Tuesday, April 3, 2012

NOVEL MdC BAGIAN 6


Sekitar jam setengah sepuluh malam aku duduk sendiri di kamar 5. Aku mencoba mengingat-ingat kejadian siang tadi. Benar sekali apa yang dikatakan oleh ayah Hafshoh, dia bukan mahramku dan sama sekali tak pantas aku berlama-lama di rumahnya tanpa ada seorang pun yang menemaninya.
Sambil memandang sebuah kaset yang ada di genggamanku, membuatku semakin merasa berdosa.
"Aku selalu merepotkan. Aku seorang santri yang tak tahu rasa terima kasih dan aku bukanlah seorang pahlawan yang berjiwa penyantun. Dan aku....Ach. Aku memang manusia yang tak berguna, aku benci pada diriku sendiri?" Sesalku mengenang.
Mataku basah oleh air mata. Lama kelamaan meleleh dan membasahi kedua pipiku. Aku tak menyekanya. Kubiarkan air itu mengalir deras  seperti derasnya perasaan salahku pada Haji Shidiq. Tengah malam aku terbangun dan duduk bersimpuh memohon ampunan Allah. Aku menangis sejadi-jadinya. Aliran air mata ini lebih deras dari sebelumnya. Masih kubiarkan tetesan itu membasahi sajadahku. Bibirku pun berucap-merintih tak henti-hentinya melantunkan do'a dalam bahasa hatiku sendiri. Galau sekali.
Berulang kali kusebut Asma-Nya yang luhur.
"Allahummarhamni ya Allah........Allahummarhamni ya Rabb...”[1]
Alam mungkin saja tak mendengar, nyamuk-nyamuk tak ada yang menggubris, kegelapan malam nan sunyi—diam tak bertingkah. Namun hatiku merasakan jeritan yang luar biasa. Rasanya aku ingin memuntahkan sesuatu yang menancap dalam-dalam pada jantungku. ”Aaaaa..........................”
Selesai berdo’a, aku berdiri di bawah gawang pintu kamar lima.
Di depan mataku, empat lelaki di teras depan kantor masih asyik membicarakan persoalan masing-masing. Empat sekawan itu mengisap rokok buatan mereka sendiri alias made in pesantren. Nglinting. Tiga dari mereka duduk bersila dengan menyandarkan tubuhnya pada dua lajur jendela kantor pondok. Sedangkan satunya lagi sedang asyik memainkan game dalam ponsel Jehan sambil berbaring di atas karpet
Tampang mereka masih hitam, redup dengan sedikit cahaya yang menerangi tempat obrolannya. Sinar rembulan saja tak mampu menembus atap bangunan itu, apalagi matahari yang masih tersembunyi di balik kegelapan malam.
Akan tetapi hanya dalam hitungan satu detik, ketiga pria itu terlihat jelas beserta pakaian yang dikenakannya. Sorotan lampu mobil Pak Yai menyala terang. Di padang mahsyar kelak, mungkin seperti inilah wajah para hamba-Nya yang senantiasa menjaga wudlunya setiap waktu.
"Ton, Ton. Abah kondur.” Kata salah seorang dari mereka.
Serentak ketiga santri yang melihatnya—mengambil langkah seribu dan bersembunyi di balik jendela ruang kantor. Headset di kedua telinganya masih terpasang. Anton terkejut setelah ia tahu ketiga temannya telah pergi. Namun, Abah lebih dulu memanggilnya dan disuruh masuk ke ndalem. Santri yang dipanggil ke ndalem terkadang menguntungkan dan terkadang kurang beruntung karena kena marah Pak Yai. Tapi biasanya kami diberi berkat satu kresek. Bungkusan itu berisi nasi, daging ayam, sayur dan krupuk. Kadang-kadang ada buah jeruknya satu biji. Santri yang sudah tidur pasti tak pernah kebagian karena seringkali Pak Yai kondur pada tengah malam.
Tempat itu masih berantakan. Kulihat dua gelas kopi tumpah membanjiri karpet dibawahnya. Aku melangkah ke depan sekitar lima meter dan berdiri di depan kantor. Bola mataku mamandang jauh ke angkasa. Sebuah benda langit berbentuk lingkaran bulat bersinar terang. Di sekelilingnya dihiasi oleh lintang-lintang dan bintang-bintang kecil yang menyala terpendar-pendar.
Sejarah telah mengabadikannya. Katanya, Neil Amstrong telah berhasil mendarat di permukaan satelit itu dengan selamat. Hatiku mulai bertanya
"Bagaimana dia bisa sampai ke sana, ya? Allahu Akbar...
"Tapi sayang, dia bukan orang Indonesia yang mayoritas masyarakatnya muslim. Luar biasa sekali, apabila kalau Neil Amstrong itu seorang santri." Khayalku melang-lang buana.
Sungguh aku bangga atas keberhasilannya, tapi lebih dari itu tentunya keagungan Sang Penciptalah yang lebih besar kuasa-Nya. Dia telah menyelamatkan dirinya sejak pertama kali meluncur ke angkasa sampai kembali lagi ke bumi. Mustahil apabila hanya dengan kemampuan yang dimiliki manusia mampu menyelamatkan dirinya dari bahaya. Tak lain karena kasih sayang Pencipta langit dan bumi lah yang dicurahkan kepada semua makhluk ciptaan-Nya sepanjang bumi masih berputar.
"Kenapa......? Kenapa manusia masih saja tidak bersyukur?" Renungku sendiri.
Kondisi negaraku sedang terkoyak. Percekcokan di mana-mana, pertumpahan darah terus saja terjadi. Dan seabrek permasalahan kehidupan belum juga terselesaikan.  Kebodohan dan kemiskinan selalu jadi topik utama berita media masa. Kasihan kaum papa yang hidup bergantung pada orang lain, mengemis di jalanan—meminta-minta sedekah tanpa mau berusaha. Komplek sekali, problem kehidupan ini. Siang malam do'a bergema di seluruh penjuru dunia, mencurahkan keluh kesah, dosa dalam kehidupan fana yang tak lain hanyalah sebuah permainan.
Barangkali benar, Malaikat Israfil sudah siap siaga menyembul terompetnya. Hanya tinggal menunggu perintah dari Allah, maka manusia bersiap-siap lah untuk menyesal atas perbuatannya di dunia ini. Itu artinya Kiamat Kubro!! Kehancuran alam dunia ini dengan sehancur-hancurnya.
”Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhan-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”[2]

~~~***~~~


[1] Ya Allah, kasihanilah aku……kasihanilah aku, ya Rabb.
[2]  Terj. Q.S. An-Nazi’at : 34-41

1 comment: