Betapa sulitnya berteman dengan orang yang usianya jauh di bawah kita. Hal inilah yang dirasakan oleh seorang guru terhadap muridnya. Idealnya, dalam kehidupan ini, antara seorang dengan orang lain terjalin hubungan pertemanan, persahabatan atau persaudaraan yang erat, kuat, dan kokoh. Sehingga ketika salah satu mendapat kesusahan, maka yang lainnya bisa membantunya dengan semaksimal mungkin.
Memahami Karakter
Bisa dipastikan seorang guru di sebuah Sekolah Dasar (SD) pernah berselisih dengan beberapa siswanya. Mulai dari rasa kesal, kecewa, bahkan sampai rasa tidak suka para siswa kepada guru bidang studi tertentu. Lebih parah lagi kalau hal itu dirasakan oleh mayoritas para siswa. Bagaimana perasaan guru yang bersangkutan apabila peristiwa itu menimpanya?
Tidak mudah memang menjadi sosok guru yang disenangi, disayangi, dan dirindukan oleh para siswanya. Apalagi usia diantara keduanya terbentang jarak yang cukup jauh. Sang guru berusia di atas 20 tahun, sedangkan si siswa berumur di bawah 12 tahun. Melihat dari segi usia saja, kita bisa membaca bahwa diantara keduanya bukanlah hubungan pertemanan, akan tetapi lebih pantas disebut sebagai hubungan antara orang tua dan anaknya.
Bagi guru SD yang masih lajang atau belum pernah memiliki keturunan, tentunya masih memiliki pengalaman minim dalam mengasuh dan membesarkan seorang anak. Meskipun setiap hari mengajar, akan tetapi yang pasti ia belum pernah merasakan bagaimana suka dukanya mengajak, memotivasi, dan mendidik anak-anak dengan cara yang tepat dan efektif. Sehingga terkadang seorang guru tidak bisa mengontrol diri karena ulah para siswanya yang menjengkelkan.
Bila benar adanya demikian, maka patut bagi kita untuk lebih banyak belajar kepada mereka yang sudah berpengalaman (profesional) dalam mendidik dan mengasuh anak. Karena usia anak-anak merupakan masa paling menyenangkan untuk bermain, bercanda, dan bercengkerama dengan teman-teman sebayanya, maka sering kali kita juga kurang bisa menyadari betapa indahnya masa kecil itu. Betapa berkesannya kisah kehidupan pada maa-masa ini. Padahal, dahulu kita pun sama seperti mereka.
Mungkin kita masih ingat sewaktu masih SD dulu, ada teman dekat kita yang setiap saat menemani kita ke kantin, kantor guru, dan ke mana pun kita pergi. Namun, pada saat kenaikan kelas ia tidak bisa naik karena nilainya tidak mencukupi. Kita pun sedih dan berharap ia bisa bersama kita lagi di kelas yang baru. Lalu apakah kita harus memprotes wali kelas atau pihak sekolah yang tidak mau menaikkan?
Lalu, bagaimanakah yang terjadi pada zaman sekarang ini? Kalau saja ada kejadian seperti itu, mungkin ada sebagian dari siswa atau orang tua yang berani dengan terang-terangan memprotes atau bahasa halusnya meminta supaya siswa yang nilainya kurang itu bisa dinaikkan. Memang untuk bisa memahami seorang anak kecil harus dengan penuh kesabaran, ketulusan dan kasih sayang.
Sebuah kisah yang pernah penulis alami bersama para siswa di sekolah yaitu terkait dengan rasa keadilan dan ketidakadilan. Sepertinya sulit juga mendefinisikan keadilan itu dihadapan para siswa. Ketika permainan berlangsung, dalam hal ini CCA (Cerdas Cermat Agama)—kelompok siswa putra lebih unggul nilainya dibanding siswa putri. Hanya karena hal ini, lalu CCA pun sempat terhenti karena siswa putri merasa diberikan pertanyaan yang sulit. Padahal, soal yang ditanyakan merupakan materi yang sudah diajarkan.
Bagaimana bisa mengatakan sulit? Akhirnya nilai tertinggi berada di tangan siswa laki-laki. Siswa perempuan pun tidak menerima atas kekalahan itu. Penulis sudah berusaha memberikan nasihat, masukan dan pengertian kepada semua siswa, khususnya siswa perempuan. Menang dan kalah adalah suatu hal biasa dalam sebuah permainan. Namun, beberapa mereka menolak. Suasana kelas pun menjadi ramai, gaduh dan hiruk pikuk. Antara siswa laki-laki dan perempuan saling adu mulut, ego mereka keluar, dan emosional mereka tidak terkontrol.
Penulis pun tergerak hati untuk mendamaikan keduanya. namun karena suasana sudah memanas sehingga sangat sulit untuk didamaikan. Keringat hangat pun keluar dari sekujur badan, tenggorokan pun menjadi kering kerontang. Selama dua jam mengajar di dalam kelas, mendapatkan para siswa yang psikisnya sangat labil.
Penulis kembali ke ruang guru setelah jam istirahat tiba. Penulis duduk sambil merenung, berfikir, dan menginstrospeksi diri (muhaasabatunnafsi) atas apa yang baru saja terjadi. Tak ada mendung tak ada hujan. Tidak lama kemudian, para siswa satu kelas secara bergerombolan mendatagi penulis di kantor guru. Satu persatu dari mereka meminta maaf atas sikap mereka yang melampaui batas. Penulis juga merasa bersalah atas kejadian itu. Bersalah karena belum bisa menjadi penengah yang baik di saat perseteruan. Yaitu seseorang yang bisa mendamaikan antara siswa dan siswi dalam satu kelas.
Hari berganti hari, minggu berganti dengan bulan—seiring berjalannya perputaran waktu, penulis banyak belajar dan mempelajari karakter setiap siswa. Untuk bisa dianggap adil dihadapan para siswa tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi membutuhkan perjuangan panjang yang tiada terputus seiring dengan perkembangan usia siswa didik.
Setiap siswa pada hakekatnya mengikuti segala apa yang diperintahkan oleh guru. Hanya saja, guru yang tidak memiliki prinsip dan aturan di sekolah seringkali dimanfaatkan oleh siswa didik. Adanya anggapan tidak adil, curang, bersikap semau sendiri, dan tidak mau memahami siswa didik merupakan wujud nyata tidak adanya prinsip dan aturan dalam diri guru tersebut.
Keinginan siswa yang begitu ragam bentuknya tidak mungkin dipenuhi semua oleh seorang guru. Oleh karenanya guru yang bijaksana senantiasa memusyawarahkan keinginan para siswa dan mengambil kesepakatan bulat bersama. Seperti halnya yang pernah terjadi di sekolah yang penulis tempati, agenda setiap hari senin kelas 5 adalah pelajaran SBK (Seni Budaya dan Kesenian). Agenda yang sudah terjadwal yaitu praktek memasak.
Satu minggu sebelumnya penulis sudah menawarkan kepada para siswa terkait masakan apa yang cocok untuk dimasak. Para siswa pun langsung mengajukan berbagai jenis masakan seperti masakan berbahan dasar singkong, humberger, hot dog dan lain-lain. Pertanyaan sudah terjawab, akan tetapi hal itu malah semakin membuat penulis harus memutar otak. Apakah penulis harus menyetujui salah satu dari usulan mereka ataukah sama sekali tidak memilih karena menimbulkan kesenjangan sosial.
Sebagian siswa juga ada yang menerima apa pun yang diputuskan. Mau masak ini dan itu bukanlah perkara penting, karena dia meyakini bahwa keputusan guru dan para siswa yang lain dianggap sudah mewakili dirinya. Lalu penulis mencoba untuk memilih salah satu dari masakan yang diajukan yaitu masakan berbahan dasar singkong. Merasa tidak terlalu hobi makan singkong, salah satu siswi berkomentar ini dan itu dengan nada yang tinggi. Ia menolak dengan diiringi permohonan supaya diganti masakan yang lain asalkan bukan singkong.
Kenapa memilih singkong? Dalam pikiran dan benak seorang siswa, singkong itu tidak enak, rasanya hambar, tidak ada variasi, dan tidak akrab dalam keseharianya. Ketika mereka sudah berpikir seperti itu, maka otomatis mereka menutup pilihan yang satu ini supaya tidak dipilih. Di sinilah peran seorang guru memberi pemahaman bahwa apa yang dipilih merupakan yang terbaik. Dan harus dilaksanakan oleh semua.
Dari siswa sebanyak 26 anak, sekitar 20 % yang menolak dan 80 % menerimanya. Dalam posisi seperti ini, anak-anak tidaklah seperti orang dewasa. Ketika keputusan diambil, pihak minoritas harus mengikuti pihak mayoritas karena jumlah prosentase yang lebih besar dan lebih banyak yang mendukung. Akan tetapi ketika diterapkan kepada anak-anak tidaklah demikian meski seorang guru sudah memberikan nasihatnya dengan sangat mantap.
Lalu bagaimana seharusnya? Satu kata “Berprinsiplah“. Memiliki prinsip yang jelas dan dapat dipahami oleh siswa merupakan kunci terselenggaranya kegiatan belajar mengajar dan aktivitas lainnya dengan baik dan lancar. Tanpa prinsip serta aturan yang jelas, kita akan terombang-ambing dan tidak memiliki kekuatan besar untuk melangkah. Namun, ketika prinsip itu sudah tertanam dalam diri seorang guru dan dipahami oleh semua siswa, maka keputusan apa pun yang dipilih—niscaya dilaksanakan oleh semua pihak dalam hal ini para siswa.
Pada akhirnya penulis dan para siswa memutuskan bahwa hari senin yang akan datang para siswa membuat masakan dengan bahan dasar singkong. Mereka yang tidak setuju atas kesepakatan tersebut tetap saja tidak mau dan acuh tak acuh karena merasa keputusan yang diambil tidak sesuai dengan isi hati dan pikirannya. Penulis mencoba mencari solusi yang tepat untuk hal tersebut. Lalu penulis pun menemui beberapa guru yang sudah senior di sekolah. Tidak juga menemukan jawaban yang tepat. Di sela-sela istirahat, salah satu siswi yang tidak setuju ternyata masih saja memohon supaya agenda hari senin tidak membawa singkong. Wajahnya harap-harap cemas, sehingga penulis pun merasa kasihan dan iba.
Penulis mencoba mempertimbangkan dengan pikiran yang jernih dan dingin. Tidak ada salahnya juga kalau mereka diberikan kebebasan memasak pada hari senin. Kalaupun tetap kolot dengan keputusan itu, sepertinya sia-sia saja karena tidak setiap siswa bisa menikmati praktek memasak dengan perasaan yang senang dan gembira. Lalu penulis pun mengatakan “baiklah, besok memasak bebas“. Dengan wajah kegirangan dan hati yang senang, siswi itu pun langsung lari cukup kencang untuk memberitahukan kepada teman-temannya yang lain. Dalam hati penulis, ini merupakan kebahagiaan tersendiri yang luar biasa karena melihat siswanya tersenyum ceria dan gembira.
Hubungan lahir dan batin
Hubungan kedekatan secara spiritual, emosional antara guru dan siswa sangatlah penting untuk dipupuk. Kenapa kita sulit berteman dan bersahabat dengan anak-anak yang usianya jauh di bawah kita? Singkat kata karena kita belum bisa memahami dan tidak mau untuk memahami mereka. Sebagai orang yang dituakan dan dianggap senior oleh para siswa, kita adalah contoh, teladan, model dalam setiap langkah dan perilaku sehari-hari yang nyata. Oleh karena itu, memiliki prinsip yang jelas dalam menjalin hubungan dengan mereka sangatlah penting diperlukan. Dengan demikian, niscaya para siswa pun nyaman, tenteram, dan senang berada di sekeliling kita dan tentunya yang tidak ketinggalan yaitu cinta kasih dan sayang guru terhadap para siswanya.
No comments:
Post a Comment