Sunday, May 22, 2011

Cerpen : Nasib Bu Aisyah

Terinspirasi dari sebuah kenyataan dalam kehidupan
Pagi menjelang siang, aku duduk sendiri di ruang tamu Asramaku. Teman-teman asramaku masih bergelut dengan studinya di kampus, salah satu perguruan tinggi Islam di kota Jogja yang sangat diminati masyarakat di negeri ini. Tak terasa, ternyata sudah dua jam aku menghabiskan waktu hanya untuk melang-lang buana ke seluruh dunia. Dari tingkat pelosok wilayah sampai negara Adi Kuasa Amerika telah kujelajahi hingga mata ini capek memandangnya. Sarapan koran menjadi rutinitasku di asrama setiap pagi. Mau cari berita di mana kalau membaca koran saja ogah-ogahan, toh kalau masuk warnet tak cukup bayar tiga ribu rupiah. Lima ribu atau enam ribu sekali duduk.
“Berapa Mas...?” Tanyaku pada penjaga warnet hari kemarin.
“Tiga ribu delapan ratus.” Jawabnya
Padahal cuma satu jam lewat sedikit. Tidak tahunya tetap dihitung tambahan waktunya. Ngenet di kampus bukan tempatnya untuk berpuas-puas download dan acces ilmu pengetahuan. Salah satu kolom berisi iklan kubaca serius, pada intinya menawarkan lap top dengan berbagai type. Harganya di atas lima juta, pasti kualitasnya bagus. Saat ini aku belum bisa menggambarkan—pada suatu saat aku akan memiliki barang semewah itu.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam”
Sosok seorang ibu berkerudung agak lusuh sudah berdiri di belakangku. Aku kaget tapi tetap kucoba untuk bisa santai.
“Silahkan masuk, Bu!”
Beliau duduk di atas kursi empuk warna hijau dengan variasi kembang-kembang berwarna kuning. Kami saling berhadapan—empat mata kami beradu. Kutatap bola matanya yang lebar tapi agak basah—berkaca-kaca dan belum juga membuka pembicaraan. Beliau tampak tak bergairah hari ini.
“Ada perlu apa Bu, mungkin ada yang bisa dibantu”
“Anu, Mas. Mau minta sedekah.”

Aku tak langsung menanggapinya. Aku menanyakan beliau sekarang tinggal di mana. Ternyata tidak jauh dari asramaku, aku belum tahu secara pasti akan kebenaran apa yang diutarakan. Mungkin beliau benar-benar tinggal di sebelah barat asramaku, ia tampak masih segar dengan berjalan kaki. Kalau orang jauh, pasti kelihatan ada setitik keringat atau sehelai rambut yang mampir di atas alisnya.
Aduh. Aku mengingat-ingat jumlah sisa uangku dalam saku. Kemungkinan masih ada tiga ribu rupiah, kembalian dari warung makan tadi malam. Aku diam sejenak. Namanya ‘Aisyah. Nama yang cukup bagus untuk seorang wanita. Ya..Bu ‘Aisyah.
“Ya, insyaAllah ada, Bu.”
Beliau sepertinya hendak berkata-kata mengenai sesuatu yang besar. Aku mulai memasang kedua telingaku lebih baik lagi, khawatirnya salah mendengar atau tak jelas suaranya masuk ke genderang telingaku.
“Mas, saya tidak bekerja. Suami saya sudah meninggal satu tahun yang lalu. Saya nggak tahu harus gimana?”
“Ibu punya anak berapa?”
“Anak saya tiga. Dua putra satu putri. Yang dua di rumah, setiap hari berkelahi. Udah gedhe semua seperti Mas ini. Sedangkan anak saya yang perempuan sekarang entah kemana, saya nggak tahu?”
“Lalu, untuk makan tiap hari, Ibu dapet dari mana?” Tanyaku seakan tak percaya pada apa yang diceritakan barusan. Aku harus waspada juga. Zaman sekarang tidak sedikit orang yang mengaku-ngaku tidak punya keluarga dan sanak family. Lalu meminta-minta pada orang di sekitarnya supaya memberikan belas kasihan padanya.

Sesekali teman satu asramaku melewati ruang tamu. Tanpa menggubris sedikit pun. Menoleh pun tidak, seakan-akan sudah paham kalau Ibu-ibu yang datang pasti meminta sumbangan atau sedekah. Beliau hendak menjawab pertanyaanku beberapa detik yang lalu.
“Sa......saya ke sana kemari, Mas. Memasuki rumah orang untuk sekedar makan. Saya nggak bekerja, Mas. Mau dapet uang dari mana? Kedua anak saya juga nganggur, sekolah nggak tamat. Bekerja nggak mau. Malah tiap hari selalu berkelahi, terkadang hanya karena berebut makanan saja mereka berdua berantem di rumah. Bingung saya, Mas.” Suaranya mulai kedengaran serak-serak basah. Parau.

Aku belum berkedip sekali pun. Kedua matanya tiba-tiba meneteskan air bening dan menjatuhi pipi. Beliau menyeka dengan tangan kanannya. Air mata itu telah lenyap, kini tinggal bekasnya yang berwarna merah. Perasaannya pasti sangat sedih. ternyata masih ada juga orang yang lebih menderita dibandingkan aku. Hari ini, Aku yang tinggal memegang tiga lembar uang seribuan untuk makan sore nanti. Seorang mahasiswa dengan bertumpuk kebutuhan kampus—membeli buku referensi, memfoto kopi makalah, iuran kelas dan lain-lain. Ludes..uang jatah satu bulan untuk dua minggu.

Dua minggu berikutnya aku harus mencari tambahan atau pinjaman dari teman satu kamar atau teman ce-es di kampus. Mau nggak mau harus kulakukan untuk mempertahankan hidup, tapi bukan dengan cara meminta-minta dari rumah ke rumah. Aku masih punya rasa malu, apalagi calon seorang sarjana pendidikan yang akan mendidik bangsa ini untuk menjadi masyarakat yang dermawan dengan berlimpah harta. Murah dalam berinfak baik dikala sempit maupun lapang.
“Sebentar Bu, ya!” Aku meninggalkan ruang tamu dan kembali lagi dengan dua lembar uang senilai dua ribu rupiah. Berarti masih ada seribu rupiah di kantong celanaku. Kumasukan uang itu ke dalam amplop kecil yang hampir lusuh karena sudah dua minggu ini berada di almariku.
“Ini Bu, tapi tidak banyak. Semoga bermanfaat.”
“Niat ingsun sodaqoh, kerono Allah ta’ala.” Niatku dalam hati
“Makasih banyak ya, Mas. Mohon pamit....Assalamu’alaikum.”
“Nggih, Wa’alaikumussalam warahmatullah.”
Beliau keluar dari ruangan perlahan-lahan. Diapitnya amplop itu di telapak tangan kanannya sambil membawa sebuah payung penadah hujan dan panas. Beliau tidak juga turun dari teras asramaku. Aku pun keluar dan menanyakan sesuatu yang terjadi.
“Mas, sandal saya nggak ada.”
Sandal beliau berwarna orange. Aku meminta beliau untuk tetap tinggal di atas teras dan menunggu sebentar.
“Sebentar Bu, saya cari sebentar.” Kataku lalu berlari ke warung makan.
Selang tiga menit kutemukan sandal jepit beliau di warung makan sebelah. Gendut yang memakainya. Ia mengira sandal itu milik teman satu asrama ternyata milik Bu ‘Aisyah yang sedang bertamu ke asrama kami. Dasar Gendut, sandal tamu dipakai seenaknya saja tanpa ijin.
Akhirnya beliau meneruskan perjalanan entah ke mana arahnya. Entah rumah siapa lagi yang akan didatangi. Hari semakin siang—suhu semakin panas. Aku kehilangan dua ribu rupiah hari ini. Aku agak cemas akan keadaanku nanti sore. Apa yang akan aku makan? Dari mana kudapatkan makanan itu sementara uangku tidak cukup lagi untuk membeli nasi dan sayur.
Siang ini aku relakan tidak makan siang. Aku menahan perut yang lapar sampai waktu ashar tiba. Cacing-cacing dalam perut sudah berteriak-teriak menunggu makanan datang. Sehabis shalat Ashar aku berdo’a—berkeluh kesah kepada Allah rabbul ‘izzati akan rizkiku hari ini. Kenapa nasibku seperti ini?
“Ya Allah, aku serahan semuanya kepada-Mu. Meskipun hartaku berkurang, tapi itulah anjuran rasul-Mu dan para sahabatnya. Engkaulah yang mengatur semuanya, ya Rabb. Astaghfirullahal’adzaim.... Astaghfirullahal’adzaim..... Astaghfirullahal’adzaim”
Selesai berdo’a seseorang menepuk pundakku dan berbisik lirih.
“Tung, Untung. Ikut baca yasin di tempat pak RT. Sekarang!”
Kami satu asrama diundang ke rumah Pak RT untuk membaca surat yasin, mendo’akan almarhumah shahibul bait mengenang seratus hari meninggalnya. Sebelumacar dimulai kami dipersilahkan menikmati snek dengan segelas sirop pandan. Ah...segarnya. Sehabis membaca surat yasin dan tetek bengek-nya, hidangan keluar dari ruangan bagian dalam. Nasi, lauk pauk dan sayur. Lengkap sekali. Kami sudah kenyang dengan sajian tuan rumah.
Kami pulang dengan membawa satu bungkus makanan. Sesampainya di kamar, aku membuka bungkusan tadi. Wah.....kue bolu, bulat dan kucicipi sedikit. Manis sekali bercampur rasa coklat susu. Tiba-tiba gendut mendekatiku dan menyelipkan amplop agak besar bila dibanding amplop yang kuberikan pada Bu ‘Aisyah tadi pagi. Gendut alias Rijal, meninggalkan ruangan. Kubuka apa isinya.

 Selembar uang kertas warna merah. Seperti uang seratus ribuan. Eh....ternyata sepuluh ribu. Alhamdulillah. Kedua mataku berbinar-binar. Hatiku mulai bercahaya mendapat kenikmatan yang sangat luar biasa itu. Allah sungguh pemberi rizki terbaik, Dia-lah yang mengatur segalanya. Kejadian buruk yang menurutku tidak menyenangkan ternyata telah tergantikan dengan kenikmatan yang sudah disiapkan oleh Allah. Thank you Allah. Aku semakin yakin bahwasanya bersedekah diwaktu sempit tidak akan membuat seseorang semakin menderita. Hanya kalau bisa bersabar sedikit, Allah akan menghadiahkan sesuatu yang luar biasa kepada manusia.
Pada malam harinya aku sudah bisa tidur nyenyak. Dan dalam mimpi aku bertemu dengan Bu ‘Aisyah yang menangis tersedu-sedu sedang berjongkok di pinggir sebuah makam. Batu nisan itu bertuliskan nama anak perempuannya ‘Alimah binti ‘Aisyah lahir 01-01-1990, wafat 01-01-2009.

No comments:

Post a Comment