Oleh: Wawan Hary
Sebuah pertanyaan
sederhana barangkali ini terjadi pada diri kita atau keluarga kita. Sebenarnya
darimana anak belajar membentak? Orang tua. Dari siapa anak belajar membela
diri meski salah? Orang tua. Dari mana anak bisa menyalahkan orang lain dan
tidak mau meminta maaf? Orang tua. Seorang anak adalah peniru ulung yang dengan
panca inderanya mampu menirukan gaya, ucapan, cara berpakaian, cara makan,
bahkan cara orang tua marah.
Barangkali sebagian
orang tua ada yang suka mencubit atau memukul seorang anak ketika ia nakal atau
usil pada adiknya. Karena kenakalan anak membuat adiknya menangis, lalu orang
tua membentak dan memukul si anak. Kasihan bukan?
Suatu saat ketika
anak bermain dengan adiknya lagi, dan merasa disakiti, maka ia akan membentak
dan memukul adiknya. Orang tua lalu datang dan memisahkan percekcokan mereka.
“Sudah dibilangi,
kalau sama adiknya jangan memukul!” Ucap orang tua tanpa merasa ada yang aneh
pada ucapannya
Sekali lagi anak
adalah seorang peniru ulung yang susah dicegah karena itu bersifat natural. Bukankah
seorang gadis kecil suka memakai lipstik ibunya di depan cermin karena ingin
terlihat cantik? Sebenarnya dari mana ia meniru gaya memakai lipstik tersebut. Kalau
bukan karena orang tua yang berdandan ria di hadapan anak langsung, sepertinya
tidak akan terjadi lipstik diputer-puter dan dioleskan pada wajah anak.
Oleh karena itu,
orang tua adalah role model, contoh terbaik dan nyata yang dihadapi langsung
oleh anak. Anak seorang perokok aktif, maka tidak heran anak-anaknya menjadi
penghisap asap sejak dini. Bagaimanapun juga guru menasihati, ribuan nasihat
keluar setiap hari di telinga anak, jika orang tua masih memberikan teladan dan
contoh yang sama, tetap akan ditiru. Karena anak adalah peniru ulung.
“Ayo kita shalat
di masjid!” Ucap seorang bapak
“Nanti yang ikut
shalat bisa ikut jajan” Lanjutnya
Wah, kalau anak
shalat hanya karena jajan berarti kalau tidak beli jajan anak tidak akan
shalat. Barangkali ada yang berfikir seperti itu. Wajar saja. Memang di mana
pun tempat, anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, mereka sangat
tertarik dengan jajan atau mainan, bukan traktiran gratis atau hanya sekedar
naik mobil keliling jalan raya. Pada prinsipnya, kebaikan itu harus dibiasakan
bukan datang ujug-ujug atau bimsalabim.
Ya Alloh
jadikanlah anak-anak kami anak yang sholeh-sholehan. Tapi waktunya shalat anak
dibiarkan bermain hape, waktunya mengaji malah sering diajak ngabuburit,
saatnya latihan khataman malah diajak malam mingguan di alun-alun. Sholeh sholehah
butuh dikawal ketat dan diriyadhohi, minimal bacakan fatihah sehabis shalat buat
anak-anak kita supaya pikiran, hati dan wawasannya terbuka lebar sehingga mudah
menerima petunjuk ataupun ilmu dari siapapun.
Sebagaimana dawuh Bu Nyai Hj.
Khoiriyyah Baidlowi, Kakak ipar K.H Maimoen Zubair: “Bagi yang ingin
keturunannya ‘alim dan rezekinya berkah, yaitu ngakeh-ngakehno (memperbanyak)
membaca Ya Fattahu Ya Razzaq”. Atau Dawuh dari Bu Nyai Hj. Musyafa’ah Adlan,
PP. Walisongo, Jombang :“Jika ingin putra-putrinya hafal Qur’an. Syaratnya
orang tua harus ikhlas jika anaknya menghafalkan Qur’an. Lalu orang tuanya
mengirimi fatikhah kepada anaknya sehari semalam 100x, dan orang tua juga harus
rajin qiyamul lail (tahajjud), berdoa kepada Allah supaya anaknya diberikan
kemudahan dalam menghafal Qur’an.”
Inilah
yang disebut dengan riyadhoh bathiniyyah, ikhtiar orang tua yang tidak tampak
mata manusia tetapi dilakukan secara kontinyu dan istiqomah. Selain anak-anak
terbiasa meniru kebaikan orang tua dalam bersikap dan berbicara, mereka sangat
membutuhkan doa kita, tirakat kita, riyadhoh kita. Kalau kita sudah dijadikan
wasilah sebagai peminta sesuatu pada Alloh, kita juga harus berusaha bengun
malam, berwudlu, ambil sajadah, pakai pakaian
terbaik, lalu lafalkan Allahu akbar. Selesai dari itu kita mengangkat
kedua tangan dan berdoa: “Robbi hablii minashshoolihiin, robbij’alnii
muqiimashsholaati wamin dzurriyyati robbanaa wataqobbal du’aa” dan
seterusnya.
No comments:
Post a Comment