Saturday, October 1, 2011

EMPAT WASIAT ABAH NAJIB

          Ketika jari jemari ini menari asyik di atas keyboard netbook temanku, beberapa kawanku ternyata sedang gelisah dan gundah seperti seorang ibu yang kehilangan anaknya tercinta. Jarum jam di kamarku sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB. Akan tetapi beberapa temanku masih saja berdiri dan duduk sambil memasang handphon di telinganya. Tidak terkecuali lurah PP Al Luqmaniyyah, Muslihuddin asal Pemalang. Rupanya ia sedang menghubungi salah seorang temannya yang berada di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. 
          Setelah kejadian kecelakaan di Kudus seusai ziarah auliya (25/09) sekitar pukul 10.00, sore harinya beliau di rujuk dari RS di Kudus ke RSU Jogja. Dan selama enam hari, beliau dirawat di RSU PKU Muhammadiyyah. Kami yang di pesantren ikut juga mendoakan beliau supaya lekas sembuh. Terutama pada malam Kamis (28/09) saat beliau menjalani operasi di bagian kepala. Kami merinding mendengarnya, dan kami pun tak ingin sesuatu terjadi pada diri beliau. 
       Dalam waktu yang cukup singkat, suasana kamar cukup mencekam dan mengharukan setelah mendengar kabar bahwa pengasuh tercinta, KH. Najib Salimi telah tiada. Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali). Dalam usianya yang ke-40, beliau pergi meninggalkan kami, wahai murabbi ruuhina. Sungguh baru kemarin kami bercengkerama denganmu, kini engkau telah dipanggil oleh-Nya. Beliau menghembuskan nafas terakhir pada Jum’at pagi (30/09) di RSU PKU Muhammadiyyah. 
        Salah seorang ustadz yang sangat dekat dengan beliau sontak menangis kuat dengan suara yang tertahan. Beliau berjongkok sambil menutupkan kedua telapak tangannya ke wajah yang tampak kuning langsat. Baru kali ini aku melihat beliau sampai menangis sekuat itu. Karena saking kuatnya hubungan batin, emosional dan spiritual dengan almarhum—maka seperti itulah layaknya seorang anak yang kehilangan bapaknya. 
        Padahal Abah Najib, setelah menjalani operasi, beliau tampak lebih bugar dan kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Beliau juga sudah bisa berbincang-bincang dengan banyak orang yang menemuinya. Namun ternyata Allah SWT berkehendak lain. 
           Di PP Al Luqmaniyyah
        Tak lama kemudian, para santri keluar dari kamar dan bersiap-siap menyambut kedatangan rombongan beserta almarhum. Perasaan ketar ketir menyelimuti hati kami. Kantuk tiada kami rasa demi bisa menyaksikan realitas kehidupan yang tiada di sangka-sangka itu. Kami belum bisa percaya bahwa yang dibawa mobil ambulan adalah Abah kami, Kyai, pendidik, pengajar dan penggembleng jiwa kami di pesantren. Seperti mimpi rasanya. Ahh...benarkah ini, Ya Allah? 
        “laa ilaaha illallah.....laa ilaaha illallah” kalimah tahlil menggema di seluruh penjuru pesantren saat jenazah diturunkan dari mobil dan dibawa ke Ndalem. Lelehan air mata tak terbendung lagi, air mata mengalir deras tak tertahankan. Ibarat embun pagi yang tak henti-hentinya meneteskan titik-titik air membasahi dedaunan di taman ponpes Al Luqmaniyyah. Suara tangis di sana sini meramaikan suasana pagi itu. Keheningan sejenak muncul. Namun, suara tangis kembali memecah keheningan ketika almarhum dibawa keluar untuk dimandikan. Para santri pun sibuk menyiapkan segala kebutuhan seperti sabun, air, dan selimut kering. Lalu almarhum dimandikan oleh keluarganya persis di sebelah barat kelas C. 
       Pagi yang gelap menjelma menjadi terang. Tak seperti biasanya, para santri tertidur di tempat persembunyiannya—pagi itu semua santri dengan segala usahanya seraya dibantu jama’ah dan keluarga almarhum, bersama-sama mempersiapkan prosesi pemakaman. Hingga pukul 13.45, sudah tercatat sebanyak 71 imam shalat jenazah. Memang almarhum selama hidupnya dipandang oleh warga masyarakat sebagai seorang hamba yang sholeh, banyak silaturahim, dibutuhkan masyarakat, dan guru spiritual dalam mengahadapi problematika kehidupan. 
         Mautul ‘aalim mautul ‘aalam, wafatnya seorang alim—matinya alam. Seperti itulah salah satu isi amanah yang disampaikan sebelum pemberangkatan jenazah ke Mlangi, Cambahan, Sleman. Hingga saat yang dinantikan tiba, sekitar pukul 14.30 jenazah dibawa menggunakan Ambulan dan diiringi oleh jama’ah sebanyak tujuh minibus, mobil, dan sepeda motor. Jalan raya pun padat merayap seoleh-oleh para pemudik yang sedang pulang ke kampung halaman. Sesampainya di rumah kediaman yaitu PP As Salimiyyah, prosesi acara sebelum pemakaman diadakan kembali khususnya untuk penghormatan terakhir warga masyarakat Mlangi. Di sepanjang jalan, bertumpah kendaraaan bermotor dan lautan manusia memenuhi sekitar rumah duka. Sore hari pun tiba. Pihak keluarga, alumni, santri, dan jama’ah berkumpul menjadi satu di area liang lahat yang akan digunakan untuk pemakaman. Istri almarhum, Ny. Hj.Siti Chamnah senantiasa mendampingi almarhum hingga liang lahat sampai pembacaan tahlil selesai. Beliau beserta ketiga putra-putrinya yang lucu-lucu pasti sangat terpukul dengan kepergian almarhum. Apalagi yang paling kecil, Ning Iqta—sedang imut-imutnya seorang anak. Dan juga Mas Falah (M. Abdullah Falah/11) yang diwasiati sebagai penerus kepengasuhan PP Al Luqmaniyyah ke depan dengan dibantu keluarga. Adapun isi wasiat kedua yaitu teruskan dan istiqomahkan MAJLIS PENGAJIAN MALAM SELASA. 
          Wasiat ketiga yaitu santri-santri PP Al Luqmaniyyah diharuskan meneruskan kegiatan pesantren seperti biasa. Dan wasiat terakhir yaitu teruskan dan istiqomahkan kegiatan rutinan maupun AWROD yang sudah dirintis dan dijalankan. Njih, Insyaallah Abah Najib! Selamat tinggal Abah Najib, doa kami senantiasa menyertai engkau di sana, semoga kita dipertemukan lagi oleh Allah SWT di akhirat kelak. Allahummaghfir lahu warhamhu wa’aafihi wa’fu ‘anhu. Amin. Semoga Bermanfaat. 
                                                                                                                     Yogyakarta, 2 Oktober 2011 

                                                                                                                                       Penulis

No comments:

Post a Comment