|  | 
Suatu
malam, saya sebagai kepala keluarga pulang dari mushola bersama anak pertama.
Kami setiap hari seperti itu. Saya jarang sekali mengajak ia untuk ikut ke
mushola. Akan tetapi setiap ia melihat abinya sudah siap dengan baju koko,
sarung dan pecinya—ia selalu merengek untuk ikut. Kami mengendarai sepeda motor
karena jarak rumah dan mushola lumayan jauh.
   Sepulang dari mushola, saya meninggalkannya
di rumah bersama umminya. Dan saya melanjutkan aktivitas di madrasah diniyyah.
Sekitar sepuluh menit kemudian saya pulang lagi ke rumah karena anak-anak santri
tidak ada yang berangkat. Terkadang kondisinya seperti itu, mereka kompak di
suatu waktu tidak berangkat mengaji. Inilah salah satu ujian keikhlasan seorang
guru.
   Saya masuk ke dalam rumah dan menjumpai anak
pertama saya sedang duduk di atas kursi empuk sambil memegang buku mengaji.
Sudah sebulan lebih ia dalam posisi halaman yang sama . halaman satu. Saya selalu
mencoba dan berusaha membantunya belajar membaca A-BA, A-BA-TA dan setersusnya.
Ternyata anak saya belum bisa lancar membedakan antara dua huruf dan tiga
huruf. Terkadang dua huruf dibaca tiga huruf begitu juga yang tiga huruf dibaca
hanya dua huruf.
   Malam itu saya agak keras sampai
mengetuk-ngetuk meja dengan bolpoin. Ia terdiam sambil mendengarkan komando
yang saya ajukan. 
   “A-BA”, kata saya
   “A-Ba” ia menirukan
  “lanjutkan!”, pinta saya
  “A-BA”
  “lanjutkan….lanjutkan!”
  “A-BA”
  “lanjutkan Syauqi….lanjutkan itu”, nada suara
saya semakin meninggi
Saya
terbawa rasa gemes dan penasaran karena ia belum juga memahami apa yang saya
inginkan.
Saya
terdiam sejenak sekitar 10 detik. Lalu saya memberi komando lagi. Begitu
terulang lagi. Setiap saya terpancing emosi, saya langsung terdiam dan memikirkan
sesuatu. Saya jangan sampai membentak apalagi membuat dia menangis. 
Anak
saya masih terdiam. Barangkali dari luar rumah terdengar suara saya yang galak
dengan anak sendiri. Akan tetapi saya tidak mempedulikan itu semua, daripada
seorang ayah yang asyik menonton tv atau bermain hp dan tidak mempedulikan
prestasi baca huruf hijaiyyah anak-anaknya. Lebih baik seperti itu, menurut
saya. Saya siap dikatakan ini itu karena keras pada anak. 
Sekitar
20 menit berlangsung saya mengajari anak membaca huruf hijaiyyah. Saya menutup
buku mengaji dan meminta ia berdiri di atas kursi empuk itu.
“Syauqi,
maafin abi ya..tadi abi marah-marah ya”
“nggak,
nggak papa kok bi”
Hati
ayah mana yang tidak tersentuh ketika kita sudah membuat ia terdiam dan
mendengar omelan kita, lalu ia bilang tidak apa-apa.
“Sini
peluk abi coba”
Ia
memeluk tubuh saya begitu juga sebaliknya. Saya peluk tubuhnya yang kecil
sambil mencium kepalanya. Ingin rasanya saya menumpahkan air mata di depannya
akan tetapi tidak saya lakukan. Saya ingin menampakkan bahwa seorang ayah
adalah ayah yang kuat dan dijadikan tempat bersandar bagi anak-anaknya.
 Saya semakin merasa bersalah bila harus
mengajari baca huruf hijaiyyah dengan emosi. Bagi saya, emosi itu berbeda
dengan semangat seorang ayah yang menginginkan anak-anaknya mampu belajar
dengan baik dan memiliki kemampuan yang baik pula. 
Saya
di hadapannya bukanlah sosok yang ditakuti bahkan paling dicari setiap ia
memasuki rumah sehabis bermain. 
“Mi,
Abi mana?”
“Di
belakang” jawab istri saya
“Abi….Abii…Abi
lagi ngapain?
“Abi
lagi mandi”
Ia
hanya bertanya seperti itu lalu ke depan lagi dan bercengkerama dengan umminya.
 
 
No comments:
Post a Comment