Sunday, July 10, 2022

Inilah Saya, Bukan Inilah Bapak Saya

اَلشَّرَفُ بِاْلأَدَبِ لاَ بِالنَّسَبِ

Kemuliaan itu didapatkan dengan adab, bukan karena keturunan”

Oleh: Wawan Hary

             Ketika kita mengingat kembali kisah Nabi Yusuf a.s, maka kita pastinya akan menemukan sebuah hikmah yang amat besar. Terutama di saat beliau memberikan maaf dengan sebenar-benar maaf kepada saudara-saudaranya. Bukankah kemuliaan akhirnya didapatkan oleh Nabi dan Rasul tertampan di zamannya, Yusuf a.s? Sungguh hal ini tidak hanya semata-mata karena beliau adalah keturunan seorang Nabiyullah. Akan tetapi karena akhlak beliau yang luhur dan tinggi di hadapan Allah SWT.

            Kan’an, putra seorang Nabi dan Rasul Allah harus mengalami nasib yang tragis ditelan banjir. Ketidaktaatannya pada ayahandanya menjadikan ia anak yang celaka dan tidak selamat dari ancaman air bah. Ini adalah kisah nyata yang patut menjadi cermin bagi umat Islam khususnya. Menjadi apapun kita hidup di dunia ini, maka tidak sepantasnya kemuliaan orang tua diagung-agungkan. Tidak juga membangga-banggakan harta yang banyak, karena harta itu milik orang tua.

            Imam Assyafi’i rahimahullah pernah mengatakan :”Laisal Fataa man yaquulu haadza abii, walaakinnal fataa man yaquulu haaa ana dza, bukanlah dinamakan seorang pemuda—dia yang mengatakan inilah ayah saya. Akan tetapi yang dinamakan pemuda adalah dia yang mengatakan inilah saya”. Cukup manis bukan perkataan beliau? Melalui lisan beliaulah kita diingatkan bahwa ayah bagi kita adalah motivator, supporter, fasilitator yang disediakan oleh Allah SWT supaya kita bisa mencontoh kerja kerasnya, semangatnya dalam menjalani hidup, ketahanan dirinya dalam menghadapi berbagai hal yang tidak menyenangkan, membela kita mati-matian demi keselamatan kita, dan lain sebagainya.

            Kita yang memiliki ayah seorang ketua RT, lurah, camat, bupati, gubernur, presiden, atau raja—sudahlah, itu semua milik ayah kita. Malah semestinya kita harus berhati-hati dalam membelanjakan gaji setiap bulannya, karena dalam jabatan itu terkadang muncul harta-harta yang haram. Kita sebagai anak beliau, yang dicontoh adalah adabnya. Bagaimana cara ayah kita menjamu tamu, bagaimana ketika beliau masuk rumah orang lain, bagaimana sikap beliau ketika disuap untuk meng-ACC sebuah proyek beromset miliaran rupiah? Itu yang kita teladani, ketika beliau menyimpang dari tatanan syariat Islam, kita pula yang harus memilahnya dan juga meluruskan beliau.

            Atau barangkali ayah kita seorang Guru, Ustadz, Kyai, bahkan Habaib—sudahlah, itu semua kemuliaan milik ayah kita. Kita tidak bisa mengambil akhlak mulia mereka begitu saja, akan tetapi kita harus belajar hari demi hari untuk mempelajari akhlak mulia beliau. Bagaimana sikap beliau ketika ada tamu yang ngomel-ngomel tak ketulungan? Bagaimana ketika datang sepertiga malam terakhir, beliau menyempatkan bangun untuk qiyamul lail  atau tidak? Bagaimana akhlak beliau ketika diundang oleh orang-orang fakir dan miskin dalam sebuah acara? Datang apa tidak? Inilah beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Bukan sebaliknya, karena merasa ayah kita adalah kyai besar—lantas ke mana-mana bebas berbuat tanpa merasa khawatir tindakannya salah atau keliru.

            Seorang muslim yang sejati, pasti akan bisa mencontoh Nabiyullah Ibrahim yang memiliki ayah seorang pembuat patung berhala, akan tetapi beliau tidak mengikuti jejaknya. Seorang muslim yang kuat, pasti akan mencontoh Khalifah Ali Bin Abi Thalib meski ayahnya sendiri sampai meninggal dunia tidak mau mengikrarkan diri masuk Islam. Adablah yang menjadi patokan kemuliaan seseorang, sungguh bukan keturunan yang menjadikan diri kita mulai di hadapan manusia lebih-lebih di hadapan Sang Pencipta.

            Cukuplah adab Rasulullah SAW sebagai tolok ukur kemuliaan kita, semakin baik kita mencontoh beliau, semakin mulia pula kita di hadapan sesama dan Yang Maha Kuasa.

***


No comments:

Post a Comment