Friday, June 3, 2011

Cerpen : Naila

Jam setengah satu malam. Aku teringat seorang sahabat yang dulu pernah membuat jantungku berdebar-debar. Seorang sahabat yang pernah mampir dalam qalbuku tiga tahun lamanya. Tapi, apa boleh buat—kuasa Tuhan lebih hebat dari keinginanku yang semu. Aku tak bisa memaksakan ia untuk mencintaiku. Karena cinta tidak bisa dipaksakan. Dan aku pun tidak memaksa diriku untuk memilikinya.
Beberapa jam yang lalu kami saling berkirim pesan singkat.

“Kamu tahu aku dari dulu seperti apa kan? Di masa puber pun aku ingin jaga diri dari yang namanya ‘CINTA’. Semua berawal dari sebuah organisasi sehingga aku berani mengekspresikan cinta. Diawali dengan kebimbangan hingga akhirnya aku terima ‘janji’ dari seorang lelaki. Yang aku kira sepenuh hati dia cinta dan memiliki jiwa kepemimpinan. Karena dia langsung ngomong ke ortuku. Hampir dua tahun berjalan dengan liku-liku dalam sebuah hubungan yang aku sendiri tak mengerti. Akhirnya hubungan itu kandas. Aku tenggelam dalam kesedihanku karena semua terjadi nyaris tanpa kumengerti. Dia yang mulai, dia pula yang mengakhiri.” Kata Naila via sms

Dalam benakku yang terdalam, aku merasa kasihan padanya. Tapi kenapa juga aku malah semakin tersenyum lebar saat membaca beberapa baris sms-nya yang ia kirim? Sama sekali ceritanya bukan humor, namun entah kenapa aku selalu melebarkan senyum ringan. Aku tahu persis siapa Naila itu? Berapa jumlah saudaranya dan dimana alamat rumahnya? Sebagai seorang teman, aku sendiri ingin sekali membantunya supaya iabisa bangkit kembali meski hanya dengan sebait doa dalam tahajudku di malam ini.

Tak lama kemudian
“Aku lalai...Aku dalam kebimbangan yang amat....Aku berusaha temukan asaku yang hilang. Mungkin saat itu imanku amat sangat lemah. Aku kuatkan diriku dengan berbagai cara. Bahkan aku sering tak percaya itu semua takdir”.

Naila yang aku kenal seorang gadis yang murah senyum dan ramah. Kata-kata yang keluar dari bibirnya selalu hati-hati dan penuh pertimbangan. Kejadian itu sudah hampir setahun yang lalu, akan tetapi ia baru menceritakan pada bulan ini kepadaku. Bulan ramadhan yang penuh barokah dan mghfiroh Allah.
“Iya kamu boleh sedih, tapi jangan sampai berlarut-larut! Masa depanmu lebih penting kan?” Kataku membalas
“Siapapun orang yang tahu aku, tahu bagaimana cerita detailnya...Dia takkan kuat buat tahan tangis.” Balasnya lagi
Aku masih saja tersenyum simpul dengan kisah yang dialami oleh sahabatku yang satu ini. Aku sendiri juga tidak mengerti, apa arti senyumku ini? Kebetulan saja batinku sedang stabil dan tidak banyak problem, jadinya bisa memberikan sugesti hidup atau do’a untuknya.
“MasyaAllah, Naila...Naila. Kamu sudah cerita pada siapa aja? Ortu gimana?” Tanyaku memancing
“Ortu tahu. Dari awal aku gak mungkin berani menerima’janji’ tanpa restu ortu. So, aku dulu terima dia setelah dapat restu dari ortu. Tapi ternyata......???”
Naila masih terus saja melanjutkan. Sepertinya ia sangat shok.
“Dia putuskan secara sepihak, pun tanpa ngomong baik-baik ke ortuku. Aku dah cerita semua sama ortuku, aku selalu terbuka sama mereka. Orang tua mana yang rela anaknya diperlakukan seperti itu?” Sepertinya ia mulai membawa emosinya dalam tulisannya

Kata demi kata, kalimat demi kalimat setelahnya sungguh ditulis dari hatinya yang paling dalam. Naila sangat menyesal. Ia pun sangat benci pada lelaki yang telah meninggalkannya. Dari uraian kata-katanya, ia sedikit demi sedikit berusaha untuk memaafkan dirinya sendiri dan lelaki itu. Meski ia tidak meminta maaf. Berat memang. Bagaimanapun juga tiap-tiap orang pernah melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam berinteraksi dengan sesamanya. Naila tak ingin, ketika hendak masuk sorga kelak terhalang oleh rasa dendam dengan sesama. Apalagi dengan seorang yang seiman dan seagama.
“Aku gak mau terhalang masuk syurga karena ada dendam dalam diriku.”

Sambil menikmati mie ayam dan segelas es jeruk di perempatan tamsis, aku dan ketiga teman satu pesantren saling bertegur sapa. Tangan kananku memegang dua sumpit, sementara tangan kiriku memencet-mencet tombol ponsel dengan enjoy. Naila masih terjaga, katanya ia baru minum kopi susu. Pantas saja, ia pasti sulit tidur. Ditambah lagi masalah yang sedang ia hadapi.

Sms masih jalan.
Setelah cukup lama kami berkirim sms, terakhir ia minta didoakan. Harus bagaimana lagi, aku bisa membantu? Yah, mungkin melalui do’a yang kupanjatkan, akan mengubah takdir Allah pada diri Naila.
Jam setengah dua dini hari ini, aku mulai belajar menyimpulkan fenomena kehidupan dunia yang fana ini. Naila sedang membutuhkan orang yang bisa menghibur hatinya. Keadaam jiwanya sedang kalut, ia butuh banyak konsultasi dengan orang yang bisa dipercaya. Namun bagaimana aku bisa membantunya lebih, sementara aku juga dibatasi oleh agama? Tidak hanya agama tapi tata tertib yang ada di pesantrenku. Seorang santri dilarang keras berpacaran, lebih-lebih di bulan puasa. Ah, pacaran. Tidaklah, Naila tidak lebih dari sekedar teman dekatku.

Naila pasti bisa memahami hal itu.
Aku sendiri juga bingung. Satu sisi aku pernah mengetuk-ngetuk pintu hatinya berulang kali, namun ia tak mau membuka. Ia tak ingin studinya terganggu, di sisi lain bila aku harus maju lagi—apakah aku ini lelaki yang tidak punya rasa malu? Tapi.....hati Naila sedang kosong. Sekarang tak ada seorang pun yang ada di dalamnya. Kalau aku maju lagi, bagaimana kalau ia menjawab dengan jawaban yang sama seperti dulu, saat-saat masih memakai seragam SMA—mau ditaruh dimana mukaku ini?
Jam dua malam, kubersimpuh dihadapan Dzat Yang Maha Rahman. Aku berdo’a untuk diriku sendiri dan juga untuknya.
“Ya Allah, bagaimana hamba menjalani semua ini ya Rabb? Haruskah hamba mencoba sekali lagi untuk bisa bersatu dengan Naila? Padahal Engkau tahu, dia sama sekali tidak mengharapkan hamba di sisinya. Hamba masih punya rasa maluya Rabbi, baik di hadapan-Mu maupun di hadapan makhluk-Mu yang lain. Berikanlah hamba jalan keluar, ya Allah!Ya Fattaah Ya ‘Aliim, iftah quluubana futuuhal ‘aarifin!”
Yogyakarta, 17 Agustus 2010
*) Dimuat dalam Bulletin Iqro' PP Al Luqmaniyyah Yogyakarta

No comments:

Post a Comment