Wednesday, March 18, 2020

Nggak Papa Kok Bi



Suatu malam, saya sebagai kepala keluarga pulang dari mushola bersama anak pertama. Kami setiap hari seperti itu. Saya jarang sekali mengajak ia untuk ikut ke mushola. Akan tetapi setiap ia melihat abinya sudah siap dengan baju koko, sarung dan pecinya—ia selalu merengek untuk ikut. Kami mengendarai sepeda motor karena jarak rumah dan mushola lumayan jauh.
   Sepulang dari mushola, saya meninggalkannya di rumah bersama umminya. Dan saya melanjutkan aktivitas di madrasah diniyyah. Sekitar sepuluh menit kemudian saya pulang lagi ke rumah karena anak-anak santri tidak ada yang berangkat. Terkadang kondisinya seperti itu, mereka kompak di suatu waktu tidak berangkat mengaji. Inilah salah satu ujian keikhlasan seorang guru.
   Saya masuk ke dalam rumah dan menjumpai anak pertama saya sedang duduk di atas kursi empuk sambil memegang buku mengaji. Sudah sebulan lebih ia dalam posisi halaman yang sama . halaman satu. Saya selalu mencoba dan berusaha membantunya belajar membaca A-BA, A-BA-TA dan setersusnya. Ternyata anak saya belum bisa lancar membedakan antara dua huruf dan tiga huruf. Terkadang dua huruf dibaca tiga huruf begitu juga yang tiga huruf dibaca hanya dua huruf.
   Malam itu saya agak keras sampai mengetuk-ngetuk meja dengan bolpoin. Ia terdiam sambil mendengarkan komando yang saya ajukan.
   “A-BA”, kata saya
   “A-Ba” ia menirukan
  “lanjutkan!”, pinta saya
  “A-BA”
  “lanjutkan….lanjutkan!”
  “A-BA”
  “lanjutkan Syauqi….lanjutkan itu”, nada suara saya semakin meninggi
Saya terbawa rasa gemes dan penasaran karena ia belum juga memahami apa yang saya inginkan.
Saya terdiam sejenak sekitar 10 detik. Lalu saya memberi komando lagi. Begitu terulang lagi. Setiap saya terpancing emosi, saya langsung terdiam dan memikirkan sesuatu. Saya jangan sampai membentak apalagi membuat dia menangis.
Anak saya masih terdiam. Barangkali dari luar rumah terdengar suara saya yang galak dengan anak sendiri. Akan tetapi saya tidak mempedulikan itu semua, daripada seorang ayah yang asyik menonton tv atau bermain hp dan tidak mempedulikan prestasi baca huruf hijaiyyah anak-anaknya. Lebih baik seperti itu, menurut saya. Saya siap dikatakan ini itu karena keras pada anak.
Sekitar 20 menit berlangsung saya mengajari anak membaca huruf hijaiyyah. Saya menutup buku mengaji dan meminta ia berdiri di atas kursi empuk itu.
“Syauqi, maafin abi ya..tadi abi marah-marah ya”
“nggak, nggak papa kok bi”
Hati ayah mana yang tidak tersentuh ketika kita sudah membuat ia terdiam dan mendengar omelan kita, lalu ia bilang tidak apa-apa.
“Sini peluk abi coba”
Ia memeluk tubuh saya begitu juga sebaliknya. Saya peluk tubuhnya yang kecil sambil mencium kepalanya. Ingin rasanya saya menumpahkan air mata di depannya akan tetapi tidak saya lakukan. Saya ingin menampakkan bahwa seorang ayah adalah ayah yang kuat dan dijadikan tempat bersandar bagi anak-anaknya.
 Saya semakin merasa bersalah bila harus mengajari baca huruf hijaiyyah dengan emosi. Bagi saya, emosi itu berbeda dengan semangat seorang ayah yang menginginkan anak-anaknya mampu belajar dengan baik dan memiliki kemampuan yang baik pula.
Saya di hadapannya bukanlah sosok yang ditakuti bahkan paling dicari setiap ia memasuki rumah sehabis bermain.
“Mi, Abi mana?”
“Di belakang” jawab istri saya
“Abi….Abii…Abi lagi ngapain?
“Abi lagi mandi”
Ia hanya bertanya seperti itu lalu ke depan lagi dan bercengkerama dengan umminya.

No comments:

Post a Comment