Saturday, July 9, 2022

Ketika Ibu Mengatakan Tidak Suka Daging


Oleh : Wawan Hary

            Seorang ibu akan memberikan apapun yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Bahkan di saat beliau tidak memiliki. Beliau tetap akan berusaha mencarikan apa yang menjadi keinginan anaknya. Terkadang beliau akan berbuat sesuatu yang dipandang kurang baik menurut ukuran adat di masyarakat, akan tetapi hal itu dilakukan supaya anaknya merasa senang dan tercukupi kebutuhannya.

            Suatu waktu, di saat kecil penulis pernah mengungkapkan ingin disembelihkan hewan kurban atas nama sendiri. Hal ini diungkapkan beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Adha. Sungguh kalimat itu terlontar begitu saja tanpa adanya persiapan ini dan itu. Namun bagi orang tua, apalagi saat itu diungkapkan di depan seorang ibu—sosok yang telah melahirkan ke dunia—beliau ‘trenyuh’ atau baper. Penulis seolah-olah melihat kedua matanya berkaca-kaca, namun tak ada yang mengalir. Ada lelehan hangat yang masih tertahan di bawah bulu matanya.

            Hatinya haru dan bahagia, meski hanya mendengar sederet kalimat sederhana dari seorang anak kecil yang tak tahu makna idul adha dan seterusnya. Tak lengkap kiranya seorang ibu yang baper dengan kata-kata anaknya bila tidak disampaikan orang sekitar.

            “Bapak ngesuk arep kurban nang mushola, tahun depan gantian”, ungkap beliau sambil jaga warung sembako di rumah

            Seperti itu yang dipahami orang tua kami, berkurban dengan nama masing-masing. Logika sederhana, kelak di akhirat kalau kambing satu dinaiki dua orang atau lebih maka tidak kuat. Sehingga pemahaman idul adha yakni menyembelih satu kambing untuk satu orang. Sampai saat ini pun masih seperti itu. Adapun pendapat lain yang mengatakan bahwa berkurban 1 kambing untuk satu keluarga sangatlah bisa diterima berdasarkan hadits Rasulullah SAW.

            Kembali pada sosok ibu. Tak berhenti pada hari-hari menjelang idul adha, beliau ketika memiliki beberapa bungkus daging kambing dan sapi yang diperoleh dari panitia kurban—tak segan-segan beliau mengirimkan kepada putra-putrinya. Entah bagaimana caranya, seorang ibu memiliki banyak cara untuk menyampaikan daging kepada mereka. Pernah kami mendapatkan titipan daging kurban dari ibu melalui panitia kurban.

            “Kan di rumah masih banyak daging, kenapa punya ibu dikirimkan ke sini”

            Sosok ibu akan rela tidak memasak daging asalkan anak-anaknya bisa memasaknya. Beliau akan mengatakan hal-hal yang membuat anak-anaknya mau menerima pemberian itu, baik dengan berbohong tidak suka daging, bau yang tidak enak, di rumah sudah ada daging yang lain serta berjuta alasan supaya kami bisa menerimanya.

            Seorang ibu yang memiliki anak-anak kelahiran tahun 80-90an, barangkali kita ini—bukankah beliau yang berjuang membela kita saat kita beradu konflik dengan bapak terkait masalah-masalah tertentu. Sosok ibu hadir dan mencoba mendinginkan suasana dengan berbagai cara, dalam posisi kita salah pun beliau tetap menjadi embun pagi yang selalu menetes ke dalam kalbu. Dingin, sejuk, menyejukkan.

            Idul Adha bukan momen paling indah dalam hidup seorang ibu, akan tetapi seorang anak bisa menciptakannya menjadi hari-hari bahagia seorang ibu yang melihat anak-anaknya sehat ceria. Bahagia menatap cucu yang saling bercanda, membakar daging kambing meski dagingnya ‘alot’ bagi mereka.   Beliau lebih bahagia menyaksikan putra putrinya sehat ceria dan rukun damai bila dibandingkan dengan menikmati lezatnya rica-rica daging sapi dari resep koki nusantara.

Buat yang masih bersama ibunya, ukir terus senyum bahagia di lisan dan hatinya, jangan pisahkan bahagianya itu. Kedua bola mata, bibir dan hatinya adalah satu kesatuan wujud kebahagiaannya, dan itu bisa diciptakan. Siapa yang menciptakan? Tentunya Alloh SWT, huwa adhaka wa abkaa (Dialah Yang bisa menjadikan manusia tertawa dan menangis) melalui perantara anak-anaknya. Tetap semangat di Hari Raya Idul Adha tahun ini, berkorban untuk orang-orang terkasih niscaya Alloh akan datangkan balasan berlipat-lipat dan memberikan keberkahan yang nyata.


No comments:

Post a Comment