Monday, March 19, 2012

NOVEL MdC BAGIAN 5


Minggu pagi para santri kerja bakti bersama. Istilahnya Ro'an. Alias bersih-bersih lingkungan pesantren. Sementara itu pakaian kotorku sudah menumpuk di kamar tidur. Pagi ini aku belum juga mandi. Terkecuali bila mau bepergian ke supermarket atau bertamu ke rumah orang. Mandi bagiku bukan lah suatu hal yang wajib ketika air itu hanya cukup untuk berwudlu. Dari pada ngantri setengah jam untuk menunggu teman di kamar mandi, lebih baik ditunda dulu sampai kamar mandi benar-benar sepi.
Sehabis ro'an, sebagian santri turun ke kamar mandi untuk merendam pakaian. Masing-masing dari mereka mendapatkan satu buah ember besar yang cukup untuk sepuluh helai kain. Sayang sekali di sekitar pondok belum ada laundry seperti halnya di kota-kota besar, sehingga konsekuensinya harus berani mandiri. Tidak manja seperti halnya anak mama. Baru tinggal sehari di pesantren sudah ingin pulang ke rumah. Guru bahasa inggrisku bilang—itu namanya Home sick. Penyakit rumah anak kos dan santri pesantren.
            Bajuku telah kurendam sejak tadi pagi. Sehingga tinggal menyikat dan membilas sampai bersih. Tempat jemuran pakaian di pesantrenku berada di dalam pondok dan sebagian lagi di luar arena pondok sebelah utara gedung. Biasanya aku menjemurnya di luar karena sinar mentari lebih cepat mengeringkannya dibanding di dalam pondok.
            Sehabis membilas bersih dan suci dari najis, aku membawanya ke arena penjemuran. Capek juga, sehabis mencuci—tangan dan punggungku pegel-pegel.
            Di sana telah berdiri seorang anak bertubuh pendek dengan baju hem kotak-kotak, setelah kudekati ternyata Syukron, nama lengkapnya Syukron Li To’atillah. Ia menjemur pakaiannya sekitar delapan sampai sembilan helai kain. Anehnya, aku tak menemukan celana dalam yang ia jemur. Ah....tak tahulah, dia punya CD atau tidak. Kami berbincang-bincang mengenai setoran jurmiyah nanti malam kepada Gus Munib dan Juz ’Amma habis shalat shubuh di depan Ustadz Ali.
A...’Uuu....Dzubillaa....Himinasysyaithaanirrajiim.” Suara kami harus lantang. Ketika membuka huruf alif sebisa mungkin empat jari kami bisa masuk ke dalam mulut. Pertama, jari telunjuk, jari tengah, jari kelingking dan jari manis. Kalau tidak, maka gebrakan meja-lah yang kami terima.
”Brakk..!!” Suara meja kayu menggelegar keras. Biasanya ada yang kaget dan tersentak. Setiap pagi, kami harus tegar dalam menghadapi semua tantangan. Meskipun mulut kami agak pegel-pegel karena harus tepat makhroj hurufnya, namun semangat kami tetap membara untuk melanyahkan bibir kami.
 Suara kami saling bersahutan tak beraturan, namun kami menikmatinya dengan hati yang dingin dan lapang. Tak bisa dipastikan kapan kami akan khatam al-Qur’an. Berapa bulan lagi bahkan berapa tahun lagi 30 juz kami selesaikan dengan baik.  Setengah jam kemudian kami pun kembali ke asrama.
            Kami merebahkan tubuh di dalam kamar, di atas karpet yang nampak lusuh dan belum dicuci. Mungkin saja pasukan bakteri sudah bergerilya di sana-sini. Di tepinya sudah robek dan setiap hari karpet satu-satunya ini bisa berpindah tempat dari satu kamar ke kamar lainnya. Kepalaku tergeletak di atas punggung Syukron. Pandangan kedua mataku menatap lurus ke langit-langit ruangan. Atapnya masih berupa genteng-genteng merah asal kotaku sendiri, Sokka namanya. Pantas saja namanya genteng Sokka. Bibirku mengukir senyum pada atap itu, hatiku berbunga-bunga teringat hari kemarin dengan adiknya Barlian.  Oh......Imajinasiku melebar.
            "Subhanallah. Ya Allah, Engkau lah yang menciptakan wanita yang begitu indah di dunia ini. Segala puji bagi Engkau Ya Allah, atas segala apa yang telah Engkau berikan pada kami.” Batinku berkata-kata, tapi mulutku menutup rapat sambil mengenang makhluk indah ciptaan-Nya.
            Seminggu telah berlalu. Dan kedekatanku dengan Hafshoh semakin erat saja. Siang malam hatiku bergejolak, jiwaku resah karena bayangannya selalu menghantuiku di setiap waktu. Tidak hanya di pondok, sekolah, jalan raya dan dimanapun aku berada, seakan-akan ia berada dalam jiwaku dan menyatu ke dalam qalbu. Astaghfirulahal’adzim Ya Allah, sampai-sampai terbawa dalam shalat.
Tiba-tiba saja aku teringat kaset tilawah yang belum kukembalikan. Barlian sendiri telah menanyakan kaset itu beberapa hari yan lalu, namun aku lupa membawanya. Hari ini aku meminta syukron untuk menemaniku datang ke rumahnya. Kami pun berangkat ke sana dengan sepeda onthel. Tepat jam 11.00 kami sampai di depan rumahnya.
            Syukron tak banyak komentar seperti biasanya. Ia tak mau bicara kalau tak didahului pertanyaan dan tak berani mendahului langkahku sebelum dipersilahkan duluan. Terkadang aku suka pada sikapnya, tapi suatu waktu ia begitu menjengkelkan. Pernah suatu hari ia membuat emosiku meluap-luap. Kemarahanku tak tertahankan, benar-benar aku telah dirasuki amarah syetan la’natullah. Dengan ringan aku menampar pipi kirinya saat ia berbuat kurangajar padaku.
            Waktu itu di kamar mandi, dengan sengaja ia menurunkan handuk yang sedang kukenakan, padahal aku tak memakai celana dalam dan atasan alias baju. Sehingga beberapa detik itu auratku terbuka. Yah...aurat yang berada diantara pusar dan lututku. Teman-temanku menertawakanku kencang, begitu juga Syukron. Saat itulah tangan kananku melayang tak terkendali dan mendarat pada pipinya yang mulus, tak berjerawat. Pipinya yang tadinya berwarna kuning mengkilap, setelah tamparan itu mukanya berubah menjadi merah padam. Yang sebelumnya terlihat terbahak-bahak, maka rasa sakit itu menjadikan ia meneteskan  air mata dan segera mengunci mulutnya yang liar. Aku menyesal, tapi itulah balasan yang sepantasnya buat Syukron. Maafkan aku Kron, aku tak tahu kalau saat itu kau masih sangat lugu. Kau masih terlalu kecil sehingga tak mengerti akan arti kesopanan dan sikap menghormati pada yang lebih tua. Seharusnya ia tidak melakukan hal demikian. Karena dalam Islam—seorang yang lebih muda hendaknya menghargai yang lebih tua. Dan yang tua menyayangi yang lebih muda. Begitulah seharusnya.
            Di rumah Barlian itu kami seperti kakak beradik. Perasaanku kepada Syukron telah berubah seperti sayangnya seorang kakak kepada adik kecilnya. Aku mencoba memencet bel rumah Haji Shidiq, sampai tiga kali pintu rumah baru terbuka. Perlahan-lahan pintu itu membuka lebar.
            "Assalamu'alaikum.” Kataku pada shohibul bait.
            Pintu itu kembali tertutup. Hafshoh berlari ke kamarnya untuk memakai jilbabnya. Baru pertama kali ini, aku melihatnya tanpa berkerudung. Betapa eloknya paras yang sesungguhnya. Sayang aku tak bisa menikmatinya sampai lama, tapi lumayan lah daripada tidak sama sekali. Ah! Pikiranku jadi kacau. Mungkin ia mengira bahwa yang datang itu ayahnya sendiri atau kakanya. Aku juga tidak tahu persis akan hal itu.
            Pintu kembali terbuka. Jilbabnya sudah menjulur panjang menutupi anggota tubuhnya yang terbuka. Ia mempersilahkan kami masuk dan duduk di ruang tamu.
            ”Sebentar ya, Mas!" Katanya
            Ia masuk ruangan, sepertinya ke arah dapur. Tak lama kemudian, ia keluar sambil membawakan dua gelas sirup warna merah. Lalu duduk di salah satu kursi yang ada di depan kami. Hafshoh mempersilahkan kami untuk segera menikmatinya. Ia paham benar apa yang kami inginkan. Tapi begitulah sepantasnya sebagai tuan rumah yang memuliakan seorang tamu.
Panasnya cuaca di luar sudah tak terasa lagi ketika tenggorokan kami dibasahi oleh aliran minuman segar itu. Dag dig dug, detak jantungku bergetar lagi dengan kencang. Kecemasan dan kegelisahan qalbuku kembali muncul. Tiba-tiba nada pesan Hp Syukron bernyanyi lembut. Lalu, Ia membaca sms yang baru masuk. Dibacanya sms itu dengan suara lirih.
            "Kron, Siki bapak agi nang pondokmu, kowe meng ngeneh siki ya..”[1] Sms Bapak Syukron dibacanya dengan serius.
            Belum genap lima menit kami duduk, Syukron mohon pamit untuk segera pulang ke pondok, terutama pada shahibul bait yang saat itu hanya ada Hafshoh seorang. Santri kecil yang beberapa menit sebelumnya menemaniku, kini telah lenyap dari pandangan kami. Sepeda yang tadi kunaiki telah dibawa olehnya. Aku tak berpikir mau pulang dengan apa? Aku belum melihat ada uang atau tidak di saku celanaku. Gawat kalau tak bawa uang sepeserpun. Mau jalan kaki, Gila!!! Nggak mungkin Ah!
            Keadaan seperti inilah yang paling membuat seorang laki-laki mengalami kebingungan. Ia harus menata hatinya, ia harus menjaga kata-katanya dan ia harus menjaga niat awalnya datang ke rumah Haji Shidiq. Saat-saat seperti inilah dimana pihak ketiga yaitu syetan mulai menggoda. Menuntun hawa nafsu seseorang kepada perbuatan keji dan mungkar.
            Suhu tubuhku tiba-tiba naik. Keringat dingin keluar di bagian wajah dan sebagian anggota tubuhku. Kata-kataku tak lagi berjalan mulus di hadapannya. Kaku. Niat awal dari pondok ke rumahnya hanya ingin mengembalikan kaset yang kupinjam. Namun situasi telah mengubah rencana awalku. Perasaanku hampir meledak. Duarrr! Namun masih bisa kutahan.
            Dunia seakan milik kita berdua. Tanpa sepengetahuannya, aku menghela nafas panjang. Hening. Aku mencoba merangkai kata dan menjadikannya sebuah kalimat untuk mengutarakan hasratku. Berat sekali bibir ini mengatakannya. Hingga akhirnya luapan perasaanku yang lama terpendam tercurahkan di hadapannya langsung, di bawah bangunan megah miliknya. Disaksikan oleh bumi yang kuinjak dan pastinya dicatat oleh kedua malaikat-Nya. Raqib dan ’Atid. Mungkin malaikat Raqib mencatatnya dalam buku kebaikan berkat silaturahimku kepada sesama saudara, atau mungkin saja malaikat ’Atid yang menuliskan amal kejelekanku karena besepi-sepi dengan lawan jenis. Berduaan dengan bukan mahram, di tempat tertutup lagi. Dosa apa lagi yang aku perbuat, tapi inilah realita kehidupan seseorang. Ia tak bisa menghindar dan tidak juga bisa berdiam diri mengurung di dalam kamar. Tidak bisa juga beribadah siang malam tanpa berinteraksi dengan sesama.
            ”Aku sayang kamu, Shoh.” Cepp....mulutku kembali terkunci. ”Semoga saja ia membawa kunci itu dan membukakakn pintu untukku.” Pikirku sekelebat.
"Mas Burhan, aku belum bisa memutuskan saat ini.” Katanya sambil tertunduk malu. Ia tak berani menatapku, aku sungguh bingung dibuatnya. Oh....kenapa jadi serba salah begini? Kenapa kami terdiam tanpa kata dan kenapa aku terlalu berani mengatakan hal itu padanya? Padahal lebih pantas diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya atau sebaliknya. Tapi aku....aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah tamu tak diundang yang tidak punya niatan untuk mengatakan tiga kata luar biasa itu.
Kami sama-sama tertunduk sejenak. Jam 12.00 aku mohon pamit. Ketika tangan kiriku membuka pintu rumah, dua orang menatapku dari luar. Haji Shidiq dan Barlian baru saja pulang. Beliau mencegahku dan memintaku duduk kembali di tempat semula. Tanpa basa-basi beliau langsung menegurku dengan teguran keras.
"Apa-apaan ini Mas Burhan, berduaan di dalam rumah, kamu kan santri, bukannya di pesantren diajarkan akhlak?" Kata beliau seperti orang marah. Mungkin saja beliau memang benar-benar marah padaku.
Aku terdiam dan menutup rapat-rapat mulutku. Beliau duduk di tempat yang semula diduduki Hafshoh. Wajahnya geram, sekali-kali mata liarnya memelototi anak gadisnya. Ia masih berdiri bersebelahan dengan kakaknya. Barlian tak bisa berbuat apa-apa. Ia mematung tak bergerak.
"Kamu juga Hafshoh!" Kata beliau. "Kenapa kamu ijinkan seorang laki-laki yang bukan mahram masuk rumah ini? Meskipun ia seorang santri, tapi kamu juga harus waspada pada setiap orang, termasuk Burhan ini. Pasti ada apa-apa sebelum ayah datang ke sini?"
"Nggak kok Ya.....h, kami cuma ngobrol biasa.” Hafshoh angkat bicara
"Tidak! Sama sekali ayah tidak percaya, pokoknya kejadian seperti ini jangan sampai terulang lagi. Dan kamu Burhan, seharusnya kamu tidak masuk ke rumah ini tanpa ada orang lain yang menemani anakku!"
 Aduu..h, kenapa juga Syukron tadi pulang ke pesantren? Kalau saja ia bersamaku tentunya tidak akan terjadi seperti ini. Repot jadinya.
Beliau mengambil peci hitamnya lalu menjatuhkan dengan keras ke atas meja.
”Pyakk.....” Pecinya terbanting dengan dibarengi suara benda jatuh.
"Ma....maafkan saya, Pak.” Kataku yang sudah mulai keringatan.
Setelah itu aku melangkah keluar dan meninggalkan ruangan mewah itu seorang diri. Rasa bersalah yang amat dalam tumbuh subur dalam benakku, hanya kata maaf yang kumiliki sebagai modal meruntuhkan kesalahanku pada keluarga Haji Shidiq. Terutama pada beliau selaku kepala keluarga. Akhirnya aku pulang jalan kaki sambil merenungi apa yang baru saja terjadi.


[1] Kron, Sekarang Bapak lagi di pondok, kamu ke sini sekarang ya!

1 comment:

  1. wah ketinggalan ... mulai ikut menyimak dari volume 5 ya..


    senang bisa berkunjung kesini
    Berkunjung juga Ke Blog Gua ya

    ReplyDelete