Sunday, May 22, 2011

Cerpen : Keteguhan Seorang Sugeng

Senja hari menjelang waktu maghrib. Di dusun yang masih beralas bebatuan dan di kanan kirinya berhias pepohonan bambu yang rindang, Sugeng berjalan gontai menuju masjid, tempat ia berjama’ah sejak kecil. Di sana, ia juga berkumpul dengan masyarakat. Lampu bohlam tak banyak yang terpasang di tepi-tepi jalan. Sehingga, Sugeng harus membawa senter atau obor untuk memasuki desanya.
Baru satu hari di rumah, ia sudah mendapat tuduhan kurang enak dari warga kampungnya. Ia anak rantau yang mengadu nasibnya di kota metropolitan, Jakarta.
“Sugeng pindah agama. Sugeng sudah tidak Islam lagi. Ia kafir!”
Sugeng pun kaget dan tak mengerti apa yang dikatakan oleh mereka. Tuduhan mereka tidak benar. Sungguh, ia masih shalat, puasa, dan mengerjakan ibadah-ibadah mahdah lain, layaknya seorang muslim. Tuduhan demi tuduhan bertubi-tubi menghampirinya. Dalam waktu sehari saja, sudah berapa puluh orang yang mencurigai kemurnian akidahnya.
“Ah.... Kenapa sih orang-orang menuduhku demikian?” batin Sugeng sambil berpikir bagaimana cara mengembalikan persepsi masyarakat bahwa ia seorang muslim yang taat pada agama.
Hari kedua sehabis lebaran, ia diundang oleh tetangganya dalam acara walimahan pernikahan. Di tempat walimahan, imam memimpin Kalimah thayyibah (bacaan-bacaan yang baik) salah satunya la ilaha illahllah. Sugeng sengaja mengeraskan suaranya dalam rangka memupuk kembali kepercayaan masyarakat dan membuktikan bahwa ia masih seorang muslim sejati. Setiap hari, ia berusaha dan berupaya keras untuk mengembalikan citra dirinya di hadapan orang lain.
“Aku akan membuktikan kalau aku tidaklah seperti yang mereka kira. Aku pasti bisa menunjukkan dengan caraku sendiri kalau apa yang mereka duga adalah suatu kesalahan. Tidak! Pokoknya tidak boleh terjadi kejadian yang tidak aku inginkan, sebelum mereka menelantarkan dan acuh kepadaku. Aku harus segera berbuat sesuatu,” Sugeng masih digelayuti bayang-bayang cercaan warga kampungnya.
Pagi hari yang cerah, ia berjalan-jalan sendirian berkeliling dusun. Dari kejauhan, ia melihat beberapa orang sedang memperhatikan dirinya, seakan menyaksikan barang aneh. Padahal, sedari kecil, Sugeng memang sudah tinggal bersama mereka.
“Kenapa mereka memandangku seperti orang lain saja?” katanya dalam batin yang haus akan bukti bahwa ia tidak kafir. Ia tidak murtad, seperti kata-kata orang di sekitarnya.
Mereka saling berdekatan.
“Hei Sugeng, katanya kamu sudah pindah agama ya?” kata salah seorang di kampungnya.
Tanpa pikir panjang, Sugeng langsung menanggapinya dengan mata melotot. Tubuhnya yang kekar semakin memperlihatkan bahwa ia seorang yang pemberani, bukan pecundang yang penakut. Ia tampak emosi dan haus akan kata-kata penjelas supaya mereka tidak terbawa berita bohong dari beberapa orang.
“Maaf Pak Ilyas, siapa bilang aku sudah pindah agama? Siapa...? Jelas-jelas aku masih shalat lima waktu. Aku masih muslim Pak!” tegas Sugeng
“Yang benar saja, kamu merantau ke Jakarta katanya cari duit. Kok di sana kamu malah sering bergaul dan bermain dengan orang non muslim. Masuk ke tempat peribadatan mereka dan ikut makan-minum dengan mereka. Apa itu benar?”
Sugeng kena semprot tetangganya sendiri. Dari mana ia tahu kalau dirinya berbuat demikian. Sugeng melangkah mendekati Pak Ilyas yang sedang duduk di teras rumahnya. Sugeng berdiri tegak sambil menatap wajah pak Ilyas dalam-dalam sebagai tanda keseriusannya dalam menyelesaikan permasalahan yang ia hadapi.
“Saya mengakui itu benar. Tapi tidak lantas orang-orang mengecapku sebagai orang kafir. Mana buktinya? Mana?” ia semakin kencang dalam berbicara.
“Kalau memang tidak ada buktinya, saya tidak bisa menerima. Saya masih Islam Pak!” lanjut Sugeng.
“Lalu bagaimana kamu bisa membuktikan semua itu? Orang-orang kampung sudah pada tahu kalau kamu.....” pak Ilyas terhenti setelah Sugeng sedikit menggertak
“Cukup! Oke, begini saja, nanti malam sehabis maghrib saya akan mengundang Pak Kaum dan Pak RT serta masyarakat di kampung ini untuk datang ke masjid. Saya akan bersyahadat kembali di hadapan semua orang disaksikan oleh mereka semua. Saya berani bersaksi demi apa pun kalau saya masih muslim.”
“Pak Ilyas juga harus datang ke sana biar Bapak tahu kesaksian saya. Tidak asal-asalan menuduh orang tanpa bukti!”
Setelah itu, Sugeng meninggalkan tempat Pak Ilyas dan melangkah setapak demi setapak di atas bumi yang belum diaspal. Ia berjalan sendirian sebagaimana kebiasaannya setiap hari. Setiap ada orang yang lewat dengan kendaraan, ia menyapa dan tersenyum kepada mereka. Akan tetapi, itu tidak ditanggapi dengan balasan serupa. Bibir para tetangga seakan diisolasi, sehingga berat sekali untuk tersenyum. Meskipun melebarkan senyum, tapi senyumnya kecut.
Sejak kecil, Sugeng tidak memiliki kendaraan satu pun, sepeda onthel apalagi sepeda motor. Lebaran tahun ini bapaknya tidak pulang. Mungkin kalau bapaknya ada di sisinya, Sugeng bisa sedikit terbantu menyelesaikan masalahnya. Ibunya pun tak bisa berbuat apa-apa, beliau sudah tua dan seringkali sakit-sakitan.
Setelah shalat maghrib, Sugeng, Pak kaum, pak RT, dan para warga berkumpul di masjid. Sinar lampu neon 20 watt menerangi seluruh area majlis. Tak banyak basa-basi, Pak kaum memulai pembicaraan di hadapan semua orang.
“Bapak Ibu yang saya hormati, maksud dan tujuan kita berkumpul di sini tidak lain adalah untuk menyaksikan salah satu warga kita yang konon ceritanya sudah pindah agama. Benar apa tidak sebenarnya? Oleh karena itu mari kita dengarkan paparannya. Kepada Mas Sugeng, silahkan menyampaikan penjelasan secukupnya....”
“Assalamu’alikum warahmatullahi wabarakatuh. Bapak Ibu yang saya hormati, langsung saja saya di sini hanya ingin meluruskan dugaan-dugaan yang kurang pas tentang saya dan memberi penjelasan tentang diri saya yang sebenarnya. Semoga dengan penjelasan ini, nanti, kita terhindar dari prasangka-prasangka buruk terutama kepada saya. Jujur, saya di Jakarta bergaul dengan orang-orang non muslim. Saya juga sering bersama mereka, baik makan, minum maupun masuk dalam tempat peribadatan mereka. Akan tetapi, orang lain malah menuduh saya telah berpindah agama. Sugeng kafir...Sugeng murtad. Jelas saya tidak terima!”
Orang-orang diam. Suara Sugeng menggema ke seluruh ruangan. Mereka tercengang dengan penuturan Sugeng yang begitu semangat dan serius. Tak ada yang berani berbicara. Pak Ilyas pun menundukkan pandangannya. Mungkin, ia malu bila sampai kena tatapan kedua mata Sugeng.
“Bapak Ibu, saya masih shalat, saya masih puasa. Apakah itu kafir namanya?” Sepi, tak ada jawaban.
“Baiklah saya akan bersyahadat satu kali supaya bapak ibu percaya, Bismillahirrahmanirrahim Asyhadu alla ilaha ilallah—wa asyhadu anna muhammadarrasulullah. Alhamdulillahirabbil’alamin. Terima kasih.”
Setelah itu, pak kaum kembali berbicara menegaskan bahwa saudara Sugeng tidak pindah agama. Ia masih muslim yang taat terhadap agama. Kemudian, beliau memberikan kesempatan kepada para hadirin untuk bertanya dan mengajukan keberatannya.
“Masuk, Pak,” kata pak Ilyas.
“Iya Pak Ilyas, silahkan!” ujar pak kaum.
“Begini Pak kaum....” lanjut pak Ilyas sambil menatap pak kaum.
“Pak Ilyas, langsung saja ditujukan kepada Mas Sugeng, biar nanti langsung ditanggapi,” sela pak kaum.
“O, iya terima kasih. Mas Sugeng, kami merasa keberatan kalau kamu selalu bergaul sangat erat dengan mereka. Bolehlah bergaul atau bermain dengan mereka, tapi kalau sudah ikut masuk dalam tempat peribadatan, ya itu jelas tidak bisa ditolerir lagi. Apalagi yang saya dengar, pacar kamu juga non muslim. Apa karena kamu terbawa oleh pacarmu atau kamu memang benar-benar hanya ingin bergaul? Rasa-rasanya kurang pas.”
“Baiklah Pak Ilyas, terima kasih atas keberatannya. Saya akui, benar apa yang dikatakan bapak. Saya punya pacar non muslim dan mungkin saya bergaul dengan mereka karena ada pacar saya. Kalau begitu, baiklah saya terima dengan hati yang lapang akan keberatannya.”
Sugeng dengan panjang lebar membeberkan segala hal tentang dirinya termasuk mengenai hubungan pribadinya dengan pacarnya. Malam itu berlalu begitu saja. Sebelum adzan shalat isya berkumandang, masyarakat sudah merasa lega karena persangkaan mereka selama ini tidak benar. Sugeng mengucapkan terima kasih kepada para hadirin dan meminta maaf karena telah kebablasan.
Akhirnya, Sugeng memutuskan untuk merubah sikapnya dan pola pergaulan dengan teman-temannya di Jakarta. Ia berjanji tidak akan pernah memiliki pacar seorang gadis non muslim lagi. Yang paling utama, ia akan mencari pendamping hidup yang seakidah dengannya.
Tujuh hari di rumah, reputasi Sugeng dan keluarganya sudah membaik. Ia kembali ke tempat kerjanya dengan membawa kekuatan iman dan akidah. Wajahnya cerah dan sama sekali tidak mengeluh atas apa yang menimpa dirinya. Ia optimis bahwa ia bisa menjadi lebih baik. Hidup ini tidak pernah luput dari kesalahan dan kekhilafan. Dan, orang-orang di sekitarlah yang membantu menyelamatkan kita supaya kembali ke jalan yang benar.

No comments:

Post a Comment