Friday, July 22, 2011

KISAH MERAPI : Kesabaran Membawa Berkah


    Saya tidak tahu kenapa, pada hari Kamis (4/11/2010) hujan begitu lebat di sore hari. Setelah melaksanakan shalat Ashar di masjid Nurul Ilmi, nama masjid di sekolah saya—saya, para guru dan siswa masih bertahan di dalam masjid karena menunggu hujan reda. Di luar, halilintar terlihat menyambar-nyambar seperti lidah binatang melata. Guntur pun tak henti-hentinya meledak-ledak menakutkan setiap orang.
           Dalam keramaian, batin saya bertanya-tanya. Kenapa hujannya sangat deras? Ditambah lagi suara halilintar yang begitu menakutkan. Saat itu saya belum juga mendapatkan jawabannya. Hingga malam hari, dalam dada saya masih was-was dan serasa ada yang aneh dengan kondisi alam di Yogyakarta. Malam Jum’at itu, kebetulan saya belum memejamkan mata hingga pukul 23.30 WIB. Saya ingin menyaksikan berita aktual di televisi pada tengah malam. Itu berarti saya saya harus menunggu setengah jam lagi. Saya berusaha tahan kantuk dan tidak tidur malam itu.
            Jam 00.00 pun tiba. Saya segera menuju salah satu ruangan di asrama saya yang berada di Gang Cemani. Di dalam ruangan itu saya sendirian. Saya mengikuti berita yang sedang ‘LIVE’ di salah satu stasiun TV swasta. Berita TV itu menyiarkan sekitar gempa tremor yang berulang kali terjadi dan juga zona bahaya yang telah diperluas menjadi 20 km (12 mil) dari puncak merapi. Padahal teman saya satu profesi yang tinggal di Sleman hendak menikah beberapa hari lagi. Undangan pun sudah tersebar. Sampai-sampai acara resepsinya dibatalkan demi keselamatan nyawa para undangan. Subhanallah
            Saya merasa siaran langsung dini hari itu tidak memberikan informasi adanya bahaya sampai ke tempat tinggal saya, Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta. Akhirnya saya kembali ke ruang tamu dan memejamkan kedua mata sampai pagi hari. Selesai shalat Shubuh, saya langsung mengamati puncak merapi—tapi tidak tampak. Sepertinya tertutup oleh awan atau kabut yang sangat tebal di sana. Sejauh mata memandang—kedua bola mata saya melihat rintik-rintik abu beterbangan dan jatuh ke bumi. Saya masih belum percaya kalau pagi hari itu, Jum’at (5/11/2010) terjadi hujan abu vulkanik.
            Di dekat masjid tempat saya shalat, kebetulan ada beberapa sepeda motor yang di parkir tanpa atap. Lalu saya mencoba mencolek  salah satu jok motor dan ternyata benar—telah terjadi hujan abu. Dari dalam hati timbul pertanyaan sederhana : “Apa benar Gunung Merapi meletus lagi?” Saya masih penasaran dengan kondisi alam Yogyakarta pagi itu—sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Merapi? Lagi-lagi saya menghadap layar televisi supaya beritanya jelas. Dengan segera saya menyalakan TV. Saya memilih siaran yang sedang ‘LIVE’ lagi supaya bisa lebih terasa di hati.
            Seakan tak percaya, Gunung Merapi melatus lagi pada dini hari 5 November 2010. Sungguh bencana yang satu ini banyak membuat orang larut dalam kesedihan dan kekurangan. Dari berita yang tersiar, begitu banyak warga yang menjadi korban. Hari itu mereka berada dalam ketakutan, kelaparan, kesakitan, kehilangan nyawa anggota keluarga dan kekurangan harta benda. Puluhan bahkan ratusan orang dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Sedangkan ratusan ribu korban dievakuasi ke barak-barak pengungsian yang telah disediakan.
            Dalam kedaan seperti ini memang hanya ada satu jalan yaitu bersabar. Karena dengan bersabar itulah, sesungguhnya Allah berjanji akan menurunkan rahmat, keberkahan yang sempurna dan petunjuk-Nya. Yaitu bagi mereka yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’un, Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.
            Atas peristiwa ini, sudah semestinya menjadi pelajaran yang penuh hikmah bagi semua orang. Kita tidak ada apa-apanya dihadapan Tuhan, kita makhluk yang lemah di hadapan-Nya. Dia pasti sudah memperhitungkan semuanya; amal, dosa, bencana, dan karunia-Nya. Semoga kita tetap dianugerahi ketabahan dan kesabaran oleh-Nya.

No comments:

Post a Comment