Wednesday, August 11, 2021

True Story—Jaga Posko Ada Ambulan


Wawan Hary

            Setiap malam kamis, saya memiliki tugas menjaga pos ronda di kampung. Alhamdulillah, sudah berjalan satu tahun yakni mulai sejak tahun 2020. Malam ini saya datang ke posko sekitar jam 21.00 WIB. Suasana sepi, tak ada satu pun orang yang datang. Di depan posko memang ada satu rumah, alhamdulillah masih terbuka dan ada pemilik rumah yang belum tidur. Lalu saya menyibukan diri dengan menyapu, menyiapkan karpet,  makanan serta minuman.

            Sekitar lima belas menit, mobil polisi lewat depan posko dan berhenti.

            “Mas, ambulan sudah lewat tadi ya?” Sang sopir bertanya dengan mengenakan masker

            “Iya Pak, tadi sekitar jam tengah sembilan”

            “Lha terus, kuburannya di mana?”

Degg, bagai kejatuhan cicak dari atap rumah. Kaget bukan main, ditanya aparat seperti itu.

            “Terus saja pak, paling setengah kilo lagi sampai”

            “Oh ya..ya.., makasih ya Mas”

            “Gih pak, sami-sami”

            Mobil polisi melanjutkan perjalanan menuju kuburan. Ternyata malam ini ada jenazah covid di dusun kami. Dua hari berturut-turut, jenazah covid dimakamkan. Di mana-mana jenazah covid dimakamkan, entahlah. Saya melanjutkan jaga posko sambil menunggu teman-teman datang, biasanya kami 5 sampai 6 orang. Malam ini sepertinya cuma bertiga. Sebagian ada yang sedang sakit berminggu-minggu, ada juga yang belum pulang-pulang, dan yang lain sedang ada kepentingan di luar kampung. Pokoknya kesibukan penjaga bermacam-macam, tapi bagaimana pun juga—menjaga posko harus tetap jalan karena ada kewajiban juga harus mengambil uang jimpitan.

            Kentongan saya tabuh dua kali, supaya teman-teman segera datang ke posko. Sekitar setengah jam kemudian, datang satu orang lalu bertambah lagi satu. Dan sampai jam 24.00, ada 6 orang yang berkumpul di posko. Kami berbincang-bincang mengenai persoalan kehidupan mulai dari ketidakcocokan dengan sesama, perjodohan dengan janda, sampai berita covid yang belum juga ada ujungnya. Katanya sohibul musibah covid dapat bantuan 15 juta, 25 juta sampai 30 juta. Semua itu katanya, entah seperti apa kenyataan di lapangan.

            Sekitar jam 23.00 WIB, mobil polisi sudah kembali lewat depan posko. Kemudian disusul mobil BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), dan terakhir Pak Babinkamtibmas lewat dengan sepeda motornya yang khas. Semoga tahun ini sepeda motornya bisa ganti terbaru seperti milik perangkat desa ya pak. Ya minimal N Max, biar semakin menambah kharisma dalam bertugas. Lebih keren tentunya.

            Tepat jam 24.00 WIB. Artinya waktu jaga kami sudah habis. Kami satu persatu bubar menuju rumah masing-masing. Jarak rumah saya dengan posko sekitar 100 meter, tapi di tengah-tengah ada jembatan yang mengenang banyak misteri. Yakni cerita-cerita masa silam yang membuat bulu kuduk berdiri. Bahkan beberapa bulan yang lalu, seorang pengendara diberhentikan seorang gadis cantik di tengah malam. Ia minta diantar pulang. Gadis itu akhirnya berhenti di salah satu rumah kosong dekat kuburan. Dari rumah saya masih kelihatan rumah kosong itu, ia ada di pinggir jalan akan tetapi bertetangga dengan kuburan desa.

            Siang hari, yang membonceng gadis itu bertanya pada salah seorang tetangga rumah kosong itu. Namun, ia terkaget karena rumah kosong itu tak berpenghuni. Semakin merinding bukan?

            Teman-teman sudah lenyap dari pandangan. Saya di depan posko bersama motor matik dan termos warna merah muda. Saat tak ada satu pun orang di situ, kondisi sepi, tapi lampu terang benderang. Motor berulang kali saya starter tidak mau, saya ‘selah’ tidak mau juga. Kalau dihitung barangkali lebih dari 10 kali. Tapi motor tidak berhasil dinyalakan.

            “Apa iya aku harus jalan kaki sampai rumah. Di depan sana ada jembatan yang remang-remang. Duh kok sepertinya butuh teman untuk pulang ke rumah.”

            Saya mencoba lagi dan terus mencoba menyalakan motor, tapi NIHIL. Sebagai manusia, rasa khawatir dan merinding tetap ada. Semoga saja tidak ada apa-apa di jembatan sana. Lalu saya membuka tutup tanki bensin, dan ternyata bensin habis tuntas. Pantesan motor tidak mau nyala. Oke, fix sudah berarti saya memang harus jalan kaki menuju rumah.

            “Bismillah, semoga aman”

            Termos warna merah jambu saya taruh di bawah posko, karena terlalu susah membawanya bila sambil menuntun motor. Saya mencoba tetap fokus menatap ke depan. Tanpa tolah sana sini. Lisan saya tak henti-hentinya membaca “Bismillahi la yadurru ma’asmihi syaiun fil ardhi wala fis samaai, wahuwas samii’ul ‘aliim. 

      Akhirnya saya sampai di depan pintu rumah dengan selamat, tidak ada makhluk yang menggannggu. Alhamdulilah. Hidup harus selalu bersama Alloh, apa-apa yang tidak diijinkan tampak dari pandangan manusia tak akan ditampakkan. Meski sedikit merinding, bulu kuduk berdiri dan pandangan fokus—saya tetap memiliki ‘rasa’ pada umumnya manusia. Ikhtiar memohon perlindungan kepada Yang Maha Memiliki itu penting supaya kita lebih menyadari bahwa segala sesuatu ada dalam genggaman-Nya. 


No comments:

Post a Comment