Sekitar jam setengah sepuluh malam aku duduk sendiri di kamar 5. Aku
mencoba mengingat-ingat kejadian siang tadi. Benar sekali apa yang dikatakan
oleh ayah Hafshoh, dia bukan mahramku dan sama sekali tak pantas aku
berlama-lama di rumahnya tanpa ada seorang pun yang menemaninya.
Sambil memandang sebuah kaset yang ada di genggamanku, membuatku semakin
merasa berdosa.
"Aku selalu merepotkan. Aku seorang santri yang tak tahu rasa terima
kasih dan aku bukanlah seorang pahlawan yang berjiwa penyantun. Dan aku....Ach.
Aku memang manusia yang tak berguna, aku benci pada diriku sendiri?" Sesalku
mengenang.
Mataku basah oleh air mata. Lama kelamaan meleleh dan membasahi kedua
pipiku. Aku tak menyekanya. Kubiarkan air itu mengalir deras seperti derasnya perasaan salahku pada Haji
Shidiq. Tengah malam aku terbangun dan duduk bersimpuh memohon ampunan Allah.
Aku menangis sejadi-jadinya. Aliran air mata ini lebih deras dari sebelumnya.
Masih kubiarkan tetesan itu membasahi sajadahku. Bibirku pun berucap-merintih
tak henti-hentinya melantunkan do'a dalam bahasa hatiku sendiri. Galau sekali.
Berulang kali kusebut Asma-Nya yang luhur.
"Allahummarhamni ya Allah........Allahummarhamni ya Rabb...”[1]
Alam mungkin saja tak mendengar, nyamuk-nyamuk tak ada yang menggubris,
kegelapan malam nan sunyi—diam tak bertingkah. Namun hatiku merasakan jeritan
yang luar biasa. Rasanya aku ingin memuntahkan sesuatu yang menancap
dalam-dalam pada jantungku. ”Aaaaa..........................”
Selesai berdo’a, aku berdiri di bawah gawang pintu kamar lima.
Di depan mataku, empat lelaki di teras depan kantor masih asyik
membicarakan persoalan masing-masing. Empat sekawan itu mengisap rokok buatan
mereka sendiri alias made in pesantren. Nglinting. Tiga dari mereka
duduk bersila dengan menyandarkan tubuhnya pada dua lajur jendela kantor
pondok. Sedangkan satunya lagi sedang asyik memainkan game dalam ponsel Jehan
sambil berbaring di atas karpet
Tampang mereka masih hitam, redup dengan sedikit cahaya yang menerangi
tempat obrolannya. Sinar rembulan saja tak mampu menembus atap bangunan itu,
apalagi matahari yang masih tersembunyi di balik kegelapan malam.
Akan tetapi hanya dalam hitungan satu detik, ketiga pria itu terlihat jelas
beserta pakaian yang dikenakannya. Sorotan lampu mobil Pak Yai menyala terang. Di
padang mahsyar kelak, mungkin seperti inilah wajah para hamba-Nya yang
senantiasa menjaga wudlunya setiap waktu.
"Ton, Ton. Abah kondur.” Kata salah seorang dari mereka.
Serentak ketiga santri yang melihatnya—mengambil langkah seribu dan bersembunyi
di balik jendela ruang kantor. Headset di kedua telinganya masih
terpasang. Anton terkejut setelah ia tahu ketiga temannya telah pergi. Namun,
Abah lebih dulu memanggilnya dan disuruh masuk ke ndalem. Santri yang dipanggil
ke ndalem terkadang menguntungkan dan terkadang kurang beruntung karena kena
marah Pak Yai. Tapi biasanya kami diberi berkat satu kresek. Bungkusan itu
berisi nasi, daging ayam, sayur dan krupuk. Kadang-kadang ada buah jeruknya
satu biji. Santri yang sudah tidur pasti tak pernah kebagian karena seringkali
Pak Yai kondur pada tengah malam.
Tempat itu masih berantakan. Kulihat dua gelas kopi tumpah membanjiri
karpet dibawahnya. Aku melangkah ke depan sekitar lima meter dan berdiri di
depan kantor. Bola mataku mamandang jauh ke angkasa. Sebuah benda langit
berbentuk lingkaran bulat bersinar terang. Di sekelilingnya dihiasi oleh
lintang-lintang dan bintang-bintang kecil yang menyala terpendar-pendar.
Sejarah telah mengabadikannya. Katanya, Neil Amstrong telah berhasil
mendarat di permukaan satelit itu dengan selamat. Hatiku mulai bertanya
"Bagaimana dia bisa sampai ke sana, ya? Allahu Akbar...
"Tapi sayang, dia bukan orang Indonesia yang mayoritas masyarakatnya
muslim. Luar biasa sekali, apabila kalau Neil Amstrong itu seorang santri."
Khayalku melang-lang buana.
Sungguh aku bangga atas keberhasilannya, tapi lebih dari itu tentunya
keagungan Sang Penciptalah yang lebih besar kuasa-Nya. Dia telah menyelamatkan
dirinya sejak pertama kali meluncur ke angkasa sampai kembali lagi ke bumi.
Mustahil apabila hanya dengan kemampuan yang dimiliki manusia mampu
menyelamatkan dirinya dari bahaya. Tak lain karena kasih sayang Pencipta langit
dan bumi lah yang dicurahkan kepada semua makhluk ciptaan-Nya sepanjang bumi
masih berputar.
"Kenapa......? Kenapa manusia masih saja tidak bersyukur?" Renungku
sendiri.
Kondisi negaraku sedang terkoyak. Percekcokan di mana-mana, pertumpahan
darah terus saja terjadi. Dan seabrek permasalahan kehidupan belum juga
terselesaikan. Kebodohan dan kemiskinan
selalu jadi topik utama berita media masa. Kasihan kaum papa yang hidup
bergantung pada orang lain, mengemis di jalanan—meminta-minta sedekah tanpa mau
berusaha. Komplek sekali, problem kehidupan ini. Siang malam do'a bergema di
seluruh penjuru dunia, mencurahkan keluh kesah, dosa dalam kehidupan fana yang
tak lain hanyalah sebuah permainan.
Barangkali benar, Malaikat Israfil sudah siap siaga menyembul terompetnya. Hanya
tinggal menunggu perintah dari Allah, maka manusia bersiap-siap lah untuk
menyesal atas perbuatannya di dunia ini. Itu artinya Kiamat Kubro!! Kehancuran alam
dunia ini dengan sehancur-hancurnya.
”Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada
hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. Dan
diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Adapun
orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka sesungguhnya
nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhan-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”[2]
~~~***~~~
Top... teruskan
ReplyDelete