Berpikir positif (positive thinking) merupakan suatu aktivitas yang bisa membawa seseorang kepada sebuah kesuksesan. Sebagai contoh kecil, ketika seorang santri pesantren diperintahkan oleh Kyainya untuk menghafal nadzam-nadzam pelajaran atau bait-bait syi’ir maka sebagian santri akan menganggap bahwa apa yang dilakukannya hanya membuang-buang waktu saja. Padahal apabila santri tersebut bisa ber-positive thinking sedikit, tentunya akan membawa pada manfaat di kemudian hari. Salah seorang Kyai muda, sebut saja namanya K.H Taufiqul Hakim asal Jepara Jawa Tengah—beliau sewaktu belajar di pesantren pernah menghafal nadzam Alfiyah yang jumlahnya berkisar 1002 bait.
Setelah menghafal dan mempelajarinya ternyata beliau masih belum tahu juga kegunaannya. Hingga muncullah metode baru yaitu ‘Metode Amtsilati’—sebuah metode membaca kitab kuning yang dipelajari dalam waktu relatif singkat, hanya dalam hitungan bulan seseorang akan mampu membaca kitab berbahasa Arab tanpa harakat. Penulis mencoba menganalisis apa yang telah dilakukan oleh beliau selama di pesantren, ternyata kemanfaatan suatu ilmu itu tidak harus didapatkan saat seseorang mengkaji ilmu tertentu. Dengan positive thinking ini pula yang telah membawa beliau pada arah pencerahan dan kekreatifan melalui munculnya metode baru tersebut.
Penemuan ini bukan lah sebuah hasil yang muncul secara tiba-tiba. Akan tetapi melalui proses yang membutuhkan waktu yang relative lama. Akan tetapi waktu yang cukup panjang tersebut tidaklah akan sia-sia selagi kita bisa mengajak pikiran kita untuk selalu berpikiran positif akan segala hal. Karena sebagaimana kata orang bijak, kegagalan itu bukanlah akhir dari kehidupan. Namun kegagalan itu adalah kesuksesan kecil yang akan membawa kita pada kesuksesan yang lebih besar dan sempurna.
Bagi seorang santri pesantren, mengkaji kitab kuning adalah menu yang tidak akan dilenyapkan dari hadapannya. Kesalahan dan kegagalan dalam membaca kitab gundul, bukanlah akhir dari kehidupan santri tersebut dalam belajar kitab kuning di pesantren. Bila saja santri mau meluangkan waktunya sejenak untuk berpikir positiv, maka ia satu dua kali tidak akan mengambil jalan pintas yang berakibat pada keputusasaan—tidak mau belajar lagi dan meninggalkan ilmu yang berbau bahasa arab. Melainkan seorang santri yang senantiasa memupuk kesadaran bahwa ia memang benar-benar masih butuh banyak belajar dan mencoba menjadi lebih baik lagi.
Dengan didorong oleh keinginan yang kuat dan positive thinking yang tinggi dalam belajar, niscaya ia akan menemukan makna dan faidah yang akan didapatkan di kemudian hari. Oleh karenanya, Imam Ghazali, Shultanul Auliya berpesan supaya kita hendaknya tidak mengotori pikiran kita dengan menganggap rendah orang lain dihadapan kita. Kita tidak diperbolehkan menganggap bahwa kita lebih mulia bila dibandingkan anak kecil di sekeliling kita. Boleh jadi kita lebih banyak dosanya bila dibanding anak kecil karena mereka masih kecil dan belum memiliki dosa. Atau kita menganggap yang lebih tua lebih hina dibanding kita, padahal boleh jadi ia lebih banyak ilmunya dan amalnya dibanding kita yang hidup masih di bawah usia mereka. Maka dari itu, seorang santri hendaknya bisa memanaj positive thinking ini kepada siapa pun. Dengan melatih diri kita untuk senantiasa berpikiran postitif, maka hal itu berarti kita sedang berlatih membersihkan hati kita dari penyakit-penyakit rohani yang bisa datang setiap saat. Ma’annajah, ‘asa an yakuna ma’ana.
No comments:
Post a Comment