Tuesday, July 27, 2021

REJEKI, ANAK DAN OTAK-OTAK, A True Story


Wawan Hary

 

            Seperti biasanya, sehabis shalat maghrib—anak kami yang pertama setoran ngaji iqro. Alhamdulillah sudah sampai jilid 3. Saya sebagai orang tua tidak terlalu peduli dengan penilaian orang, kok baru jilid 3 dan lain sebagainya. Bagi saya sebagai ayah, kemampuan dan kecepatan dalam belajar tiap anak berbeda-beda, oleh karena itu saya memiliki keyakinan bahwa memang anak saya baru sampai jilid 3 untuk masa sekarang. Saya sudah sangat bersyukur, dia masih patuh dan tidak terlalu banyak alasan untuk tidak mengaji. Inilah rejeki. Di mana di luar sana banyak ditemukan anak-anak remaja yang tidak mau mengaji lagi karena sudah asyik dengan dunianya atau memang belum tersentuh oleh guru ngajinya.

            Setelah selesai ngaji, dia berkata bahwa setiap malam Sabtu—ia ingin ikut berangkat ke TPQ. Saya mengiyakan. Tidak masalah seminggu sekali. Kebetulan malam Sabtu jadwalnya membaca sholawat yakni membaca kitab al barzanji Karya Sayyid Ja’far Bin Hasan Al Barzanjiy. Tentunya saya tidak menjelaskan seperti mengaji kitab dan memaknai dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Sehingga, anak kami tatkala ikut berangkat—tidak banyak mengganggu bahkan bisa ikut mendengarkan dengan baik atau ia sibuk sendiri di ruang kantor—bermain dan menyusun mainan kesukaanya. Jadi gedung tempat para santri mengaji itu, kalau pagi digunakan untuk sekolah PAUD, kalau sore dan malam digunakan untuk mengaji.

            Selain pesan ingin ikut ke TPQ setiap malam Sabtu, nanti sepulang dari TPQ minta tolong dibelikan cemilan otak-otak. Makanan ini terbuat dari tepun aci seperti cilok hanya saja bentuknya lonjong. Makanan ini harus digoreng dulu sampai matang dan ditaburi bumbu sesuai keinginan. Saya sudah paham, bumbu apa yang seharusnya ditaburi di atas otak-otak. Apa itu? Balado? Pedas asin? Pedas manis? Atau jagung? Ya, benar sekali –ia meminta rasa jagung. Enak memang.

            Sekitar jam 19.40 ngaji selesai dan dilanjutkan shalat Isya berjamaah. Memang setiap malam kami shalat Isya berjamaah di TPQ, para santriwati sudah siap sedia dengan mukenanya dan peralatan shalat seperti sajadah. Alhamdulillah selama ini berjalan dengan lancar, para santriwati manut, tidak banyak protes dan tidak tampak menggerutu di belakang layar.

            Senangnya seorang guru yang didatangkan para santri yang senantiasa semangat dan patuh. Bukankah ini rejeki dari Alloh SWT? Saya selalu berpesan, bahwa mengaji itu harus bisa merubah perilaku yang belum baik menjadi lebih baik. Jangan sampai sama, perilaku buruk tahun lalu sampai sekarang masih juga dilakukan. Semua harus berproses menjadi lebih baik lagi. Seseorang yang beruntung itu adalah mereka yang hari ini lebih baik dari hari kemarin. Atau dia yang tahun ini lebih baik daripada tahun sebelumnya.

            Saat menunggu para santri mengambil air wudlu, saya merogoh saku. Alhamdulillah ada uang tujuh ribu. Saya keluarkan tiga ribu rupiah lalu menuju ke penjual otak-otak dan memesan makanan itu seharga tiga ribu rupiah. Saya teringat pesan anak saya minta dibelikan cemilan otak-otak. Rasa bersalah dan kasihan, saat saya pulang dan anak saya belum tidur—di tangan saya kosong tanpa menenteng pesanannya, toh cuma tiga ribu rupiah.

            “Nggak papa lah, hari ini kan anak-anak belum tak jajanin.”

            Motor saya masuk ke dalam rumah, anak kedua saya yang berumur tiga tahun berlari menyambut kedatangan saya. Dia sudah senyam-senyum menunggu makanan yang juga dipesannya. Anak kedua ini meski suaranya belum terlalu jelas, akan tetapi ia sudah bisa berkata otak-otak. Bagaimana jadinya kalau saya tidak membawa snack itu? Senyuman si kecil sudah menyambut dengan gembira, masa iya harus saya kecewakan dengan tanpa membawa apa-apa. Sakit rasanya hati ini kalau sampai kejadian.

            Saya keluarkan bungkusan otak-otak dan menaruhnya ke atas sebuah piring plastik yang besar. Akhirnya, saya, istri, beserta kedua anak saya menikmati cemilan otak-otak seharga tiga ribu rupiah. Seperti itu kami sudah merasa senang, terutama kedua anak saya. Paling tidak, saya tidak mengecewakan hatinya dan membuat sedih malam ini. Makasih ya Alloh, berbagai rejeki tidak mampu hamba hitung. Anak-anak yang sehat, para santriwati yang manut, istri yang tidak banyak menuntut ini itu serta kemudahan-kemudahan lain yang tidak bisa kami sebutkan. Wallahu a’lam bis showaab.


No comments:

Post a Comment