Tuesday, March 17, 2020

ADAB DAN EMAS

آدَابُ الْمَرْءِ خَيْرٌ مِنْ ذَهَبِهِ
“Adab seseorang lebih baik dari pada emasnya”

            Kehidupan itu merupakan pertarungan antara akal dan nafsu. Ketika akal kita terkalahkan oleh nafsu, maka kita bisa lebih hina dan lebih rendah dari pada binatang. Namun ketika akal kita lebih memenangkan dibandingkan hawa nafsunya, maka ia akan  bisa lebih baik daripada malaikat dan makhluk lainnya. Hawa Nafsu ini kalau diperturutkan memang seperti bayi yang senantiasa menyusu pada ibunya. Hal ini pernah diungkapkan oleh penyair yaitu Syaikh Al Bushiri dalam Qasidah burdahnya:
وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ اِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى # حُبِّ الرَّضَاعِ وَاِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
Nafsu bagai bayi, bila kau biarkan akan tetap menyusu, bila kau sapih ia akan tinggalkan menyusu itu”[1]
            Akal yang sudah dibekali oleh Alloh SWT ini juga terkadang masih lepas kendali dan mengandung pikiran-pikiran yang dicampuri hawa nafsu. Akal menghendaki pemiliknya harus memiliki harta yang banyak, akal pun mencari banyak jalan untuk mendapatkannya. Akan tetapi sangat disayangkan, sebagian orang harus mengikuti akal bulusnya demi mendapatkan rupiah. Jadilah akal dan nafsu bercampur menjadi satu dan berkombinasi untuk bersama-sama menguasai dunia. Endingnya Jeruji penjara  menjadi tempat menghabiskan umur hidup ini. Sayang sekali bukan? Anak-anak di rumah terlantar, istri sendirian tanpa pemimpin sehingga tujuan hidupnya berantakan.
            Melihat fenomena yang terjadi dalam dunia nyata, etika atau adab (sopan santun) sudah hilang entah ke mana. Sepertinya di hadapan orang banyak, seseorang tampak baik sekali, tersenyum lebar, bermata binar dan bercahaya. Namun di balik layar terkadang seseorang seperti singa yang lapar. Ia memilih tak-tik jitu supaya orang lain terpedaya olehnya. Ia mencari jalan pintas yang menjadikan dirinya puas akan keinginan-keinginannya (syahawaat).
Ketika ada kawan yang naik pangkat dan melebihi dirinya dari sisi gaji dan martabat—jiwanya terbakar dan ingin juga menguasainya. Hasud namanya. Kasihan benar orang ini, hidup satu-satunya bersama kawan kerja—bukannya mencari prestasi setinggi-tingginya malah saling berkompetisi tidak sehat. Yang satu menjatuhkan yang lain dan yang lain juga sebaliknya. Akan kah masih ada harapan ada angin kedamaian datang tiba-tiba?
            Kekayaan yang ia miliki sungguh tidak lebih baik dari adabnya kalau saja seseorang bisa menjaga nama baik, menjaga hati, lisan dan  perbuatan supaya baik di hadapan Alloh SWT dan juga baik di hadapan sesama manusia. Betapa banyak kita jumpai hamba-hamba Alloh SWT yang santun di hadapan manusia, namun dalam pandangan-Nya, ia adalah seseorang yang lemah iman, lemah Islam, lemah amal dan lemah untuk berprasangka baik (husnudzan). Kata-katanya liar, hewan kaki empat dengan ringannya diucapkan. Apakah ini yang namanya hamba yang dicintai Alloh SWT? Atau hanya dengan cara seperti itu ia bisa melampiaskan hawa nafsu dan merasa dibayar lunas tatkala telah keluar dari lisannya?
            Benar apa yang dinyatakan kata mutiara di atas, sungguh adab seseorang itu lebih baik daripada emasnya. Ketika kita memiliki emas satu kilo gram di rumah—akhlak mulia adalah lebih utama dari itu semua. Emas akan lenyap dari muka bumi, namun akhlak yang mulia akan terus berjalan sampai anak-anak kita, cucu, dan penerus negeri ini sampai kapan pun. Begitu kasih sayangnya Rasulullah Saw kepada keluarga, sahabat dan sesamanya, hingga sampai saat ini pun kita masih bisa merasakan betapa manisnya akhlak beliau. Betapa agungnya hati beliau, baik di hadapan Alloh SWT maupun di hadapan manusia sekelilingnya.
            Tak dapat dipungkiri bahwa akhlak beliau bagaikan sebongkah emas. Mahal harganya dan tidak sembarang orang bisa memilikinya. Akhlak kita yang masih keras seperti batu di sungai atau karang di lautan luas, kita harus berusaha supaya suatu saat bisa mengkilap dan tertata rapi di sebuah ‘etalase kehidupan’.
Jangan kita kalah dengan seekor siamang yang memberi tempat duduk orang tua di dalam bus, sedangkan kita terkadang dengan tega hati membiarkan seorang ibu dan anaknya berdiri berjam-jam hingga tempat tujuan. Ya Rabb! Jangan pula kita kalah dengan seekor kucing piaraan yang pandai pergi ke toilet sendiri ketika perutnya mulai mulas dan membuang kotorannya ke tempat yang sesuai. Sungguh emas itu kecil bila dibandingkan dengan akhlak yang mulia.
***








[1]H. Abdullah Zaini D. Asnawi, 1000 Evergreen Qosida (Lamongan: Gemah Suara Pesantren, 2005), hlm. 428.

No comments:

Post a Comment