Sunday, February 12, 2012

NOVEL MdC BAGIAN 1

BAGIAN 1

Tugu lawet berdiri tegak di tengah kota. Perempatan itu tidak pernah sepi dari para pengendara sepeda motor dan mobil. Siang malam tak pernah luput dari pandangan manusia akan keramaian lalu lalang di sekitarnya. Pantas saja, di kanan kirinya berderet toko-toko dan ruko-ruko yang menawarkan barang kebutuhan sehari-hari. Kalau ditelusur lagi, di sebelah baratnya berjajar toko mas mawar murni. Siapa sih orang pribumi yang tidak mengenalnya?
Aku seorang santri yang tinggal di sebuah pesantren di Kota Beriman ini. Kebumen. Pesantrenku kebetulan masih dalam lingkup kota, cukup dekat dengan RITA pasaraya, tempat perbelanjaan paling digemari warga Kebumen saat banyak duit. Pesantrenku juga dekat dengan alun-alun sehingga sewaktu-waktu ada pertunjukan wayang kulit Ki Enthus atau Festival musik, aku dan teman-teman santri bisa menyaksikannya. Meski dengan sandal selen, tapi itu malah menjadi salah satu guyonan kami. Tak masalah, kan hanya jalan-jalan di lapangan. Beda lagi kalau mau ke supermarket, mau pinjam sandal saja seperti kehilangan uang seratus ribu.
Pagi-pagi sekali bel pesantren berdering keras lagi mengagetkan. Para santri masih lelap dalam tidurnya padahal suara adzan di sana-sini sudah terdengar sayup-sayup menelusup ke dalam genderang telinga setiap insan. Nyala lampu di setiap ruangan sudah menerangi kegelapan yang semalaman menyertai mimpi-mimpi penyegar rohani warga pesantren. ”Auww....” raungan-raungan kecil tak sedikit dimunculkan oleh santri sebagai ekspresi masih ngantuk.
Tak diketahui kapan ia bangun. Ia mengenakan baju koko warna putih polos. Sajadahnya terlipat kecil melingkari lehernya yang kokoh. Dan suara emasnya mulai mengalun penuh irama—melantunkan adzan shalat shubuh di mushola pesantren. Para santri berduyun-duyun meninggalkan mushola tempat mereka beristirahat dan kembali memasuki kamarnya. Sebagian mereka ada yang melanjutkan tidur lagi. Namun, segenap pengurus dari pihak keamanan telah siap menggiring mereka untuk jama'ah shalat shubuh. Salah satu shalat yang memiliki keajaiban luar biasa dibanding empat shalat fardhu lainnya.
Shalat sunah fajar saja pahalanya sebesar langit bumi seisinya apalagi shalat shubuhnya. Waah, luar biasa. Selesai adzan, semakin tampak jelas wajahnya. Perlahan ia mendekatiku, Karebet yang kukenal tampak gagah dan berwibawa. Harum tubuhnya menyebar ke seluruh ruangan kamarku. Hidungku merasakan sedapnya aroma wangi tubuhnya. Mencium dan menikmati sedapnya bau harum yang tiba-tiba memasuki rongga hidungku.
"Ayo, Han, dah adzan!" Katanya sambil membangunkanku sampai aku duduk.
Aku mengangguk. Sebenarnya aku masih sangat mengantuk dan ingin sekali meneruskan tidurku. Tak lama kemudian iqamah pun dikumandangkan setelah kami berkumpul di mushola. Aku teringat, saat pertama kali mendaftar sebagai santri baru, Pak Yai yang jadi imam shalat. Lalu  pas hari pertama di pondok, shalat dhuhur diimami oleh Karebet dan sekarang diimami oleh Gus Munib yang usianya sekitar dua puluhan. Aku jadi tak mengerti, karena imam shalat di pesantrenku selalu bergantian. Aku mengira hanya Pak Yai lah yang punya wewenang mengimami shalat. Ach..dugaanku ternyata salah.
Berhari-hari bahkan berbulan-bulan, aku belajar membaca kebiasaan-kebiasaan warga pesantren dari yang berbau ibadah sampai pergaulan. Siapa diantara mereka yang rajin mengerjakan ibadah dan siapa diantara mereka yang acuh tak acuh dengan hal-hal demikian? Ada yang suka nderes Al-Qur’an sampai berjam-jam bahkan mengkhatamkan satu juz setiap harinya, tapi Ada juga yang sampai jungkir balik menghafal kitab jurmiyah beserta makna gandulnya untuk disetorkan tiap malam pada Gus Munib. Kalau sampai tidak hafal, maka muka santri bisa dicorang-coreng pakai arang wajan yang warnanya hitam pekat. Atau disuruh berdiri di tengah-tengah teman-temannya. Maluu..sekali rasanya bila terkena ta’jir Gus Munib, apalagi kalau ada santri putri yang meliriknya dari lantai dua. Bisa gawat. Bisa-bisa bolos sekolah karena malu bertemu dengan temannya.
 Menghafal jurmiyah sudah menjadi kewajiban masing-masing santri kelas satu. Karena dengan menghafal itu akan membuat santri semakin kuat dalam memelihara ilmu. Coba saja kalau tidak hafal, suatu saat diminta menjelaskan materi ilmu nahwu kepada orang lain, maka bisa dijamin tidak mampu sepenuhnya memberikan kefahaman. Ya....penyebabnya cuma satu. Lupa.
Imam waqi’ dalam kitab ta’lim pernah memberi nasihat kepada muridnya supaya meninggalkan maksiat biar hafalannya bagus. Syakautu ilaa waqii’in suua hifdzi fa arsyadani ilaa tarkil ma’aashi. ”Aku mengadu kepada Kiyai Waqi’ akan buruknya hafalanku—lalu beliau pun menunjukkan kepadaku untuk meninggalkan maksiat.” Kata murid beliau saat mengadu di hadapannya.
Usai shalat shubuh, kami mengaji Al-Qur'an bi nadhar kepada Ustadz Ali. Beliau lah satu-satunya Hafidz Al-Qur'an di pondokku, pondok pesantren Al-Miftah. Al-Miftah yang berarti kunci, kunci memperoleh ilmu, kunci mendapatkan ilmu yang bermanfaat.  Dan yang paling utama yaitu kunci masuk sorga-Nya Allah SWT.
Beliau pernah mondok di pesantren Krapyak Jogja. Kepada beliaulah setiap hari kami mengaji Al-Qur'an di Aula pesantren. Ruangan itu berada di sebelah utara kamar santri putra. Luasnya sekitar 10 x 20 m. Mereka yang belum hadir di majlis itu langsung dipanggil meskipun dengan sedikit memaksa. Hal ini dilakukan demi kebaikan mereka juga, rasa-rasanya keikhlasan itu datang sendiri seiring berjalannya waktu.
            Tak jauh berbeda dengan keadaan santri putri, mereka juga mengaji Al-Qur'an tiap pagi. Hanya saja bukan dengan beliau, melainkan dengan santri senior yang telah lama tinggal di pondok, yang benar-benar sudah dianggap baik dan benar bacaannya. Yang sudah paham betul hukum tajwid lebih-lebih bacaan gharib dan musykilat. Mereka bertempat di teras lantai dua pesantren. Jarak diantara kami cukup dekat sehingga suara kalam ilahi saling bersahutan menghangatkan suasana yang masih dingin di pagi hari.
Jam enam tepat biasanya pengajian sudah selesai. Dan terkadang jam setengah tujuh, kami masih duduk di hadapan Ustadz Ali. Belum mandi, sarapan dan menjadwal pelajaran sekolah. Meski wajah beliau rada-rada sangar, namun para santri merasa nyaman di sisi beliau dan tetap ta’dzim padanya.
            "Ngaji Al-Qur'an sing padha temenan Kang, ampun sembarangan nggih!"[1] Kata Ustadz Ali sebelum ngaji dirampungkan.
            Kepala kami tertunduk dan tangan kami memegang erat kitab suci Al-Qur'an. Kami diam dan dengan khidmat mendengarkan penuturan beliau sampai diucapkannya salam. Dari luar sana sudah ramai kendaraan bermotor. Kami bersiap-siap untuk sarapan, mandi lantas berangkat ke sekolah. Pagi itu, antrian panjang menghiasi kamar mandi komplek putra.
            "Krisis air.....krisis air.” Ujar Syukron saat berpapasan denganku di luar kamar.
            "Kepriye Kron, ana banyu ora?"[2] Tanyaku
            "Ana, tapi sithik.”[3]  Jawabnya sambil mengusap-usap rambutnya yang basah lalu berlari ke kamarnya.
            Aku masih berdiri di dekat pintu kamar dalam kondisi ragu-ragu dan bimbang.
            "Mau mandi nggak yaa..? Kalau mandi nanti antri, mungkin airnya nggak cukup. Terus... bisa-bisa aku telat berangkat sekolah. Tapi kalau nggak mandi...??? Rasanya kurang fresh, apalagi kalau ketemu temen-temen cewek—aku pasti nggak pede.” Batinku berkata-kata tak tentu. Saat itu jarum jam telah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit.
            Di dalam kamar ada dua orang yang sedang tidur; Karebet dan Jehan. Sinar matahari masuk menembus ruangan lewat genteng kaca yang warnanya tak lagi mengkilap. Mereka bergerak-gerak—membolak-balikkan tubuhnya dan terkadang keduanya saling berdekatan, sangat dekat bahkan menempel tanpa celah. Untungnya keduanya mengenakan pakaian.. Aku tahu apa yang mereka lakukan tidaklah disadari, kalau-kalau bantal yang mereka pakai cuma satu. Satu.....itupun dari gulungan beberapa kain yang dibungkus sarung. Inilah bantal santri. Boro-boro bantal guling, bantal gulungan kain saja sudah lumayan banget. Sederhana sekali kan. Alhamdulilah
            Para santri putra maupun putri telah berpakaian seragam sekolah dengan rapi, warna putih abu-abu serta putih biru donker membalut seluruh tubuh mereka. Sementara aku masih tetap dalam keadaan semula. Mondar-mandir kesana-kemari tak tahu apa yang harus kulakukan. Bising kendaraan bermotor di depan pondok ramai bukan main—dipadati juga para siswa yang berjalan kaki dengan langkah cepat menuju sekolahan mereka dan Madrasah Aliyahku.
            "Dalam waktu lima menit aku harus selesai ganti pakaian terus dandan sing ganteng.”[4] Pikirku tak yakin. Susahnya jadi anak remaja yang butuh perhatian dari orang lain. Seorang yang senantiasa mencari jati dirinya entah di mana ia berada.
            Tepat sekali. Lima menit kemudian, aku sudah siap dengan penampilanku sebagai anak pesantren yang memakai kopiah lipat lalu berangkat ke sekolah. Aku diantar Kang Soleh yang tiap pagi mengantarkan es lilin di perempatan Watubarut, nama sebuah desa di sebelah barat madrasahku. Seragam yang kukenakan belum disetrika, di pesantrenku tidak diperbolehkan membawa setrika listrik. Ya..Itung-itung hemat energi. Baguslah, santri putra malah jadi kreatif. Sayangnya tidak pernah ada lomba melipat baju di pesantrenku.
            Gedung berlantai dua tampak asri, catnya hijau muda, begitu juga halaman depannya yang selalu kelihatan bersih. Halaman depan madrasahku dipayungi oleh pohon-pohon berdaun lebar yang dibawahnya tumbuh rumput-rumput kecil ala negeri Sakura, rumput Jepang. Tidak hanya lingkungannya yang dirawat dengan baik, akan tetapi peraturan-peraturan yang berlaku pun senantiasa dilaksanakan semaksimal mungkin. Setiap siswa bisa dikenakan sanksi bila sampai melanggar peraturan sekolah. Bagi mereka yang terlambat masuk, siap-siap untuk menerima hukuman. Tak memandang siapa? Pengurus OSIS kah atau bukan, semuanya dikenai sanksi sesuai dengan pelanggaran. Hukumannya bisa menyapu teras kelas ataupun membersihkan daun-daun yang berguguran di bawah pepohonan yang rindang yang berada di depan setiap kelas.            
            Beberapa siswa masih berbondong-bondong—berdatangan-memarkir kendaraannya di tempat parkir sebelah utara dan selatan ruang kelas. Dari belakang, aku mendengar suara seorang siswa memanggil namaku.
            "Burhaa...n!" Suara Barlian masuk ke sela-sela telinga. Aku pun menoleh ke belakang dengan memutar seluruh badan. Barlian seorang pendatang di kotaku. Ia datang dari kota Jakarta yang konon katanya berudara panas. Sampai sekarang belum juga lancar berbahasa ngapaks. Pagi ini ia datang bersama seorang gadis asing. Sementara gadis itu? Entah siapa aku tidak tahu. Mungkin temannya atau tetangganya. Tapi aku belum pernah melihat sebelumnya. Pasti mereka berangkat bersama dengan angkotan umum, baru kali ini aku melihat Barlian datang berduaan dengan seorang gadis.
            Jarak kami semakin dekat. Lalu kami pun berjabat tangan dan gadis itu tersenyum manis sambil menelungkupkan kedua telapak tangannya lalu diangkat setinggi dada menyambut pertemuan pertamaku dengannya. Sifat pertama sudah kusimpan dalam file-otakku dari gadis itu, yang lainnya biarlah menyusul seiring dengan berputarnya waktu. Sifat seorang gadis yang malu kepada Rabb-nya karena takut melanggar larangan rasul-Nya yakni tidak menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram. Aku perhatikan, wajahnya tidak tercampuri oleh kosmetik dan sejenisnya. Di bawah bibir sebelah kanan satu tahi lalat menempel erat—kecil. Sehingga semakin menambah keindahan parasnya.
Dilihat dari asesoris yang dikenakan, pasti ia anak orang kaya. Tas dan sepatunya saja banyak terpampang di toko Jakarta, toko sepatu dan tas yang berada di sebelah barat tugu lawet kota Kebumen. Apalagi hand phonenya, Ah...aku belum tahu karena ia belum menunjukkannya di depanku.
            Aku dan Barlian memasuki ruangan, gadis itu pun masuk ke kelasnya yang berada di lantai dua sebelah barat. Hari yang aneh, tiba-tiba saja hatiku dipenuhi oleh rasa penasaran dan dentuman-dentuman jantung yang tak menentu. Entah kenapa, apa karena ada setitik rasa iri pada Barlian karena ia bisa berjalan dengan seorang gadis yang cantik. Apakah karena mata ini yang telah bermaksiat karena terlalu lama memandang keindahan makhluk-Nya? Pusing aku dibuatnya. Masa sih Barlian punya pacar? Rasanya mustahil, aku belum terlalu percaya. Ah...apakah aku cemburu ya?
            Di sela-sela istirahat, kudekati Barlian dan memintanya untuk tidak keluar kelas. Ia menerima permintaanku. Kebetulan sekali, aku tidak harus kesana-kemari untuk bertanya sesuatu padanya. Ia duduk satu meja denganku. Seperti itulah seharusnya antara ketua kelas dan wakilnya. Ia seorang ketua yang tidak banyak berbelit-belit, tapi ia sering kali menunjuk seseorang untuk jadi ini dan itu. Tanpa adanya persetujuan dari pihak yang bersangkutan. Tapi semoga saja ia sudah mempertimbangkan dengan matang akan keputusan yang diambil.
            "Yan, siapa cewek tadi pagi?" Tanyaku santai pada Barlian. Ia memutar tempat duduknya 90 derajat dan menghadapkan tubuhnya ke arahku. Sebenarnya aku deg-degan untuk mengutarakan pertanyaan itu padanya. Tapi aku tak tahan mengekang rasa penasaranku pada gadis itu. Sebenarnya ia siapa...?
            "Ayoo.....kamu naksir ya, Han?
            "E...biasa aja kok. "
Aduh! Kenapa rona wajahku memerah. Tiba-tiba saja darahku naik ke ubun-ubun.
            "Tuh kan, wajahnya merah padam. Ha….ha…ha…ha…Pasti ada apa-apanya  nih. Kamu pasti suka ya Han sama cewek tadi. Udahlah ngaku ajaa…!"
            Aduh. Kena lagi. Aku berusaha menutup-nutupi dugaan-dugaan dari Barlian dengan rona wajah yang kalem. Tapi tetap saja ia mengguruiku.
            Kali ini, ia tertawa ngakak untuk kedua kalinya, sehingga terlihat gigi-giginya yang putih mengkilap, bersih terawat. Gigi yang bagus, ia merupakan bagian tubuh manusia yang sangat vital bagi setiap orang. Untuk merawatnya pun harus ekstra hati-hati. Bagi sebagian orang yang pernah kehilangan gigi, tentunya akan menangis, seakan habislah masa depannya. Rontok satu saja bagian depannya akan mengakibatkan seseorang tidak beranjak dari dalam rumah. Pertemuan penting apapun tak akan dihiraukan ketika rasa percaya diri itu sudah hilang. Tidak PD dengan keadaan kehilangan gigi.
            "Ia adikku, namanya Hafshoh. Ini hari pertama ia masuk sekolah kita. Kemarin sekolah di Jakarta, tapi karena ada sedikit masalah dengan teman-temannya, jadi mendingan pindah aja ke Kebumen."
            Aku sendiri tak menanyakan lagi kenapa ia pindah ke kota kecilku. Padahal Jakarta yang aku tahu sangat menyenangkan. Meski hawanya panas. Tapi yang pasti lebih panas Mesir bila dibandingkan Jakarta. Bayangkan saja, kalau di Mesir itu  suhu bisa mencapai 40 derajat celcius, Idii..h, tentunya tak bisa tahan lama. Kulit jadi kering dan warna kulit mungkin jadi lebih hitam.
Terus, kalau di Jakarta bisa jalan-jalan ke Ancol pada hari libur, ke TMII ataupun Seaworld. Mau fasilitas apapun bisa terpenuhi, dari yang sifatnya permainan sampai ilmu pengetahuan. Namun sayang, tiap tahun kota metropolitan itu tergenang banjir. Ya, karena sudah menjadi kuasa Tuhan—mau berbuat apa lagi ?
            Sunyi.
            Aku tercengang sejenak, mulutku terbungkam. Untuk pertama, namanya saja aku kira sudah cukup. Dalam hati ini mengembang rasa senang dan berbunga-bunga yang tak henti-hentinya sampai kembali lagi ke pondok. Rasa-rasanya ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Lebih dekat dengannya dan mengakrabinya. Benar-benar godaan yang luar biasa. Ketika sedang asyik-asyiknya mencari ilmu, malah dihadapkan pada keinginan-keinginan semu. Mau menghindar tidak bisa, didekati malah bisa bermsalah.
            Cuaca yang panas dan suara berisik teman-teman di kelas seakan tak ada artinya untuk jiwaku yang hangat-dingin—penuh dengan kata tanya dan harapan-harapan kosong yang menghantui hatiku. Aku jadi sering termenung sendiri dalam keramaian teman-temanku.
            Bukan suatu hal yang aneh lagi bila setiap hari aku melihat mereka berdua berangkat sekolah bersama. Kakak beradik itu sangat rukun dan belum pernah kumelihat keduanya saling berantem apalagi bermusuhan seperti kucing dan anjing. Seperti seorang pemuda yang sedang berebutan pacar dan lain sebagainya. Aku tak ingin seperti juga Cut Pat Kay dengan derita cintanya pada gadis yang dicintainya, sampai-sampai ia berani berkorban jiwa raga demi cintanya yang menggelora.

~~~***~~~
Sepulang sekolah. Aku memberanikan diri untuk main ke rumah mereka. Kami bertiga jalan bersama. Aku, Barlian dan Hafshoh. Kami sengaja naik angkotan kota bertuliskan Koperasi yang setiap hari menuju ke sekolah kami. Angkotan inilah yang khusus mengangkut anak-anak sekolah keliling jalan CINTA, yah…Jalan Cincin Kota. Setiap pagi sebelum jam tujuh, para sopir dengan setia mengantar kami ke sekolah. Bila jarum jam sudah menunjukkan pukul 14.30—mereka sudah menunggu para siswa di depan sekolahan untuk pulang.
            Bangunan rumah yang indah. Gedung itu bertingkat dengan taman yang berada di halaman rumahnya. Sungguh indah sekali taman itu. Sebuah taman yang dihiasi dengan air mancur yang saling berkejaran. Air mancur itu dikelilingi bunga warna-warni dengan daun yang berwarna hijau segar. Ingin sekali aku memandangya lebih lama lagi, namun hal itu tak mungkin karena itu bukan milikku.
Di garasi dekat taman, terpampang sebuah mobil sedan bercat merah mengkilap. Aku suka dengan warnanya. Aku juga suka dengan keindahan mobil yang satu ini. Tapi sayang sekali, itu hanyalah mimpi semu yang  terlalu jauh. Benda itu bukan milikku. Tidak baik berangan-angan yang terlalu jauh. Dalam Islam sendiri kita tidak boleh berandai-andai atau tulul amal yang akibatnya hanya akan menjadikan kita banyak bernostalgia. Bermimpi yang sulit sekali diwujudkan dalam kenyataan.
Seperti cebol merindukan bulan. Bagaimana mungkin ia bisa bertemu bulan sementara ia senantiasa menetap di bumi? Bagaimana mungkin orang yang tidak mau berusaha dan malas-malasan di rumah akan bisa membeli mobil mewah, hidup dalam berkelimpahan harta, pangkat yang tinggi dan istri yang cantik? Sungguh ini menjadi perenungan yang tidak sederhana. Siapa pun yang ingin hidup sukses, pasti membutuhkan energi yang besar alias pengorbanan yang tidak sedikit. Bekerja, bekerja dan bekerja—dengan disertai berfikir dan berdo’a pada Yang Maha Kuasa.
Setelah aku dipersilahkan masuk, aku dan Barlian duduk di salah satu ruang tamu ber-AC yang dilengkapi dengan televisi dan telepon rumah. Sementara Hafshoh masuk ke kamarnya lewat tangga kayu yang terukir indah dan penuh pesona. Lantainya bersih tak ada sampah sedikit pun.
”Enaknya jadi orang punya.” Pikirku
            ”Inilah tempat tinggal kami, Han. Temen-temen kita belum ada yang pernah ke sini lho.., tapi kepala sekolah kita malah udah pernah sekali datang kemari, Yah.....saat ibuku meninggal. Waktu itu aku masih semester dua dan Hafshoh pun masih tinggal di Jakarta. Beliau ikut bela sungkawa atas musibah yang menimpa keluarga kami setahun yang lalu.”
            Ibunya kecelakaan saat pulang dari pasar. Tak tahu siapa yang menabrak? Setelah beberapa hari ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian, ternyata yang menabrak adalah mantan seorang pejabat tinggi negara. Ia menabrak lari seenaknya tanpa ada rasa berdosa sedikit pun. Mungkin ia pikir, semua itu karena kesalahan korban atau malah sudah menganggap korban seperti binatang. Sehingga tidak perlu lagi memikirkan nasib korban.
Namun setelah ketahuan identitasnya, ia berkelit dan menyalahkan ibunya Barlian karena sembarangan menyeberang jalan. Namun akhirnya ia menyerahkan diri juga kepada polisi. Sungguh sangat disayangkan, kenapa tidak sejak awal ia menyerahkan diri. Malah melakukan aksi tabrak lari, bukan kah ia wakil rakyat yang bisa dijaikan contoh dan teladan yang baik? Semestinya ia turun dari mobil dan membawa korban ke rumah sakit, meski akhirnya nyawa korban tidak tertolong—itu masalah belakangan. Yang terpenting adalah rasa tanggung jawabnya yang diharapkan.
Kami masih asyik berbincang-bincang, secara tiba-tiba seorang bapak keluar dari dalam ruangan. Beliau mengenakan baju bathik warna merah jimbrang ala pekalongan dengan sarung warna merah hati kotak-kotak.
Beliau duduk di sebelah kanan putranya. Satu set mebel empuk memenuhi ruang tamu mereka. Beliau lebih dulu tahu namaku, mungkin Barlian sudah menceritakan tentang aku kepada ayahnya.
            Tak lama kemudian, Hafshoh keluar dari salah satu ruangan dan membawa tiga gelas sirup pandan lalu menyuguhkannya di hadapan kami.
            "Hafshoo..h, sini ikut duduk!" Kata ayahnya sambil menunjuk satu tempat duduk di sebelahnya. Hafshoh pun duduk dengan pelan-pelan. Nampan yang digunakan untuk membawa minuman tadi, masih ia pegang. Lalu ayahnya pun menyuruh supaya diletakkan di atas meja supaya tidak capek.
            "Ngomong-ngomong Mas Burhan sekarang tinggal di mana?" Tanya beliau
            "Di pondok pesantren, Pak.” Jawabku
            "Pondok mana?"
            "Al Miftah?"
            Beliau mengernyitkan dahi lalu tersenyum lembut.
            "Kebetulan sekali Mas Burhan?"
            "Emangnya kenapa Pak?"
            "Gini lho Mas,  dalam waktu dekat ini kami sekeluarga bermaksud mengadakan acara dalam rangka mendo'akan ibunya Hafshoh. Hari jum'at besok tepat satu tahun sejak meninggalnya almarhumah. Mungkin kalau pihak pondok tidak keberatan, kami ingin mengundang para santri untuk ikut membacakan do'a dan surat yasin bersama.
             Aku belum bisa memutuskan.
"Nanti kalau Mas Burhan mau pulang, biar diantar saya aja—kan bisa sekalian silaturahmi sama Pak Yai. Gimana Mas?" Ujar Beliau serius
            "Nggak apa-apa Pak, insyaAllah Pak Yai ada di rumah.” Jawabku agak ragu.
            Hari semakin sore. Aku mohon diri untuk pamit pulang, sebagaimana yang dikatakan ayahnya Hafshoh tadi, beliau akan mengantarku sampai ke pondok. Hatiku merasa kurang percaya diri, karena belum pernah sekalipun ada orang yang mengantarku dengan menggunakan mobil mewah. Nanti bagaimana tanggapan teman-teman santri? Mungkin sebagian dari mereka akan mencela dan menghinaku atau malah sebaliknya. Memuji karena punya kenalan orang bermobil Wah. Tak apalah, aku harus siap dengan apa yang akan mereka katakan padaku nanti. Pokoknya aku jalani dulu, semoga tidak ada apa-apa dan berjalan baik-baik saja.
            Kami berangkat berempat ; aku, beliau dan kedua buah hatinya. Aku diberi kesempatan untuk duduk di muka, padahal aku sudah menolak. Namun tidak bisa juga. Aku duduk di depan. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal. Ternyata beliau seorang Qori’ nasional, pada masa mudanya pernah berkeliling ke beberapa provinsi di Indonesia dalam rangka Musabaqah Tilawatil Qur’an. Menjuarai beberapa kali dalam beberapa event perlombaan MTQ. Beliau belajar qiro’ah sejak masih SD, sampai beliau kuliah di Jogja—beliau masih tekun belajar qiro’ah ke beberapa gurunya. Sebelum usianya genap empat puluh tahun, ternyata apa yang diimpi-impikan terwujud. Allah mengabulkan do’anya di waktu siang dan malam. Beliau juga berkesempatan melaksanakan ibadah haji di baitullah.
Aku hampir lupa, ada satu hal yang belum kuketahui dari beliau yakni namanya. Tanpa basa basi lagi, aku menanyakan langsung di dalam mobil yang sedang melaju.
            "Maaf Pak, sejak pertama saya bertemu Bapak, saya belum tahu nama bapak siapa?" Kataku di tengah perjalanan.
            Beliau tertawa ngakak, persis seperti yang pernah dilakukan Barlian. Saat Burhan sedang meluapkan kegembiraannya karena dapat nilai seratus atau ketika ia tertawa karena ada lelucon dari temannya. Ha.....ha.....ha.....Bapak dan anaknya memang sama saja, postur tubuhnya pun tak jauh berbeda. Benar juga pepatah mengatakan, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Beliau Al Mukarrom wal Muhtarom KH Zainuddin MZ dalam pidatonya juga mengatakan “Ayah kalong anak kampret, ayah nyolong anak nyopet”, jadi tak jauh beda sifat dan wataknya antara orang tua dan anak.
            "Nama saya Shidiq, Mas. Saya asli Jakarta sedangkan istri saya orang Kebumen asli.” Kata beliau dengan senyumnya yang merekah lebar
            "Oo.." Kataku lirih
            "Masih jauh nggak, Mas?"
            “Itu Pak, dari pertigaan belok kiri.”
            Satu menit kemudian.
“Nah itu pondoknya, sudah kelihatan.”
            Beliau memarkir mobilnya masuk ke area pesantren—mobil berhenti diantara ruang kelas  dan mushola pesantren. Kami berempat turun lalu kuantar mereka bertiga masuk ke ndalem Pak Yai. Saat itu, para santri putra sudah siap dengan kitabnya sambil duduk-duduk di teras mushola. Aku datang agak terlambat. Sedangkan santri putri sudah turun dari tangga, tapi baru sebagian kecil saja yang turun. Entah apa yang sedang mereka lakukan di dalam kamar, kalau teman-teman santri putra sih mengatakan:” Pasti sedang bersolek, ya biar enak dipandang”. Mungkin ada benarnya juga, dan tak sepantasnya seseorang itu menganggap hal itu buruk bagi mereka sebagai seorang muslimah yang baik. Bila mereka enak dipandang maka santri putra pun akan semakin semangat berangkat lebih awal karena bisa melihat siapa diantara mereka yang sudah menghias diri. Namun yang lebih penting—supaya mereka terbiasa menjaga penampilan fisik sehingga nantinya bisa menjadi seorang istri yang tidak membosankan suaminya di dalam rumah. Dan yang lebih penting lagi dari itu semua adalah kecantikan dan kejernihan hatinya.
Alangkah bahagianya seorang suami yang memiliki istri berparas anggun dan berhati jernih lagi suci. Seorang istri yang bisa memberi dukungan dan motivasi saat suaminya dilanda lemah semangat. Seorang istri yang bisa menghibur suaminya saat belum berhasil dalam dagangnya bukan malah sebaliknya—mencaci dan menghina suaminya ketika bangkrut dalam bisnisnya. Juga seorang istri yang bisa memberikan seulas senyum ikhlas saat suaminya pulang dari kerja. Bukan malah dengan wajah kecut dan pakaian seadanya ketika membukakan pintu rumahnya. 
Di halaman pesantren. Semua mata tertuju pada kami—aku mendengar bisik-bisik mereka yang membicarakan kedatangan kami.
            “em—em...... " Suara salah seorang santri yang sedang bergerombol di mushola. Pasti mereka tak bisa berkutik, seorang santri harus senantiasa menjaga etika supaya nama baik pesantren tetap terjaga. Meski hanya sekedar menundukkan kepala, itulah cara santri memuliakan tamu. Karena barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya.
            Haji Shidiq melempar senyum kepada para santri putra. Mereka pun membalasnya dengan senyuman hormat dan kikuk. Deretan gigi-gigi mereka tertata rapi lalu menutup kembali. Sungguh luar biasa ajaran dalam Islam, yang muda menghormati yang lebih tua dan yang tua menyayangi yang lebih muda.
            Setelah mengantar ke ndalem, aku segera bergegas ke kamar untuk mengambil kitab ’Aqidatul awwam’ dan mengaji bareng teman-teman di dalam kelas. Aku keluar dari kamar, sebagian mereka mendekatiku dan mengikuti sampai di dalam kelas.
            "Han, kae mau sapa sih?"[5] Tanya Adam tak sabar
Di samping Adam duduk tiga santri lainnya; Anton, Mukhlis dan Jehan. Wajah mereka menatap ke arahku hingga aku bingung mau berkata apa.
            "Oke..tenang..tenang!" Pintaku
            "Awas...awas!" Bringas Anton menyingkirkan ketiga temannya. Eh...Aja rame!”[6] Katanya
            "Padha Saba..r ya. Engko bae bar ngaji, kae deleng Ustadz Malik wis nangarep kelas.”[7] Kataku lalu diam
            Kudapati muka mereka tampak cemberut dan matanya melotot tajam seakan mengancam musuh. Kupalingkan pandanganku memperhatikan Ustadz yang baru mulai mengajar kami di muka kelas. Sore ini pelajarannya kitab ’Aqidatul ’Awam yang mengenalkan ilmu tauhid dasar pada santri.
Allah Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatu Lilhawaditsi
Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah, Qudroh, Irodah, ‘Ilmun, hayat
Sama’, Bashor, Kalam, Qoodiroon, Muridan, ‘Aliman, Hayyan, Sami’an
Bashiiron, Mutakalliman
Seluruh santri harus hafal di luar kepala, aliasnya nglothok. Kami senang dengan metode mengajar beliau, kadang ada humornya, cerita dan nasihat-nasihat yang sangat bermanfaat, terutama nasihat untuk tetap memiliki cita-cita yang tinggi. Jangan kerdil, cita-cita kok jadi pegawai. Bukankah setiap orang punya kemerdekaan masing-masing. Jadi pegawai tak masalah, tapi jangan dijadikan cita-cita tertinggi.
Allah wujud berarti Allah itu ada. Buktinya Allah itu ada ya..dengan adanya langit dan bumi ini. Manusia harus yakin bahwa yang menciptakan alam semesta ini adalah Allah, siapa lagi kalau bukan Dia? Bagi orang yang masih mampu berfikir jernih tidak boleh taklid, hanya ikut-ikutan tapi tidak tahu dasarnya. Dalam hal ini memang banyak diperselisihkan, kalau ulama jumhur menyatakan cukup dengan taklid saja. Tapi Imam Sanusi menganggap taklid itu belum cukup. Beliau menjelaskan panjang lebar tentang sifat Allah, kadang otak kami harus berputar-putar karena diajak berfikir dan sekaligus menanamkan keimanan kepada Allah. Dengan landasan tuhid itu maka semakin memantapkan kami dalam mengimani adanya Allah sebagai sang Pencipta dan Maha Kuasa atas segala yang ada di dunia ini.
Selesai ngaji kami bertemu lagi di kamar lima. Kamarku terkenal kamar paling kompak dalam urusan uang kas, sehingga tak heran lagi kalau kami sering rapat satu kamar meski tak ada makanan dan minumannya. Anggota kamar lain dilarang masuk ketika rapat sudah dimulai. Kali ini raut muka teman-temanku berseri-seri seraya merayu penuh pesona.
            "Mas Burhan ganteng, dech. Apalagi kalau mau cerita sama kita-kita.” Kata Anton merayu lembut. Ia satu-satunya anak kamarku yang paling bandel dan sering pergi tanpa kabar. Sudah berkali-kali mendapatkan ta’zir tapi tetap tidak ada kapoknya. Apa tidak malu pada orang tuanya? Kasihan mereka yang telah merawatnya hingga besar dan memberikan pendidikan yang terbaik baginya.
            "Baiklah, sesuai janji ya.” Kataku membalas
            Mereka diam. Diaturnya posisi duduk  demi mendengarkan kata-kataku tentang keluarga H. Shidiq. Pasti ada yang menjadi pusat perhatian mereka, siapa lagi kalau bukan Hafshoh. Aku jamin kalau Hafshoh tidak ikut ke pondok, mereka tidak akan mengerumuni aku dengan sangat antusias. Keterlaluan memang. Tapi setelah aku pikir-pikir, wajar juga sih karena memang mereka teman-temanku yang belum tahu.
            "Eh..minta tolong ditutup pintunya!” Kataku. Anton dengan segera mendorong pintu kamar dengan perlahan-lahan. Di kamar hanya ada kami berlima.
"Dia Hafshoh, adiknya Barlian?" Kataku
            "Nama yang bagus. Ayu maning. Pasti Shalihah. Trus, Han! Kata Mukhlis meminta dilanjutkan. Belum sempat aku meneruskan cerita, adzan maghrib berkumandang. Akhirnya kami menghentikan obrolan kami. Mereka sepertinya kurang puas dengan apa yang kusampaikan.
 "Nggak papa Han, cepetan?"
"Masa dilanjutkan sih, kan sudah adzan?" Kataku
Lalu kami pun bubar satu persatu.

~~~***~~~
            Sehabis shalat maghrib, biasanya kami berkumpul di sepanjang teras depan kamar untuk muhafadzah Juz 'Amma secara jama'ah. Kemudian dilanjutkan pengumuman-pengumuman dari pengurus. Waktu itu Pak Lurah sedang ada kepentingan di luar, sehingga diwakili oleh Karebet. Ia duduk sila dengan posisi tubuh tegak—sehingga terlihat lebih berwibawa dihadapan para santri. Tak lupa salam ia ucapkan kepada para santri putra, terkecuali santri putri yang berada di lantai dua.
            "Teman-teman santri yang dirahmati Allah. Minta waktunya sejenak, tadi sore Pak Yai kedatangan tamu yang tinggal di Sruweng. Namanya Haji Shidiq, beliau mengundang teman-teman semuanya untuk membacakan surat yasin di rumah beliau. Adapun waktunya, insya Allah malam jum'at besok ba'da maghrib. Dan besok kita ke sana bersama-sama naik bis yang sudah disediakan." Tutur Karebet dengan sangat jelas.
            "Perbaikan gizi, Han." Celetuk Syukron di telingaku
            "He....he, sip lah Kroon."
            Kami bubar ke kamar masing-masing untuk mengambil kitab lalu masuk kelas. Pelajaran malam ini tentang darah wanita, kami semua harus membawa kitab Risalatul Mahiid dan buku tulis. Mempelajari ilmu ini wajib hukumnya bagi wanita, karena wanita lah yang setiap bulan kedatangan tamu tak diundang, yakni menstruasi. Sah tidaknya shalat seorang wanita ya karena darahnya itu. Tapi, sayang ngajinya dipisah dengan santri putri, andai saja digabung pasti ramai dan pastinya santri putri pada malu bertanya sama ustadz spesialis Haid, Ustadz Fahim. Beliau berani mengajar kitab ini karena memang sudah punya istri. Beliau juga terkadang mengatakan kalau beliau banyak bertanya kepada istrinya masalah darah wanita. Istri yang mengetahui akan kebutuhan seorang suami dan memperhatikan kesuksesan dakwah seorang suami. Subhanallah
Darah wanita itu ada yang berwarna merah, kuning, orange, hitam, dan lainnya. Kami santri putra kurang bisa memahami dengan kajian fiqih wanita. Kasihan Syukron yang masih duduk di tingkat Tsanawiyah, yang usianya belum genap 15 tahun.

            Jam 21.00 kami keluar dari ruang kelas.
            "Han, gimana ceritanya? Ayo lanjutin di kamar, aku masih siap kok dengerin ceritamu!" Bisik Anton meminta tambahan cerita selama perjalanan menuju kamar
            "Anton lagi..Anton lagi. Sorry, sekarang aku mau muthola'ah dulu, besok kamu tahu sendiri di sekolah. Dia anak baru di sekolahan kita!" Kataku ketika sampai di depan kamar lima
            "Ah...payah kamu, Han." Mukanya besengut tak bersemangat.
            Malam itu rembulan bersinar dengan terangnya. Binatang malam di sawah sebelah pesantren bernyanyi dengan indahnya dalam kegelapan malam. Berjuta bintang yang menghiasi langit semakin menambah keindahan alam semesta. Padatnya hiasan di angkasa sana seperti halnya saratnya aktivitas para santri yang berjalan setiap hari. Mengaji, shalat maghrib, mengaji lagi, shalat isya, mujahadah, mengaji lagi sampai malam. Terus belajar buku sekolahan, kadang-kadang sampai larut malam. Begitulah aktivitas santri di pesantrenku, meski demikian kualitas santri masih bisa diandalkan. Mereka juga berani berkompetisi dengan para pelajar lainnya. Tak sedikit yang di sekolahnya meraih peringkat satu atau paling tidak masuk dalam tiga besar di kelasnya.



[1] Mengaji al-Qur’an yang sungguh-sungguh Mas, jangan sembarangan ya!
[2] Gimana Kron, ada air nggak?       
[3] Ada tapi sedikit
[4] Berhias yang tampan
[5] Han, itu tadi siapa?
[6]Jangan Ramai!
[7] Sabar dong, ntar aja habis ngaji, tuh lihat ustadz Malik dah di depan kelas!

No comments:

Post a Comment