia—beliau ‘trenyuh’ atau baper. Penulis seolah-olah
melihat kedua matanya berkaca-kaca, namun tak ada yang mengalir. Ada lelehan
hangat yang masih tertahan di bawah bulu matanya.
Hatinya haru dan
bahagia, meski hanya mendengar sederet kalimat sederhana dari seorang anak
kecil yang tak tahu makna idul adha dan seterusnya. Tak lengkap kiranya seorang
ibu yang baper dengan kata-kata anaknya bila tidak disampaikan orang sekitar.
“Bapak ngesuk arep
kurban nang mushola, tahun depan gantian”, ungkap beliau sambil jaga warung
sembako di rumah
Seperti itu yang
dipahami orang tua kami, berkurban dengan nama masing-masing. Logika sederhana,
kelak di akhirat kalau kambing satu dinaiki dua orang atau lebih maka tidak
kuat. Sehingga pemahaman idul adha yakni menyembelih satu kambing untuk satu
orang. Sampai saat ini pun masih seperti itu. Adapun pendapat lain yang
mengatakan bahwa berkurban 1 kambing untuk satu keluarga sangatlah bisa
diterima berdasarkan hadits Rasulullah SAW.
Kembali pada sosok
ibu. Tak berhenti pada hari-hari menjelang idul adha, beliau ketika memiliki
beberapa bungkus daging kambing dan sapi yang diperoleh dari panitia kurban—tak
segan-segan beliau mengirimkan kepada putra-putrinya. Entah bagaimana caranya,
seorang ibu memiliki banyak cara untuk menyampaikan daging kepada mereka. Pernah
kami mendapatkan titipan daging kurban dari ibu melalui panitia kurban.
“Kan di rumah
masih banyak daging, kenapa punya ibu dikirimkan ke sini”
Sosok ibu akan
rela tidak memasak daging asalkan anak-anaknya bisa memasaknya. Beliau akan
mengatakan hal-hal yang membuat anak-anaknya mau menerima pemberian itu, baik
dengan berbohong tidak suka daging, bau yang tidak enak, di rumah sudah ada daging
yang lain serta berjuta alasan supaya kami bisa menerimanya.
Seorang ibu yang
memiliki anak-anak kelahiran tahun 80-90an, barangkali kita ini—bukankah beliau
yang berjuang membela kita saat kita beradu konflik dengan bapak terkait
masalah-masalah tertentu. Sosok ibu hadir dan mencoba mendinginkan suasana
dengan berbagai cara, dalam posisi kita salah pun beliau tetap menjadi embun
pagi yang selalu menetes ke dalam kalbu. Dingin, sejuk, menyejukkan.
Idul Adha bukan
momen paling indah dalam hidup seorang ibu, akan tetapi seorang anak bisa
menciptakannya menjadi hari-hari bahagia seorang ibu yang melihat anak-anaknya
sehat ceria. Bahagia menatap cucu yang saling bercanda, membakar daging kambing
meski dagingnya ‘alot’ bagi mereka. Beliau lebih bahagia menyaksikan putra
putrinya sehat ceria dan rukun damai bila dibandingkan dengan menikmati
lezatnya rica-rica daging sapi dari resep koki nusantara.
Buat yang masih bersama ibunya, ukir terus senyum bahagia di lisan
dan hatinya, jangan pisahkan bahagianya itu. Kedua bola mata, bibir dan hatinya
adalah satu kesatuan wujud kebahagiaannya, dan itu bisa diciptakan. Siapa yang
menciptakan? Tentunya Alloh SWT, huwa adhaka wa abkaa (Dialah Yang bisa
menjadikan manusia tertawa dan menangis) melalui perantara anak-anaknya. Tetap semangat
di Hari Raya Idul Adha tahun ini, berkorban untuk orang-orang terkasih niscaya
Alloh akan datangkan balasan berlipat-lipat dan memberikan keberkahan yang
nyata.