Wednesday, July 21, 2021

Cara Mendidik Anak Sendiri di Rumah

Wawan Hary

Pagi ini putra kami yang pertama minta dibelikan susu. Ia menyebutnya sebagai ‘susu bikin’. Yakni susu kental manis yang berupa sachetan dan dibikin dengan air panas. Bukan cara saya memberikan sesuatu tanpa perjuangan. Akhirnya satu syarat ia penuhi dengan mengaji terlebih dahulu. Meski dengan sedikit terpaksa, ia dengan semangat—mengaji tanpa harus menangis. Dan syarat ini tidak mesti saya lakukan setiap ia meminta sesuatu. Karena sering juga, anak tidak meminta apa-apa—malah kami membelikan sesuatu yang disukainya. Bukankah cinta itu memang seharusnya tanpa syarat.

Saya membukakakan halaman 9 pada jilid 3. Seperti biasanya ia akan membaca doa pembuka terlebih dahulu.

“A’uudzubillahi minasyaithaanir rajiim. Bismillaahirrahmaanirrahiim. Rodhiitu billaahi robbaa. Wabil islaami diinaa. Wabimuhammadin nabiyyaw warosuula. Robbi zidnii ‘ilmaa. Warzuqnii fahmaa. Aamiin ya Robbal’aalamiin. Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahirabbil’aalamiin. Arrohmaanirrohiim. Maaliki yaumid diin. Iyyaaka na’budu waiyyaaka nasta’iin. Ihdinas shiroothol mustaqiim. Shirootolladziina an’amta ‘alaihim. Ghoiril maghdhuubi ‘alaihim waladldloolliin. Robbighfirlii waliwaalidayya walil mu’miniina aamiin”

Setiap kali saya memperhatikan ia membaca, hati saya ‘nggrenthes’. Ya Alloh, ini amanah Engkau—saya akan berusaha menjaga dengan sebaik-baiknya. Saya akan didik dengan sebaik-baiknya. Saya akan ajari ia ilmu agama, ilmu ikhlas, ilmu hikmah, dan berbagai ilmu yang hamba bisa. Ya Alloh, dia adalah penerus sujud dan perjuangan untuk ikut menjaga agama ini. Bantu hamba ya Alloh untuk hal itu.

Meski mengajari anak sendiri tak bisa sesabar mengajari anak orang lain, saya berusaha untuk terus dan terus menjaga amanah itu supaya lebih tertata sejak dini. Anak orang lain yang tidak bisa membaca lancar barangkali kita akan memaklumi karena memang di rumahnya tidak diajarkan dulu oleh kedua orang tua mereka. Akan tetapi, di saat anak sendiri ada di hadapan kita dan ia tidak mampu membaca dengan baik—maka sebenarnya bukan emosi semata yang muncul. Ia adalah luapan kasih sayang pada anak sendiri karena orang tua ingin supaya anaknya sendiri cepat dalam menangkap materi dan belajarnya berkembang lebih maju.

Bila anak orang lain sudah diulang-ulang dan ternyata belum mampu barangkali kita akan bisa berkata: “ya sudah besok lagi lebih giat lagi atau ya sudah besok diulang lagi ya”. Namun, tidak berlaku untuk anak sendiri—orang tua diupayakan lebih inten dan istiqomah menjaga waktunya. Menjaga ngajinya, menjaga belajarnya, dan waktu-waktu produktif untuk belajar. Anak sendiri harus dididik dengan keseriusan dan kesabaran serta tirakat orang tua yang di luar kebiasaan orang lain.

Saya setiap hari bisa dipastikan mengirim fatihah sekali buat anak-anak saya sehabis shalat fardhu. Saya memiliki keyakinan bahwa satu fatihah ini semoga akan mengantarkan anak-anak saya menuju kebahagiaan hidup dan kesuksesan di dunia hingga akhirat. Usaha lahir memang sudah sepantasnya kita mendidik mereka dengan penuh cinta, namun usaha batin tidak kalah penting dalam upaya ikut mendoakan putra-putri kita menjadi generasi yang shalih-shalihah. Karena sekolah yang pertama memang sekolah yang berasal dari dalam rumah yakni dari seorang ibu. Ibu yang gigih mendidik putra-putrinya dengan kebesaran jiwa, niscaya putra putrinya akan menjadi generasi emas yang membanggakan setiap insan. Wallahu a’lam bis showab.

 


No comments:

Post a Comment