Musim penghujan tiba. Daun-daun dan rerumputan mulai tumbuh bersemi di tepi-tepi jalan. Bunga-bunga mulai tumbuh bermekaran dan menampakkan warnanya yang indah sekali sebagai anugrah dari Yang Maha Kuasa. Dialah Allah SWT yang senantiasa menurunkan berkah-Nya dari arah langit dan bumi.
Di sekolah yang tercinta. Namany Bilgis. Sudah satu tahun ini ia menjadi sorotan satu sekolahan. Bentuk parasnya yang lebar semakin menampakkan wajah keibuannya. Auranya yang bisa menghipnotis setiap orang yang bertemu dengannya, nampak selalu berseri-seri. Meski terkadang cemberut, namun tidaklah membuatnya semakin membosankan dipandang, malah menjadikan semakin unik dan menambah penasaran. Saat-saat ia sedang tersenyum, luar biasa manisnya. Waktu-waktu ia menatapkan kedua belah matanya, luar biasa tajamnya. Tak ada satu titik tahi lalat pun yang menempel di wajahnya. Bening. Persis seperti Siti Zulaikha, meski aku sendiri belum pernah melihat seperti apa kecantikannya. Maha Suci Dzat Yang telah menciptakannya.
Sejak awal pertemuanku dengannya hatiku berdesir lembut. Setiap ia melangkah selalu kuperhatikan sampai ia lenyap dari pandanganku. Sungguh tak seperti ini sifatku. Aku tak ingin menjadi seorang pengecut dalam hal cinta. Aku menyukainya tapi tak berani mengutarakan. Hatiku benar-benar tertusuk panah asmara dan aku tak berani mencabutnya kembali. Sungguh aku dibuat jatuh cinta padanya. Terkadang aku berdoa agar ia selalu dekat denganku sehingga rasa rinduku bisa terobati. Dalam doaku pula aku memohon kepada-Nya agar aku bisa bersatu dengannya. Ahhhh…benar-benar pikiranku sudah dibuatnya pusing tujuh keliling.
Betapa pesonanya di sekolahku tak pernah sirna oleh waktu. Seandainya saja ada pemilihan ratu kecantikan, aku yakin Bilgis terpilih sebagai runner up.
Satu tahun telah berjalan, kini kami duduk di kelas XI. Aku dan Bilgis terpilih menjadi ketua dan sekretaris OSIS secara demokratis. Hampir setiap hari kami bertatap muka meski sekedar lima sampai sepuluh menit. Aku semakin semangat saja belajar semua pelajaran. Dari setiap mata pelajaran, aku berusaha dengan keras untuk menjadi yang terbaik di sekolahan. Namun ada satu yang tak bisa kutandingi, pelajaran matematika. Bilgis sang ratu metematika sekolahku sudah menjadi berita umum yang tak asing lagi. Profil dan tulisannya di mading seringkali muncul dan banyak diapresiasi oleh semua siswa bahkan para guru. Lebih-lebih Pak Burhan, sang guru MTK kelas XI.
“Far, bener aku nggak berani ngomong sama Bilgis. Gimana ya Far baiknya?”
“Ha….ha…, Syarif, Syarif. Kamu cowok kok nggak jentel gitu? Kalo kamu suka ya omongkan aja. Sakit tahu memendam perasaan. Apalagi kalian sering ketemu, masa mbahasnya cuman OSIS.....OSIS dan OSIS mulu? Sekali-kali kamu tanya gimana perasaannya sama kamu? Apa aku yang bilangin?”
“Eh….jangan Far!” Kataku mencegah
“Trus gimana? Orang kamu nggak berani ngomong. Buktikan kalo kamu nggak hanya bisa ngomong di atas podium, tapi bilang cinta juga oke. Ketua OSIS kok!"
“Nah itu masalahnya Far. Kalau urusan OSIS sih nggak ada masalah, tapi…untuk urusan ini kan beda!!! Aku nggak tahu harus gimana?"
“Ahh...gampang. Gini aja, mending kamu nggak usah banyak mikir, yang penting ngomong aja sama orangnya langsung!” Kata Farah meyakinkan
“Bukan itu masalahnya Far, kamu tahu sendiri kan?”
Aku berhenti sejenak. Farah semakin antusias saja mendengarkan pemaparanku.
“Mmm….kamu tahu kan Pak Burhan belum menikah?” Kataku
“Lalu?”
“Ya jelas dong Far, orang kalau belum menikah pasti akan cari istri. Dan yang aku takutkan, Pak Burhan akan milih Bilgis sebagai calon istrinya. Makanya, aku agak sangsi kenapa Bilgis nilai matematikanya selalu tertinggi? Meski aku akui, ia benar-benar mampu mengerjakan soal-soal tersulit yang nggak bisa dikerjakan orang lain. Bener-bener aneh.”
“Waah, cemburu niye..? Tenang….! Tenang Rif, sepertinya kamu perlu bernafas dulu deh..!” Kata Farah membuatku melebarkan senyum kecil.
“Jangan-jangan, Bilgis sama Pak Burhan.” Lanjut Farah
“Apa Far? Kamu ini bikin penasaran aja.” Kataku cemas
“Jangan-jangan mereka udah nikah siri. He..barangkali, bisa juga kan?”
“Ah…nggak mungkin Far. Bilgis kan masih sekolah, masa sih berani nikah seperti itu?” Kataku dengan perasaan yang sudah kacau. Pikiranku melayang-layang.
“Di zaman sekarang, apa sih yang nggak mungkin Rif?”
Mulutku bungkam. Kalau itu benar, hancur sudah harapanku.
“Apa gini aja, ntar sepulang sekolah kita ketemuan ama Bilgis, gimana?”
“Di mana?” Tanyaku
“Di sini aja, di sekolah? Ntar biar aku yang ngajak ke sini, pasti mau deh. Dia kan kemarin duduk satu meja ama aku. Aku tahu kok caranya gimana, Yah?”
“Ya…, tapi kita bertiga aja ya! Pokoknya jangan sampai ada orang ke empat!”
“Sipp laaah, aku paham kok?” Katanya dengan senyumnya yang tulus.
Sepulang sekolah. Cuaca mendung. Sepertinya mau turun hujan lebat. Kami bertiga sudah berada di dalam kelas, Aku, Farah dan Bilgis. Bilgis tampak seperti orang bingung, mungkin ia bertanya-tanya kenapa aku ada di sana.
Beberapa menit awal, kami belum berbicara pada inti pembahasan. Kami hanya becanda yang sangat sepele. Lalu Bilgis menanyakan sesuatu yang ingin disampaikan padanya. Jujur aku lebih banyak diam, dan sebagai gantinya Farah menjadi juru bicaranya. Aku tak kuat menahan gejolak perasaanku yang semakin membuncah. Betapa dag-dig-dugnya jantungku saat itu. Hampir mau copot.
“Pak Burhan itu guru privatku di rumah. Aku banyak belajar Matematika dari beliau, emangnya kenapa? Ada yang salah?” Kata Bilgis menjelaskan
“Bilgis, Syarif itu.....?” kata Farah tanpa ijin padaku
Aku semakin tak enak mendengar kata-kata Farah. Aduh! Kok langsung diomongin sih?
Akhirnya lengkap sudah kalimat itu. Tak lama kemudian jawaban pun keluar dari bibir Bilgis yang manis.
“Maaf ya sebelumnya. Bukanya apa, jujur aku sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu. Bahkan dari salah satu guru kita di sini. Tapi selalu aku tolak, Far, Rif. Aku sayang sama bapak ibuku. Sebelum ayahku meninggal, beliau berpesan agar aku rajin belajar untuk meraih cita-citaku sampai perguruan tinggi. Aku nggak boleh main-main di sekolah termasuk punya pacar. Ibuku setiap hari bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup aku dan kakakku. Maaf, Rif! Bukan berarti aku mau menyakiti hatimu. Tapi inilah aku.” Air matanya mulai mengalir dan membasahi kedua belah pipinya yang halus.
“Aku rasa kita jadi sahabat baik itu sudah cukup. Kita masih bisa becanda, tertawa dan belajar bersama kok.” Lanjut Bilgis sambil mengusap pipinya pelan.
Kedua bola mataku pun mulai berkaca-kaca.
“O, iya. Bulan depan Pak Burhan mau nikah dengan kakakku, kalian datang ya..! Dan untuk Syarif, nggak usah terburu-buru. Perjalanan kita masih panjang kok.”
Perasaanku kini sudah lega. Semua permasalahan telah terselesaikan. Akhirnya, persahabatan itu sungguh indah bila dilandasi dengan saling pengertian bersama. Maafkan aku sobat, bukan maksud aku ingin menjadi kekasih atau apalah namanya, akan tetapi aku hanya ingin menghilangkan kegelisahanku selama ini. Terima kasih sobat.
No comments:
Post a Comment