Saturday, May 7, 2011

TRADISI MENULIS, BISA?

         Belajar menulis ibarat belajar naik sepeda, pada awalnya seseorang seringkali jatuh sampai ia harus sakit dan luka berdarah-darah. Namun, adanya himmah (cita-cita) yang luhur ingin bisa, maka jatuh berulang kali pun bukanlah suatu penghalang.
         Dewasa ini, menulis merupakan salah satu pekerjaan yang banyak digemari oleh bangsa kita. Hal ini terbukti misalnya dari banyaknya tulisan yang masuk ke meja redaksi suatu media massa atau media cetak seperti majalah ataupun koran. Meskipun salah satu tujuan dari menulis itu adalah faktor finansial yang menjanjikan, namun hal ini tidaklah menjadi persoalan malah suatu keberuntungan. Dengan menulis, seseorang akan mampu mengumpulkan pendapatan yang lebih besar dibanding dengan mereka yang bekerja di dalam kantor atau perusahaan. Hanya saja, apakah setiap orang mampu melakukannya?
        Penulis sepakat dengan apa yang pernah diutarakan oleh salah seorang sastrawan kita yaitu Agus Noor, beliau menyatakan bahwasanya menulis itu ibarat belajar naik sepeda. Semakin kita rajin berlatih naik sepeda, maka semakin hari semakin lincah dan gesit. Bagi orang yang pertama kali naik sepeda, ia belum mampu mangukur keseimbangan dirinya di atas sepeda, akan tetapi ketika ia sudah belajar dengan serius lalu mampu melakukannya, bukan lantas meninggalkan sepeda itu terpuruk di dalam rumah melainkan setiap hari ia bawa sepeda itu berkeliling desa dan mengendarainya. Akhirnya lincahlah ia bahkan mampu melebihi teman-temannya yang terlebih dulu belajar naik sepeda. Semakin hari semakin lincah saja dan sudah tidak takut lagi akan jatuh karena rasa percaya diri yang tinggi sudah tertanam dalam benaknya.
         Begitu juga dengan belajar menulis. Jika seseorang memang benar-benar ingin menulis, maka ia juga harus belajar menulis setiap hari tanpa putus asa. Beberapa saat (satu jam sampai dua jam) dalam sehari, kita harus rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk keahlian yang satu ini. Bila kita masih ragu-ragu, maka itulah sebenarnya yang akan menghambat kita dalam proses kepenulisan. Kita harus berani memutuskan, jadi penulis atau sama sekali tidak. Ini mungkin terlalu ekstrim untuk para calon penulis, akan tetapi kita juga harus tegas kepada diri kita. Tanyakan pada hati kita, apakah saya akan jadi seperti para penulis ternama? Kalau naik sepeda saja, setiap orang bisa melakukannya lalu kenapa menulis tidak? Tentunya tidak ada batasan, siapa pun dia—maka ia pasti bisa menulis asalkan mau menjalani proses belajar.
Lalu bagaimana dengan santri?
        Tidak perlu dicontohkan lagi, siapa-siapa para penulis alumni pesantren yang telah melahirkan banyak karya di negeri ini. Mereka yang selama hidupnya merangkai kalimat sampai menjadi sebuah bacaan yang dinikmati para pembaca. Mereka tidak bosan-bosannya menyampaikan petuah kebenaran melalui tulisan. Meski di sisi lain, faktor finansial selalu mengikutinya. Apakah kita harus menunggu jadi alumni pesantren untuk menjadi seorang penulis?
         Pada zaman sekarang, ternyata fasilitas berupa teknologi (baca: internet) sudah menjamur padat. Dari desa sampai kota, anak-anak sampai dewasa memburu informasi di dalamnya. Komunitas-komunitas menulis pun mulai bermunculan di dunia maya ini. Masing-masing orang bebas mengekspresikan jiwanya dengan media tulisan, salah satunya kepemilikan blog pribadi. Tidak butuh biaya mahal, seorang penulis termasuk santri mampu melakukan hal ini demi mengasah kemampuannya dalam kepenulisan. Saat tulisan itu terkumpul, maka orang lain pun akan segera membacanya dan menilai hasil tulisan kita. Sungguh bukanlah suatu kegagalan ketika orang lain mengatakan tulisan kita buruk, malah sebaliknya—itu adalah sebuah keberhasilan yang kita capai karena pastinya kita akan terus memperbaiki kualitas tulisan kita. Bukankah peningkatan dalam diri seseorang itu termasuk kategori bertambahnya kebaikan? Dan patut untuk disyukuri.
         Kemampuan menulis tidaklah mungkin digapai dalam waktu yang instant, setidaknya untuk bisa melihat hasil dari tulisannya, kita harus melakukannya setiap hari; baik dalam keadaan senang maupun sedih, suka maupun duka, padat jadwal maupun longgar. Malah dalam keadaan hati yang kurang stabil, sedang marah misalnya—seseorang mampu mencurahkan isi hatinya lebih banyak bila dibandingkan dalam keadaan normal. Oleh karena itu, menulislah setiap hari, setiap waktu dengan dibarengi membaca karya-karya orang lain yang sudah masyhur. Santri pun bisa melakukannya asalkan ada kemauan dan tindakan yang benar-benar nyata yaitu ‘Menulis tanpa kenal menyerah.’

No comments:

Post a Comment