Cuaca siang ini panas sekali. Debu beterbangan menampar wajahku secara bertubi-tubi. Sang mentari sebentar lagi hijrah ke sebelah barat. Kondisi tubuhku sudah mulai lemas dan capek. Kakiku tak sanggup melangkah lebih jauh lagi ke depan. Mungkin seratus meter lagi telapak kakiku mengajaku berhenti. Tapi hati ini selalu menantangnya. Ubun-ubun kepalaku dan otakku semakin hangat seakan mau mendidih. Tas yang ada di punggungku semakin menambah berat beban tubuh ini. Sebuah kamus karya Jhon Echol dan Hasan Syadaly masih setia menemani studiku di kampus. Tiga buku cetak lainnya setebal duaratus halaman pun kerap kali ikut mendampingi perjalananku tiap hari yang cukup melelahkan..
Ba’da shalat dhuhur aku ada jam kuliah. Hari ini presentasi mata kuliah filsafat. Kami kebagian kelompok yang paling bontot. Nala dan Habib tak bisa datang, mereka ijin karena sibuk dengan aktivitasnya di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Sedangkan Danu ikut demonstrasi di sekitar kampus, menolak kenaikan SPP tahun ajaran baru besok. Oh ya, masih ada Salma. Aku yakin ia bisa mendampingiku dalam presentasi nanti. Hanya kami berdua yang maju, padahal makalah belum di print out. Saat ini flash disknya masih di tangan Habib. Aku seakan hidup sebatang kara di dunia ini. Aah..membosankan sekali.
“Sial, pulsaku habis, ga bawa uang lagi!”
“Dah jam 11.45, aku harus cepat ke kantor Habib, kalau tidak nanti gimana presentasinya?” Gumamku dalam hati sambil melirik ke sana kemari. Di bawah pohon yang rindang di samping tempat parkir kampus, seolah-olah kakiku sudah mengeluarkan mandatnya untuk berhenti sejenak. Aku masih tetap berdiri, bingung mau pergi ke mana?
“Reza! Reza! Oi…!” Dari kejauhan terdengar suara cewek yang rasa-rasanya telah kukenal selama dua semester ini
“Rasanya aku kenal suara itu, ia pasti Sinta! Ah bukan, A…Salma kali?! Ya..pasti Salma, tak salah lagi.”
Kuputar tubuhku yang hampir semaput untuk melihat siapa yang barusan panggil namaku. Jaraknya cukup jauh dariku, ia melambaikan tangannya sehingga terlihat pergelangan tangannya yang mulus, putih dan bersih. Cewek lulusan Pondok Modern itu selalu terlihat ceria di setiap ketemu aku. Kulit wajahnya halus, matanya cerah sekali bagai bintang kejora dari timur, pipinya merah bak buah delima yang siap dipanen. Hatinya! Wah, ga kebayang deh. Lughot kromo inggilnya masih kental melekat pada dua bibirnya yang tipis bagaikan irisan semangka dari italy. Ia orang jawa pribumi.
“Hai, lagi ngapain di situ, ntar kita maju kan?”
“Iya, tapi kayaknya temen-temen kita yang lain ga ada yang bisa, gimana ya?” Jawabku sambil mengatur pernapasan yang semakin sesak karena salah tingkah.
“Ah, itu bisa diatur, emangnya ada apa dengan mereka?” Ia merespon dengan tatapan matanya yang tajam dan juga kedua bibirnya yang cukup menawan hati lelaki.
Saat itu juga aku jelaskan semuanya. Aku ceritakan apa yang sebenarnya sedang kualami. Ia pun berkenan membantuku, mulai dari mencari Habib sampai memfoto kopi makalah yang akan di presentasikan. Kami pun berpisah setelah semuanya beres.
Usai sholat dhuhur.
Mentari rupanya mulai kasihan pada para mahasiswa dan dosen. Awan mulai menampakkan facenya usai shalat dhuhur. Mungkin ia ingin meredam amarah gunung merapi yang telah siap memuntahkan laharnya. Orang-orang setempat pun mulai diungsikan oleh tim penyelamat ke tempat yang lebih aman. Tetapi banyak pula dari mereka yang tak mau diungsikan. Ah, Terserahlah. Tapi rasanya aman-aman saja di sini
“ Itu kan cuma perkiraan manusia saja, hanya Allah Yang Maha Tahu dengan segala sesuatu yang bakal terjadi.” Pikirku sambil melangkahkan kaki keluar dari Masjid.
Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku bisa dalam presentasi nanti? Tiba-tiba Hafidz datang menghampiriku sambil menenteng buku yang ada di tangan kanannya.
“Fidz, aku nanti bisa ga ya ?” Tanyaku pelan.
“Bisa, kamu Pe De aja lagi”
“PD gimana to?”
“Pokoknya maju aja, tak dukung. Ingat. You can if you think you can”.[1] Dengan santainya ia berkata seperti itu. Tak tahu detak jantungku yang semakin bertambah kencang teringat gadis yang hendak mendampingiku nanti, Salma.
“Bener juga, kamu dapet kata-kata itu dari mana?” Aku semakin penasaran dengan apa yang barusan di katakan olehnya. Tak kusangka ia bisa berkata seperti itu. Ia hanya tersenyum simpul tanpa kata.
Jarum jam telah menunjukkan pukul dua belas lewat empat puluh menit. Para mahasiswa sudah pada masuk ruangannya masing-masing. Tapi dosen kami belum juga kelihatan batang hidungnya. Kami pun mengambil kesepakatan dengan temen-temen untuk tetap mempresentasikan makalah kami. Dua kursi telah kami persiapkan. Tempat duduk aku dan Salma. Ia lebih suka menjadi moderator dari pada presentator. Aku pun mengalah menjadi presentatornya. Laki-laki mana sih yang menolak permintaan gadis manis secantik Salma? Cuaca kembali menyebarkan hawa panasnya. Salah seorang temanku membuka korden sekaligus jendela khas jerman yang berada di belakang
Suara Salma yang nyaring dan jernih serasa menggetarkan qalbu. Bau parfumnya masih sangat tajam menusuk-nusuk daging hidungku bagian dalam. Ingin rasanya kututup rapat-rapat hidung ini. Aku khawatir akan memudarkan konsentrasiku. Temen-temen sekelas sama sekali tak merasakan hal yang sama seperti yang kualami. Mana aku berani mengatakan hal ini pada Salma dalam keadaan seperti itu. Biarlah, semoga suatu saat nanti ia akan mengerti. Lima menit kemudian datanglah sosok seorang bapak sambil membawa tas berbentuk persegi di tangan kanannya. Beliau duduk dan ikut mendengarkan pemaparan kami yang tengah berjalan. Beliau dosenku pada mata kuliah ini. Terlintas dalam pikiranku kata-kata Hafidz dalam bahasa inggris tadi. Perkataannya cukup membuatku bersemangat dan percaya diri. Presentasi selesai.
Alkhamdulillah. Dua jam kurang seperempat telah kami lalui bersama. Presentasi kami hari ini bisa dibilang lumayan. Memang pada mulanya para audience enggan untuk bertanya. Tampang-tampang mereka masih malu-malu untuk menanyakan sebuah pertanyaan. Padahal kami sama sekali tak bermaksud membuat malu mereka. Entah takut disindir temen atau minder dengan suara sang moderator, takut dibilang saingan dengannya.
"Orang hanya bertanya kok, masa ga bisa? Kan lebih sulit ngejawabnya daripada nanya?" Celetuk hatiku berkata demikian.
Khusus hari ini cuma ada satu mata kuliah. Malam ini aku harus segera menyiapkan untuk acara besok malam. Aku diundang pada perayaan ulang tahun Salma. Ia memintaku untuk menjadi Master of Ceremony (MC) pada acara itu. Baru saja Handphoneku mengagetkanku. Ada sms dari darinya.
Tuk Reza, tlg km mlm snn bsk dtng k t4 kosq j 19.00 WIB. Km jd MC, ajk jg tmnm. Jgn lp y…tk tngg bsk. Please km hrs dtg. Salma
Malam Ahad ini pikiranku berputar, lebih cepat dari putaran jarum jam dinding. Benar-benar sulit untuk memutuskan bisa atau gak menghadiri acaranya. Bukannya aku takut ga bisa, tapi waktunya malam hari, kos cewek lagi. Belum lagi aku harus ijin pengurus pondok. Wah, jadi serba salah. Saat ini sudah pukul sebelas malam. Aku balas sms Salma dengan Hp temanku sekamar. Aku belum sempet ngisi pulsa tadi pagi.
Ass. Sry, kykny aq ga bs. Aq msh bnyk tgs yg blm slsi. Mg acrm brjln lncr tnp hlngn ‘n “Happy Birthday to You” mg pnjg umr.
Akhirnya aku bisa tidur malam ini dengan sebuah nightmare.[2] Dalam mimpi aku berjumpa dengan gadis itu, wajahnya pucat. Bibirnya kebiru-biruan seperti orang yang kedinginan. Matanya sayu tak bergairah. Ia mengucapkan selamat tinggal padaku. Lalu pergi begitu saja. 1 message received, ada satu pesan dari Salma saat aku bangun tidur.
Rz, Slmt tnggl. Aq sdh prg jh. Dsni Aq brsm pr bddri. Aq sng bs knl dg org sbaik km. Trms. Mg kt bs brtm lg.
Tak terasa bola mataku basah dan berkaca-kaca serasa mau meneteskan air mata. Seketika jiwaku terasa cemas dan gelisah. Sebenarnya apa yang telah terjadi pada dirinya? Aku jadi merasa bersalah padanya . Maya tak biasanya meneleponku di pagi yang buta seperti ini. Ia temen satu kamar dengan Salma. Ia memberi kabar bahwa Salma telah berpulang ke rahmatullah. Innalillahi Wainna ilaihi raji’un. Tadi malam sekitar jam sembilan, ia tertabrak kendaraan lain. Sewaktu Traffic Light masih berwarna merah, teman yang memboncengnya menerobos dengan kecepatan yang cukup tinggi. Tiba-tiba dari sebelah kanannya meluncur sebuah mobil dengan kecepatan yang cukup kencang. Salma terlempar ke semak-semak dan menghantam pohon besar sehingga nyawanya tak bisa ditolong lagi. Sedangkan temannya jatuh dan terjungkir bergelut dengan jalan raya, terpisah jauh dari motornya. Sungguh malang nasib mereka berdua. Hingga pada pagi harinya, mereka berdua dimakamkan di tempat pemakaman yang sama secara berjajar.
Sekitar jam delapan pagi, aku dan Habib pergi ke tempat kosnya untuk ikut mengantar jenazahnya sampai tempat pemakaman. Teman-teman pada berdatangan. Termasuk dosenku yang sangat perhatian sama para mahasiswa, Beliau menyempatkan waktunya sekedar ikut bela sungkawa. Minggu pagi yang menyedihkan. Aku sempat teringat sebuah sinetron yang berjudul “Kisah sedih di hari minggu”. Namun itu tak cukup bisa menyurutkan kesedihan kami. Kami hanya bisa berdo’a semoga segala amal shalehnya diterima oleh Allah SWT. Kupandang langit yang tadinya terlihat cerah bercahaya, kini berubah menjadi hitam kelam dengan munculnya awan yang memayungi bumi Jogjakarta. Kini, gadis yang menemaniku dalam presentasi kemarin sedang menjalani alamnya yang ketiga yaitu Alam Barzah.
No comments:
Post a Comment