Oleh : Wawan
Hariyanto
Amanah menjadi pemimpin
merupakan sebuah tugas yang teramat berat dalam kehidupan ini. Pemimpin tidak
hanya memikirkan bagaimana nasib rakyatnya saat ini, akan tetapi ia juga
berfikir bagaimana kondisi bangsanya di masa yang akan datang. Sejak dahulu,
pemimpin senantiasa menjadi orang yang dinomorsatukan dan menjadi sosok yang
diagung-agungkan oleh bangsanya sendiri juga bangsa lain. Menjadi pemimpin
negara tidaklah semudah memimpin keluarga kecil. Memimpin negara berarti ada
pertaruhan jiwa, raga dan harta untuk membangun bangsa leih baik lagi. Untuk
menjadi pemimpin negeri, memang harus benar-benar datang dari hati nurani dan
panggilan jiwa yang suci. Kesucian jiwa dan hati inilah yang senantiaa
diharapkan oleh rakyatnya demi kebaikan pemimpin itu sendiri dan juga rakyatnya.
            Di era yang penuh
dengan pergulatan partai politik dan kompetisi para calon pemimpin ini,
menjadikan negara ini terasa”panas” dengan derasnya pencalonan sebagai pemimpin
presiden. Padahal, pada hakikatnya baik atau buruknya bangsa ini tidak secara
mutlak ada di tangan presiden. Akan tetapi dia memegang kendali yang sangat
penting guna menstabilkan kondisi perekonomian, perpolitikan dan persoalan lain
yang sedang meracuni bangsa kita ini. Bahkan dikatakan bahwa perempuan adalah
tiangnya negara, jika wanitanya baik maka baik pula negara itu. Namun apabail
awanitanya buruk, maka buruklah negara itu.
            Keterlibatan
wanita dalam perbaikan negara memang sangatlah besar prosentasenya, bahkan
lebih besar pengaruhnya dari pada seribu lelaki yang tidak baik. Berbagai kasus
korupsi yang melanda negeri ini, tidak bisa dinafikan bahwa di balik layar
kasus-kasus tersebut ada peranan wanita yang tersamarkan. Sehingga para hakim
dan jaksa di negeri ini sepertinya kesulitan untuk mencari bukti secara
kongkrit akan tindakan kriminal mereka. 
Pemimpin Harapan Umat
            Masa menunggu hingga
waktu yang telah ditentukan untuk pemilihan presiden (pilpres), masing-masing
kader partai politik sepertinya sangat gencar ‘diiklankan’ secara
terang-terangan dihadapan masyarakat negeri ini. Mulai dari menunjukkan rasa
dermawan kepada rakyat kecil, mengadakan even-event sosial, ataupun kegiatan
yang di dalamnya hendak mempromosikan ‘jago’ partai politik yang akan maju
dalam pilpres tersebut.
            Penulis sebagai
salah satu bagian masyarakat Indonesia, memang sangat mengharapkan seorang
presiden yang jujur, kuat, disiplin, amanah, dermawan dan sifat-sifat mulai
lain yang melekat dalam kepribadiannya. Namun untuk mendapatkan pemimpin dengan
tingkat kejujuran 100 persen, ketegasan memimpin 100 persen, dan kedermawanan
100 persen sepertinya sulit diwujudkan. Terbukti bahwa masyarakat negeri ini
berulang kali merasa didzalimi dan dibuat susah oleh berbagai kebijakan pemerintah
yang jauh dari nalar yang lurus. Misalnya saja yang belum lama ini yaitu
rencana kenaikan BBM. Di masyarakat kita yang masih banyak warga miskin dan
hidup di bawah garis kemiskinan, ketika harga cabe naik—mereka rela tidak
memasak makanan yang berasa pedas bahkan cukup dengan rasa manis dan asin.
Apalagi kalau yang dinaikkan itu harga BBM (baca: bensin), apakah ini bukan
berarti menyengsarakan masyarakat. Dan yang lebih tidak masuk rasio lagi yaitu
tingkat kenaikannya yang cukup drastis, dari harga Rp 4.500,- menjadi Rp
6.000,-. 
            Kenaikan sebanyak
Rp 1.500,- bagi bangsa ini bukan nilai nominal yang kecil bahkan sangat besar.
Sehingga sangat memprihatinkan dalam kondisi seperti ini, hingga ada para
demonstran yang terluka, berduel dengan aparat sampai di bawa ke rumah sakit
karena mempertahankan nasib mereka. Inilah tantangan besar para calon pemimpin
negeri ini di masa yang akan datang. Di tahun 2014, pertarungan partai politik
harus benar-benar disiapkan denga penuh kewaspadaan. Mengusung calon presiden
harapan bangsa bukan dengan mengunggul-unggulkan kekayaannya, bukan dengan
menunjukkan dari berapa partai yang membawanya menuju kursi kepresidenan. Namun
lebih dari itu, melihat calon pemimpin yang terbaik adalah yang bisa membawa
negeri ini menjadi negeri sorga, negeri yang terselamatkan dari virus-virus
asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita.
Negeri Sorga Indonesia
            Sampai-sampai lukisan
negeri ini digambarkan dalam sebuah film yang mengingatkan bahwa negeri ini
adalah tanah sorga. Betapa kekayaan alam Indonesia sangatlah melimpah dan harus
benar-benar dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Presiden yang akan datang
diharapkan mampu merebut dan menciptakan kembali bahwa negeri ini adalah negeri
sorga kita tercinta. Masyarakat yang sejahtera dan makmur, mereka adalah yang
bisa merasakan bahwa “Negaraku Sorgaku” dan bukan “Negaraku Sorganya Bangsa
Lain”.
            Dari beribu pulau
yang ada di negara ini, kenapa juga tidak dijadikan sebagai sorganya masyarakat
dalam artian tempat berpijak yang baik, mencari penghasilan di negeri sendiri,
hidup bersama keluarganya tercinta, dan mendidik anak-anaknya dengan penuh
perhatian? Presiden di masa yang akan datang diharapkan bisa mewujudkan ini dan
membuat masyarakatnya nyaman (jawa: betah) berada di kampung halamannya.
Kenyataan bahwa orang-orang terdidik yang berasal dari kampung, mereka tidak
lagi kembali ke daerahnya masing-masing dan lebih memilih tinggal di kota—ini
menunjukkan bahwa tempat kelahirannya bukanlah tempat terbaik meraih
prestasinya dan kebahagiaan hidup.
            Oleh karena itu,
usaha yang keras dari pemimpin dan para menterinya menciptakan negera sendiri
sebagai negara sorga bagi masyarakatnya bukan hal yang mustahil. Negara sorga
bukan berarti hidup dalam kemewahan, rumah yang megah, dan kendaraan yang
bagus, tentu saja bukan demikian. Negara sorga yang dimaksud yaitu masyarakat
hidup merasa ada yang memperhatikan kebutuhannya, menjamin kehidupannya di kala
susah, dan melindunginya dari virus-virus yang menghancurkan masa depannya. Kondisi
masyarakat yang sakit seperti zaman sekarang, sungguh sangat perlu didatangkan
dokter-dokter hebat pemerintah yang bisa mengobati rasa susah, kecewa dan kecil
hati. 
            Namun, bukan
berarti masyarakat sangat mendewa-dewakan pemerintah. Justru pemerintahlah yang
sudah semestinya tahu dan sadar akan kewajibannya terhadap bangsanya. Sungguh
tidak layak, apabila presiden mengenakan jas kepresidenan sedangkan membiarkan
rakyatnya kesulitan membeli pakaian karena harganya yang melambung tinggi.
Sungguh tidak sepantasnya, seorang pemimpin yang menyantap makanan di restoren
mewah, sementara rakyatnya kesusahan hanya sekedar sarapan pagi. Dan sungguh
sangat ironis, bila ada seorang pemimpin yang naik mobil seharga miliaran,
sementara rakyatnya hanya bisa menyaksikannya melalui layar kaca. Hal-hal
demikian sungguh sangat membahagiakan bila dalam berbagai kondisi dan suasana,
bisa dirasakan oleh sebagian rakyatnya.
            Akhirnya, sebagai
simpulan—memang tidak harus menunggu sampai muncul seorang pemimpin (presiden)
yang baru di tahun 2014. Mulai saat ini juga bisa mulai diterapkan apa-apa yang
menjadi hak-hak masyarakat, seperti melayani masyarakat dengan sepenuh hati, mendidik
bangsa ini dengan segenap kemampuan, menegakkan hukum dengan segenap kekuasaan
yang dipegang. Tidak harus menuruti idealisme yang seringkali merugikan diri
sendiri dan orang lain. Namun lebih pada nurani dan rasa kemanusiaan sesama
manusia, karena memang kita hidup bersama di negeri yang satu, bangsa yang satu
dan tujuan yang satu yaitu kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.
*) Penulis, Pendidik tinggal di Kebumen

 
 
No comments:
Post a Comment