Minggu pagi
para santri kerja bakti bersama. Istilahnya Ro'an. Alias bersih-bersih
lingkungan pesantren. Sementara itu pakaian kotorku sudah menumpuk di kamar
tidur. Pagi ini aku belum juga mandi. Terkecuali bila mau bepergian ke
supermarket atau bertamu ke rumah orang. Mandi bagiku bukan lah suatu hal yang
wajib ketika air itu hanya cukup untuk berwudlu. Dari pada ngantri setengah jam
untuk menunggu teman di kamar mandi, lebih baik ditunda dulu sampai kamar mandi
benar-benar sepi.
Sehabis ro'an, sebagian santri turun ke kamar mandi untuk merendam
pakaian. Masing-masing dari mereka mendapatkan satu buah ember besar yang cukup
untuk sepuluh helai kain. Sayang sekali di sekitar pondok belum ada laundry
seperti halnya di kota-kota besar, sehingga konsekuensinya harus berani mandiri.
Tidak manja seperti halnya anak mama. Baru tinggal sehari di pesantren sudah
ingin pulang ke rumah. Guru bahasa inggrisku bilang—itu namanya Home sick.
Penyakit rumah anak kos dan santri pesantren.
Bajuku telah kurendam sejak tadi
pagi. Sehingga tinggal menyikat dan membilas sampai bersih. Tempat jemuran pakaian
di pesantrenku berada di dalam pondok dan sebagian lagi di luar arena pondok
sebelah utara gedung. Biasanya aku menjemurnya di luar karena sinar mentari
lebih cepat mengeringkannya dibanding di dalam pondok.
Sehabis membilas bersih dan suci
dari najis, aku membawanya ke arena penjemuran. Capek juga, sehabis mencuci—tangan
dan punggungku pegel-pegel.
Di sana telah berdiri seorang anak bertubuh
pendek dengan baju hem kotak-kotak, setelah kudekati ternyata Syukron, nama lengkapnya
Syukron Li To’atillah. Ia menjemur pakaiannya sekitar delapan sampai
sembilan helai kain. Anehnya, aku tak menemukan celana dalam yang ia jemur.
Ah....tak tahulah, dia punya CD atau tidak. Kami berbincang-bincang mengenai setoran
jurmiyah nanti malam kepada Gus Munib dan Juz ’Amma habis shalat shubuh
di depan Ustadz Ali.
”A...’Uuu....Dzubillaa....Himinasysyaithaanirrajiim.” Suara kami
harus lantang. Ketika membuka huruf alif sebisa mungkin empat jari kami bisa
masuk ke dalam mulut. Pertama, jari telunjuk, jari tengah, jari kelingking dan
jari manis. Kalau tidak, maka gebrakan meja-lah yang kami terima.
”Brakk..!!” Suara meja kayu menggelegar keras. Biasanya ada yang kaget dan
tersentak. Setiap pagi, kami harus tegar dalam menghadapi semua tantangan.
Meskipun mulut kami agak pegel-pegel karena harus tepat makhroj
hurufnya, namun semangat kami tetap membara untuk melanyahkan bibir
kami.
Suara kami saling bersahutan tak
beraturan, namun kami menikmatinya dengan hati yang dingin dan lapang. Tak bisa
dipastikan kapan kami akan khatam al-Qur’an. Berapa bulan lagi bahkan berapa
tahun lagi 30 juz kami selesaikan dengan baik.
Setengah jam kemudian kami pun kembali ke asrama.
Kami merebahkan tubuh di dalam
kamar, di atas karpet yang nampak lusuh dan belum dicuci. Mungkin saja pasukan
bakteri sudah bergerilya di sana-sini. Di tepinya sudah robek dan setiap hari
karpet satu-satunya ini bisa berpindah tempat dari satu kamar ke kamar lainnya.
Kepalaku tergeletak di atas punggung Syukron. Pandangan kedua mataku menatap
lurus ke langit-langit ruangan. Atapnya masih berupa genteng-genteng merah asal
kotaku sendiri, Sokka namanya. Pantas saja namanya genteng Sokka. Bibirku
mengukir senyum pada atap itu, hatiku berbunga-bunga teringat hari kemarin
dengan adiknya Barlian. Oh......Imajinasiku
melebar.
"Subhanallah. Ya Allah, Engkau
lah yang menciptakan wanita yang begitu indah di dunia ini. Segala puji bagi
Engkau Ya Allah, atas segala apa yang telah Engkau berikan pada kami.” Batinku
berkata-kata, tapi mulutku menutup rapat sambil mengenang makhluk indah ciptaan-Nya.
Seminggu telah berlalu. Dan
kedekatanku dengan Hafshoh semakin erat saja. Siang malam hatiku bergejolak,
jiwaku resah karena bayangannya selalu menghantuiku di setiap waktu. Tidak hanya
di pondok, sekolah, jalan raya dan dimanapun aku berada, seakan-akan ia berada
dalam jiwaku dan menyatu ke dalam qalbu. Astaghfirulahal’adzim Ya Allah, sampai-sampai
terbawa dalam shalat.
Tiba-tiba saja aku teringat kaset tilawah yang belum kukembalikan. Barlian sendiri
telah menanyakan kaset itu beberapa hari yan lalu, namun aku lupa membawanya.
Hari ini aku meminta syukron untuk menemaniku datang ke rumahnya. Kami pun
berangkat ke sana dengan sepeda onthel. Tepat jam 11.00 kami sampai di depan
rumahnya.
Syukron tak banyak komentar seperti
biasanya. Ia tak mau bicara kalau tak didahului pertanyaan dan tak berani
mendahului langkahku sebelum dipersilahkan duluan. Terkadang aku suka pada
sikapnya, tapi suatu waktu ia begitu menjengkelkan. Pernah suatu hari ia
membuat emosiku meluap-luap. Kemarahanku tak tertahankan, benar-benar aku telah
dirasuki amarah syetan la’natullah. Dengan ringan aku menampar pipi
kirinya saat ia berbuat kurangajar padaku.
Waktu itu di kamar mandi, dengan sengaja
ia menurunkan handuk yang sedang kukenakan, padahal aku tak memakai celana
dalam dan atasan alias baju. Sehingga beberapa detik itu auratku terbuka. Yah...aurat
yang berada diantara pusar dan lututku. Teman-temanku menertawakanku kencang,
begitu juga Syukron. Saat itulah tangan kananku melayang tak terkendali dan mendarat
pada pipinya yang mulus, tak berjerawat. Pipinya yang tadinya berwarna kuning
mengkilap, setelah tamparan itu mukanya berubah menjadi merah padam. Yang
sebelumnya terlihat terbahak-bahak, maka rasa sakit itu menjadikan ia
meneteskan air mata dan segera mengunci
mulutnya yang liar. Aku menyesal, tapi itulah balasan yang sepantasnya buat
Syukron. Maafkan aku Kron, aku tak tahu kalau saat itu kau masih sangat lugu. Kau
masih terlalu kecil sehingga tak mengerti akan arti kesopanan dan sikap
menghormati pada yang lebih tua. Seharusnya ia tidak melakukan hal demikian.
Karena dalam Islam—seorang yang lebih muda hendaknya menghargai yang lebih tua.
Dan yang tua menyayangi yang lebih muda. Begitulah seharusnya.
Di rumah Barlian itu kami seperti
kakak beradik. Perasaanku kepada Syukron telah berubah seperti sayangnya
seorang kakak kepada adik kecilnya. Aku mencoba memencet bel rumah Haji Shidiq,
sampai tiga kali pintu rumah baru terbuka. Perlahan-lahan pintu itu membuka
lebar.
"Assalamu'alaikum.” Kataku
pada shohibul bait.
Pintu itu kembali tertutup. Hafshoh berlari
ke kamarnya untuk memakai jilbabnya. Baru pertama kali ini, aku melihatnya
tanpa berkerudung. Betapa eloknya paras yang sesungguhnya. Sayang aku tak bisa
menikmatinya sampai lama, tapi lumayan lah daripada tidak sama sekali. Ah!
Pikiranku jadi kacau. Mungkin ia mengira bahwa yang datang itu ayahnya sendiri
atau kakanya. Aku juga tidak tahu persis akan hal itu.
Pintu kembali terbuka. Jilbabnya sudah
menjulur panjang menutupi anggota tubuhnya yang terbuka. Ia mempersilahkan kami
masuk dan duduk di ruang tamu.
”Sebentar ya, Mas!" Katanya
Ia masuk ruangan, sepertinya ke arah
dapur. Tak lama kemudian, ia keluar sambil membawakan dua gelas sirup warna
merah. Lalu duduk di salah satu kursi yang ada di depan kami. Hafshoh
mempersilahkan kami untuk segera menikmatinya. Ia paham benar apa yang kami
inginkan. Tapi begitulah sepantasnya sebagai tuan rumah yang memuliakan seorang
tamu.
Panasnya cuaca di luar sudah tak terasa lagi ketika tenggorokan kami
dibasahi oleh aliran minuman segar itu. Dag dig dug, detak jantungku bergetar
lagi dengan kencang. Kecemasan dan kegelisahan qalbuku kembali muncul. Tiba-tiba
nada pesan Hp Syukron bernyanyi lembut. Lalu, Ia membaca sms yang baru masuk.
Dibacanya sms itu dengan suara lirih.
"Kron, Siki bapak agi nang pondokmu, kowe meng ngeneh siki
ya..”[1] Sms Bapak Syukron
dibacanya dengan serius.
Belum genap lima menit kami duduk, Syukron
mohon pamit untuk segera pulang ke pondok, terutama pada shahibul bait
yang saat itu hanya ada Hafshoh seorang. Santri kecil yang beberapa menit
sebelumnya menemaniku, kini telah lenyap dari pandangan kami. Sepeda yang tadi kunaiki
telah dibawa olehnya. Aku tak berpikir mau pulang dengan apa? Aku belum melihat
ada uang atau tidak di saku celanaku. Gawat kalau tak bawa uang sepeserpun. Mau
jalan kaki, Gila!!! Nggak mungkin Ah!
Keadaan seperti inilah yang paling
membuat seorang laki-laki mengalami kebingungan. Ia harus menata hatinya, ia
harus menjaga kata-katanya dan ia harus menjaga niat awalnya datang ke rumah
Haji Shidiq. Saat-saat seperti inilah dimana pihak ketiga yaitu syetan mulai menggoda.
Menuntun hawa nafsu seseorang kepada perbuatan keji dan mungkar.
Suhu tubuhku tiba-tiba naik.
Keringat dingin keluar di bagian wajah dan sebagian anggota tubuhku.
Kata-kataku tak lagi berjalan mulus di hadapannya. Kaku. Niat awal dari pondok
ke rumahnya hanya ingin mengembalikan kaset yang kupinjam. Namun situasi telah
mengubah rencana awalku. Perasaanku hampir meledak. Duarrr! Namun masih bisa
kutahan.
Dunia seakan milik kita berdua.
Tanpa sepengetahuannya, aku menghela nafas panjang. Hening. Aku mencoba
merangkai kata dan menjadikannya sebuah kalimat untuk mengutarakan hasratku. Berat
sekali bibir ini mengatakannya. Hingga akhirnya luapan perasaanku yang lama
terpendam tercurahkan di hadapannya langsung, di bawah bangunan megah miliknya.
Disaksikan oleh bumi yang kuinjak dan pastinya dicatat oleh kedua malaikat-Nya.
Raqib dan ’Atid. Mungkin malaikat Raqib mencatatnya dalam buku kebaikan
berkat silaturahimku kepada sesama saudara, atau mungkin saja malaikat ’Atid
yang menuliskan amal kejelekanku karena besepi-sepi dengan lawan jenis. Berduaan
dengan bukan mahram, di tempat tertutup lagi. Dosa apa lagi yang aku perbuat,
tapi inilah realita kehidupan seseorang. Ia tak bisa menghindar dan tidak juga
bisa berdiam diri mengurung di dalam kamar. Tidak bisa juga beribadah siang
malam tanpa berinteraksi dengan sesama.
”Aku sayang kamu, Shoh.” Cepp....mulutku
kembali terkunci. ”Semoga saja ia membawa kunci itu dan membukakakn pintu
untukku.” Pikirku sekelebat.
"Mas Burhan, aku belum bisa memutuskan saat ini.” Katanya sambil tertunduk
malu. Ia tak berani menatapku, aku sungguh bingung dibuatnya. Oh....kenapa jadi
serba salah begini? Kenapa kami terdiam tanpa kata dan kenapa aku terlalu berani
mengatakan hal itu padanya? Padahal lebih pantas diucapkan oleh seorang suami
kepada istrinya atau sebaliknya. Tapi aku....aku bukan siapa-siapa. Aku
hanyalah tamu tak diundang yang tidak punya niatan untuk mengatakan tiga kata
luar biasa itu.
Kami sama-sama tertunduk sejenak. Jam 12.00 aku mohon pamit. Ketika tangan
kiriku membuka pintu rumah, dua orang menatapku dari luar. Haji Shidiq dan Barlian
baru saja pulang. Beliau mencegahku dan memintaku duduk kembali di tempat
semula. Tanpa basa-basi beliau langsung menegurku dengan teguran keras.
"Apa-apaan ini Mas Burhan, berduaan di dalam rumah, kamu kan santri,
bukannya di pesantren diajarkan akhlak?" Kata beliau seperti orang marah. Mungkin
saja beliau memang benar-benar marah padaku.
Aku terdiam dan menutup rapat-rapat mulutku. Beliau duduk di tempat yang
semula diduduki Hafshoh. Wajahnya geram, sekali-kali mata liarnya memelototi
anak gadisnya. Ia masih berdiri bersebelahan dengan kakaknya. Barlian tak bisa
berbuat apa-apa. Ia mematung tak bergerak.
"Kamu juga Hafshoh!" Kata beliau. "Kenapa kamu ijinkan
seorang laki-laki yang bukan mahram masuk rumah ini? Meskipun ia seorang
santri, tapi kamu juga harus waspada pada setiap orang, termasuk Burhan ini.
Pasti ada apa-apa sebelum ayah datang ke sini?"
"Nggak kok Ya.....h, kami cuma ngobrol biasa.” Hafshoh angkat bicara
"Tidak! Sama sekali ayah tidak percaya, pokoknya kejadian seperti ini
jangan sampai terulang lagi. Dan kamu Burhan, seharusnya kamu tidak masuk ke
rumah ini tanpa ada orang lain yang menemani anakku!"
Aduu..h, kenapa juga Syukron tadi
pulang ke pesantren? Kalau saja ia bersamaku tentunya tidak akan terjadi
seperti ini. Repot jadinya.
Beliau mengambil peci hitamnya lalu menjatuhkan dengan keras ke atas meja.
”Pyakk.....” Pecinya terbanting dengan dibarengi suara benda jatuh.
"Ma....maafkan saya, Pak.” Kataku yang sudah mulai keringatan.
Setelah itu aku melangkah keluar dan meninggalkan ruangan mewah itu seorang
diri. Rasa bersalah yang amat dalam tumbuh subur dalam benakku, hanya kata maaf
yang kumiliki sebagai modal meruntuhkan kesalahanku pada keluarga Haji Shidiq. Terutama
pada beliau selaku kepala keluarga. Akhirnya aku pulang jalan kaki sambil
merenungi apa yang baru saja terjadi.
wah ketinggalan ... mulai ikut menyimak dari volume 5 ya..
ReplyDeletesenang bisa berkunjung kesini
Berkunjung juga Ke Blog Gua ya