Monday, February 21, 2022

Waktu Tak Kan Terulang

 Oleh: Wawan Hary

Sejak kecil, kami hidup dalam sebuah keluarga yang sedang-sedang saja. Kekurangan ya tidak, banyak harta juga tidak. Kami hidup penuh dengan tantangan dari orang tua kami. Barangkali akan banyak orang mengatakan, orang tua kami tega melepas anak-anaknya dalam sebuah kemandirian. Ayah kami, beliau seorang petani sekaligus pedagang sembako. Setiap hari rutinitas kegiatannya kalau tidak pergi ke pasar, beliau akan mengajak salah satu putranya melihat-lihat pekarangan atau sawah.

            Di saat anak remaja yang lain sedang bermain bola di lapangan kampung, kami harus ikut ayah kami menanam tanaman padi ataupun membersihkan sawah yang mulai banyak rumput. Tidak seperti anak-anak sekarang yang ‘pandai’ bersilat lidah ke sana ke mari saat diajak membantu pekerjaan ortu. Kami tidak ada upaya dan daya untuk menolak permintaan ayah yang berkaitan dengan pekerjaan utama beliau.

            Saya sempat meneteskan air mata saat tangan kanan saya menanam padi sambil berjalan mundur. Ayah kami tentunya tahu, tetesan air mata di pipi. Tapi beliau tetap tegar dan teguh pendirian untuk tidak memulangkan anaknya saat dilatih bekerja keras. Kalau sudah demikian, ayah kami akan memulangkan kisaran waktu setengah jam kemudian. Tangisan itu bukan karena kata-kata beliau yang menyakitkan—akan tetapi, kami hanya teringat momen-momen bersuka ria bersama teman-teman di waktu yang sama.

            Kini ayah kami sudah tertimbun tanah. Ia sudah tenang di sisi Alloh SWT. Semangatnya yang ditorehkan sejak kami remaja tak pernah hilang, bahwa menjadi seorang anak paling tidak bisa mencontoh sekilas sepak terjang orang tua sendiri sebagai amal jariah yang bisa dinikmati di alam sana.

            Saya menjadi putra ketiga beliau, di saat mendapat apresiasi sekolah baik rangking ataupun hadiah berupa nilai ‘cumlaude’—tak ada tampak ceria dan keinginan  memberikan hadiah atas keberhasilan putra putrinya. Padahal di kala itu, beberapa kali prestasi ini saya raih. Dalam hati, saya sempat kecewa karena menorehkan prestasi dan tidak berprestasi di mata orang tua tidak ada bedanya. Karena memang respon orang tua kami sebatas itu, maka setiap kali terima rapot—tugas utama saya adalah membukakan kolom tanda tangan dan nama ayah saya.

            Batin saya mengucap:”Yah, ini nilai-nilai yang selama ini saya perjuangkan. Ada yang 8 dan 9. Lihat Yah, tidak ada nilai merahnya”

            Setelah dibubuhi tanda tangan, ayah saya memindahkan rapot di tempat yang tinggi. Di sebuah warung ayah kami ada rak tempat menaruh barang dan buku catatan. Di situlah beliau menyimpan hasil laporan belajar. Saya pun tidak menanyakan kenapa beliau meletakkannya jauh dari jangkauan anak-anaknya.

            Kini saya sudah memiliki dua orang anak, laki-laki semua. Perasaan ayah mana yang tidak bangga memiliki anak yang memiliki kemampuan cukup baik di sekolahnya. Kalaupun ingin menumpahkan air mata kebahagiaan, tidak lah mungkin seorang ayah akan menangis di depan anak-anaknya. Waktu itu tak akan terulang, ayah kami pasti melihat nilai-nilai kami saat kami bermain di luar rumah. Bahkan bisa jadi ayah kami menangis haru dan bahagia karena deretan nilai dalam sebuah buku laporan kecil itu.

            Di saat kelulusan SMA, saya diberi tugas untuk demonstrasi bahasa Jepang di atas panggung. Ayah saya datang alhamdulillah. Beliau duduk di bagian tengah sehingga bisa melihat penampilan saya. Sayangnya, kenapa waktu itu saya tidak duduk di samping beliau sesudah tampil? Saya menyibukkan sendiri dengan teman-teman sambil menyaksikan acara demi acara. Saat itu saya tidak pernah berfikir bagaimana kalau tidak ada teman di samping ayah? Bagaimana kalau beliau belum dapat snack, dan beliau malu menyampaikan pada panitia? Ah, kacau sekali pikiran ini di kala itu. Pikiran remaja saat itu hanya sebatas, saya senang dilihat banyak orang dan teman-teman satu sekolahan. Egois sekali saya, bagaimana perasaan ayah kala itu karena memang saya tidak menyempatkan waktu untuk menjumpai dan berjabat tangan. Sedih rasanya bila hal itu teringat kembali.

Kosan Jogja

Sudah menjadi karakter orang tua kami terutama ayah, beliau sudah terbiasa melatih anak-anaknya mandiri dan tidak bergantung dengannya. Bulan Agustus 2005 saya harus menimba ilmu di salah satu Universitas di Yogyakarta. Saya beranikan diri untuk berangkat sendiri tanpa diantar orang tua. Saya tidak bisa berfikir bagaimana nanti malam menginap. Karena saya berangkat ke Kota Gudeg, memang belum pernah mencari kos-kosan atau asrama untuk menginap. Ayah saya pun melepas kepergian ke Kota Jogja dengan bekal uang secukupnya dan doa restu dari mereka berdua.

Tiga jam naik bus kami lalui dengan penuh kesabaran. Tujuan utama saya langsung pada kampus tempat menuntut ilmu. Saya mulai berlama-lama di teras masjid sambil bertanya kepada setiap yang singgah terkait tempat menginap di Jogjakarta. Matahari mulai bergeser ke arah barat, sebentar lagi pasti ia akan tenggelam. Sedangkan saya masih terombang-ambing tidak tahu mau ke mana.

Salah seorang berkacamata duduk sambil memakai sepatu. Sepertinya ia akan pulang ke tempat tinggalnya.

“Mas, tinggal di mana?” Tanya saya

“Di asrama mahasiswa Mas, lha sampeyan tinggal di mana?”

“Mmmm....saya lagi nyari kos-kosan Mas. Maaf, kalau boleh saya mau nginep semalem di tempat njenengan bisa nggak?”

“Oh iya nggak papa, ayo ikut”

Alhamdulillah saya dapat menginap semalam di tempat seseorang yang tidak dikenal sebelumnya. Hanya modal nekat saja. Malu urusan belakang yang penting malam itu bisa tidur nyenyak dan aman sampai pagi. Ayah saya bukanlah pengguna handphone. Beliau tidak pernah mengoperasikan hp meski anak-anaknya memilikinya. Saya pun tidak bisa bercerita apa-apa kepada orang tua saat jauh di mata. Orang tua tidak tahu akan kisah yang terjadi, saya menginap di tempat orang baru dikenal.

Waktu Skripsi

Mengerjakan skripsi bukan berarti kecil pengeluaran karena tidak ada uang foto copy dan acara senang-senang. Justru momen-momen inilah, seorang mahasiswa membutuhkan stimulan dan dukungan materi yang tidak sedikit. Bagi mereka yang merokok, tentu setiap malam harus disanding dengan kopi dan kepulan asap rokoknya. Saat ini usia saya semakin dewasa, kebutuhan memang meningkat namun permintaan uang bulanan pada orang tua malah sudah sungkan.

Saya harus membeli buku baru yang hanya dibutuhkan beberapa lembar saja untuk memenuhi daftar pustaka. Saya harus membeli buku non original demi bisa membaca isinya yang memuat kebutuhan skripsi. Dan akhirnya, saya menjilid skripsi menjadi 5 jilid. Saya berusaha mencukupkan pengeluaran yang lumayan lebih banyak dan berlipat dibanding bulan-bulan sebelumnya. Ayah saya tidak tahu. Begitu juga ibu saya. Bukan berarti mereka tidak mau tahu, akan tetapi memang saya dengan sengaja tidak memberi kabar akan hal ini. Kebutuhan di rumah masih lebih banyak dibanding yang saya butuhkan. Adik-adik saya harus merampungkan sekolahnya, sedangkan saya juga harus fokus menyelesaikan kuliah hingga mendapat gelar S.Pd.I.

Seiring perjalanan waktu, kami sebagai anak sangat berterima kasih atas didikan dan ilmu yang diajarkan yakni model orang tua mendidik anak-anaknya. Yang namanya sayang bukan memanjakan. Sayang bukan memberi yang terbanyak dan terbaik. Sayang bukan dengan membiarkan anak bermain sepanjang waktu tanpa henti. Sayang adalah pengorbanan orang tua yang rela dibenci anak untuk sementara waktu dan akan disayangi anak-anaknya di kemudian hari tanpa batas waktu. Waktu tak akan terulang. Ayah kami sudah di dalam bumi. Kelak akan saya pegang erat telapak tangannya dan memeluknya dengan penuh suka cita.


No comments:

Post a Comment