آدَابُ الْمَرْءِ خَيْرٌ مِنْ ذَهَبِهِ
“Adab seseorang lebih baik dari pada emasnya”
            Kehidupan itu merupakan pertarungan antara
akal dan nafsu. Ketika akal kita terkalahkan oleh nafsu, maka kita bisa lebih
hina dan lebih rendah dari pada binatang. Namun ketika akal kita lebih memenangkan
dibandingkan hawa nafsunya, maka ia akan 
bisa lebih baik daripada malaikat dan makhluk lainnya. Hawa Nafsu ini kalau diperturutkan
memang seperti bayi yang senantiasa
menyusu pada ibunya. Hal ini pernah diungkapkan oleh
penyair yaitu Syaikh Al Bushiri dalam Qasidah burdahnya:
وَالنَّفْسُ
كَالطِّفْلِ اِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى # حُبِّ الرَّضَاعِ وَاِنْ تَفْطِمْهُ
يَنْفَطِمِ
“Nafsu
bagai bayi, bila kau biarkan akan tetap menyusu, bila kau sapih ia akan
tinggalkan menyusu itu”[1]
            Akal yang sudah
dibekali oleh Alloh SWT ini juga terkadang masih lepas kendali dan mengandung
pikiran-pikiran yang dicampuri hawa nafsu. Akal menghendaki pemiliknya harus memiliki
harta yang banyak, akal pun mencari banyak jalan untuk mendapatkannya. Akan
tetapi sangat disayangkan, sebagian orang harus mengikuti akal bulusnya
demi mendapatkan rupiah. Jadilah akal dan nafsu bercampur menjadi satu dan
berkombinasi untuk bersama-sama menguasai dunia. Endingnya Jeruji penjara  menjadi
tempat menghabiskan umur hidup
ini. Sayang sekali bukan? Anak-anak di rumah terlantar,
istri sendirian tanpa pemimpin sehingga tujuan hidupnya berantakan.
            Melihat fenomena yang terjadi dalam
dunia nyata, etika atau adab (sopan santun) sudah hilang entah ke mana.
Sepertinya di hadapan orang banyak,
seseorang tampak baik sekali, tersenyum lebar, bermata
binar dan bercahaya. Namun di balik layar terkadang seseorang
seperti singa yang lapar. Ia memilih tak-tik jitu supaya orang lain terpedaya
olehnya. Ia mencari jalan pintas yang menjadikan dirinya puas akan
keinginan-keinginannya (syahawaat). 
Ketika ada
kawan yang naik pangkat dan melebihi
dirinya dari sisi gaji dan martabat—jiwanya terbakar dan ingin juga
menguasainya. Hasud namanya. Kasihan benar orang ini, hidup satu-satunya
bersama kawan kerja—bukannya mencari prestasi setinggi-tingginya malah saling
berkompetisi tidak sehat. Yang satu menjatuhkan yang lain dan yang lain juga
sebaliknya. Akan kah masih
ada harapan ada angin kedamaian datang tiba-tiba?
            Kekayaan yang ia miliki sungguh
tidak lebih baik dari adabnya kalau saja seseorang bisa menjaga nama baik,
menjaga hati, lisan dan  perbuatan supaya
baik di hadapan Alloh SWT dan juga baik di hadapan sesama manusia. Betapa
banyak kita jumpai hamba-hamba Alloh SWT yang santun di hadapan manusia, namun
dalam pandangan-Nya, ia adalah seseorang yang lemah iman, lemah Islam, lemah
amal dan lemah untuk berprasangka baik (husnudzan). Kata-katanya liar, hewan kaki empat dengan ringannya diucapkan.
Apakah ini yang namanya hamba yang dicintai Alloh SWT? Atau hanya dengan cara
seperti itu ia bisa melampiaskan
hawa nafsu dan merasa dibayar lunas tatkala telah keluar dari lisannya? 
            Benar apa yang dinyatakan
kata mutiara di atas, sungguh adab seseorang itu lebih baik daripada emasnya.
Ketika kita memiliki emas satu kilo gram di rumah—akhlak mulia adalah lebih
utama dari itu semua. Emas akan lenyap dari muka bumi, namun akhlak yang mulia
akan terus berjalan sampai anak-anak kita, cucu, dan penerus negeri ini sampai
kapan pun. Begitu kasih sayangnya Rasulullah Saw kepada keluarga, sahabat
dan sesamanya, hingga sampai saat ini pun kita masih bisa merasakan betapa
manisnya akhlak beliau. Betapa agungnya hati beliau, baik di hadapan Alloh SWT maupun
di hadapan manusia sekelilingnya.
            Tak dapat
dipungkiri bahwa akhlak beliau bagaikan sebongkah emas. Mahal harganya dan
tidak sembarang orang bisa memilikinya. Akhlak kita yang masih keras seperti
batu di sungai atau karang di lautan luas, kita harus berusaha supaya suatu
saat bisa mengkilap dan tertata rapi di sebuah ‘etalase kehidupan’.
Jangan kita
kalah dengan seekor siamang yang memberi tempat duduk orang tua di dalam bus,
sedangkan kita terkadang dengan tega hati membiarkan seorang ibu dan anaknya
berdiri berjam-jam hingga tempat tujuan. Ya Rabb! Jangan pula kita kalah
dengan seekor kucing piaraan yang pandai pergi ke toilet sendiri
ketika perutnya mulai mulas dan membuang kotorannya ke tempat yang sesuai. Sungguh emas itu kecil bila dibandingkan
dengan akhlak yang mulia. 
***
[1]H.
Abdullah Zaini D. Asnawi, 1000 Evergreen Qosida (Lamongan: Gemah
Suara Pesantren, 2005), hlm. 428.
 
 
No comments:
Post a Comment