Thursday, December 23, 2021

Be Patient, Ya Akhii!



Oleh: Wawan Hary

Kesabaran merupakan menahan emosi atau keinginan (syahwat) yang cenderung membuat pelakunya menyesal. Misalnya seorang ayah yang dibuat marah oleh anak pertamanya karena usil dengan adiknya. Terkadang ia memukul atau membentak dengan suara yang membuat anak takut atau menangis dalam waktu yang lama. Satu dua jam, perasaan bersalah barangkali tidak akan muncul dan tetap pada pendiriannya bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran.

Akan tetapi, pada saat menjelang tidur—bukan adiknya yang mendekat ingin tidur dengan ayahnya. Akan tetapi anak pertama yang tadi pagi dibuatnya menangis dan sempat terkena pukulan yang mendekap di sampingnya. Seorang ayah, sekeras apapun hatinya—pada saat ini pasti akan mengakui dengan ketulusan hati bahwa ia bersalah. Kesalahan pertama ia tidak bisa menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin. Kesalahan kedua, membuat anaknya menangis, entah itu dengan cara memukul atau membentak.

Hati anak di bawah 10 tahun katakanlah, masih suci—ia belum terpengaruh perasaan dendam seperti yang dimiliki orang dewasa. Bagaimana jadinya kalau terjadi pada orang tua. Yang satu membentak yang lain atau memukul yang lain. Bukan lagi perasaan benci yang tak kunjung hilang, akan tetapi bisa sampai anak keturunannya tidak menyukai orang tertentu.

Bersihnya hati anak kecil jangan sering kita kotori dengan kata-kata merendahkan atau pukulan secara fisik yang membuat anak menjauh dari kita. Sungguh mereka belum dikenai dosa sebagaimana kesalahan orang tua yang langsung dicatat oleh malaikat pencatat amal.

Contoh lain dari sebuah kesabaran yaitu kita yang setiap hari dihadapkan pada pasangan hidup atau istri. Menjadi seorang suami harus betul-betul bisa menjaga diri dari segala bentuk suasana. Sebuah qaul mengatakan, seorang wanita itu ibarat cuaca di sebuah kota. Terkadang cuaca itu panas, terkadang dingin. Terkadang hujan dan terkadang pula terik sekali hingga pepohonan kering. Seorang suami ibarat penduduk dari sebuah kota. Ia harus bisa bertahan dalam kondisi sedang hujan, panas, gerimis, mendung, badai datang bahkan cuaca yang sangat tidak nyaman.

Pergi dari sebuah kota karena sering hujan atau sering panas bukan lah solusi terbaik. Karena di kota lain pun tidak jauh beda. Itu artinya, seorang suami harus betul-betul memahami bahwa ia hidup di dunia dan belum saatnya tinggal di sorganya Alloh SWT. Tempat di mana manusia merasa sangat nyaman, tidak ada panas, hujan, badai, musibah, ujian dan segala perkara yang sangat tisak menyenangkan. Kesabaran akan berbuah manis, bahkan manisnya melebihi madu. Akan tetapi apabila kesabaran ini terabaikan dengan memilih jalur menuruti hawa nafsu, maka yang terjadi hanyalah kehancuran dan penyesalan yang tiada tara.

Para Nabi juga diuji dengan berbagai pasangan hidupnya. Rasulullah SAW juga diuji dengan fitnah yang menimpa Sayyidah Aisyah, istri yang masih gadis dan paling cantik. Sayyidah Aisyah dituduh selingkuh dengan Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sullami Adz-Dzakwani karena kalungnya Sayyidah Aisyah hilang dalam perjalanan menuju Madinah. Akhirnya berita hoaks menyebar (viral). Atas kesabaran Rasulullah SAW, akhirnya masalah selesai dengan turunya wahyu tentang berita bohong (hoaks) tersebut.

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur: 11)

Hingga Rasulullah SAW wafat, wanita yang berada di sampingnya adalah Sayyidah Aisyah Radiyallahu ‘anha. Manusia terbaik saja tidak lepas dari ujian pasangannya, apalagi kita yang manusia biasa dan tidak bebas dari dosa-dosa. Semoga kita bisa mencontoh beliau, manusia teladan kita hingga akhir hayat.




No comments:

Post a Comment