Dialah Fuad, santri yang terkenal kuat hafalannya. Pokoknya ia tampak paling pandai di kelas kalau sudah berhadapan dengan Gus Hasbi. Dari kitab Al-Jurumiyah, nadzam Imrithy dan Alfiyah yang seribu dua sajak itu, dengan tekun ia ulangi sehabis shalat fardhu. Seakan tak ada bosannya menghafal materi yang sebanyak itu. Lain halnya dengan Fian, ia santri yang pintar berorasi tapi malas menghafal pelajaran pesantren. Padahal ayahnya seorang ulama terkenal di kampungnya. Mondok di pesantren sudah sejak kecil, sampai sekarang ia sudah duduk kuliah semester akhir, tapi belum satu pun santri putri yang mau jadi teman curhatnya apalagi calon istri. Sehingga skripsi pun selalu tertunda.
Malam rabu ini, pengajian pesantren dibuka resmi oleh pengasuh. Aku, Dicky dan Fuad duduk di barisan paling depan, persis di depan Abah. Kami belum pernah duduk di shof paling belakang. Calon pemimpin masa depan minimal menjadi teladan bagi yang lain! Idealnya ia duduk di barisan paling depan. Kalau di belakang berarti harus siap menjadi rakyat yang dipimpin.
Semua santri berkumpul di dalam masjid, kecuali santri putri yang berada di serambi. Di hadapan para santri yang berjumlah dua ratus orang, Abah menyampaikan ma'uidhahnya terkait dengan mencari ilmu.
"Si Fian tuh, badannya kurus kerontang gara-gara kebanyakan mikirin Vera. Gawat, Fian! Dasar pikiran santri, takut nggak dapat jatah, malah melampiaskan nafsunya sembarang tempat." tutur Abah sambil tersenyum renyah.
Serentak semua santri tertawa, kecuali Fian yang hanya bisa terdiam dengan senyum kecil yang tersungging di bibirnya. Ia duduk di dekat pintu masuk masjid bersebelahan dengan tempat wudlu. Sepuluh detik kemudian, Abah melanjutkan petuahnya.
"Nafsu kalau tidak dipelihara pasti akan liar, konsekuensi sebagai santri yang sedang mencari ilmu itu, harus bisa mengontrol nafsunya. Terutama nafsu untuk cepat menikah. Yang penting di pondok itu belajar yang istiqamah, supaya dapat ilmu yang barakah." tutur Abah menasihati.
Sehabis pembukaan....
Malam ini kami masuk kelas sesuai dengan pengumuman yang telah di pasang di papan asrama. Aku dan Fuad duduk di kelas empat alias kelas Wustha, sedangkan Fian di kelas Ulya, satu tingkat lebih tinggi dari kami. Tibalah saat pemilihan ketua kelas.
"Assalamu'alikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh"
Iping membuka pertemuan perdana di kelas Wustha. Ia santri paling tulen di kelas kami, tapi masih hobi bermusyawarah. Lalu ia melantunkan sederet kalimat pembuka dalam bahasa Arab layaknya seorang Kyai. Bacaannya fasih, tak diragukan lagi karena ia alumni salah satu pondok Qur'an di Kediri, Jawa Timur.
"Temen-temenku yang berbahagia, sudah tiga tahun ini kita bersama di pondok kita tercinta. Masalah pemilihan ketua kelas, saya kira tak usah diadakan lagi. Lebih baik ditunjuk langsung siapa yang pantas menjadi ketua kelas. Kalau saya sendiri jelas memilih Kang Dicky sebagai ketua kelas kita, kalau temen-temen bagaimana setuju tidak?" tuturnya dengan raut muka semangat.
"Kok Kang Iping begitu? Saya tidak setuju dengan apa yang sampean utarakan. Itu namanya tidak demokratis, berarti itu sama saja tidak menghargai pendapat orang lain, bukankah negara kita tidak memberikan contoh seperti itu?" Dicky menyanggah sambil memonyongkan bibirnya.
"Maaf temen-temen, Oke..oke, begini saja. Menurut saya bagaimana kalau kita Voting, ya voting? Itu lebih fer dan tidak menunjuk siapa yang akan jadi pemimpin kita, toh nanti kita akan saling membantu juga kan. Siapa pun dia, kita juga yang akan mendukungnya kan, emang mau siapa lagi kalau bukan kita?" tutur Fuad dengan khas tangan kanan yang selalu ikut maju saat bicara. Pantas saja ia mantan ketua kelas kemarin.
"Maksud saya begini Kang Fuad, malah dengan cara saya tadi, kita telah memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kang Dicky untuk berlatih jadi pemimpin. Kalau demokrasi kan buat pemerintahan, masa cuma pemilihan pengurus kelas saja harus demokrasi. Kayak nggak kenal aja." kata Iping
Tiba-tiba salah seorang santri putri menengahi pergulatan santri putra. Ia wanita paling cerewet di kelas kami, tapi pintarnya tak tertandingi. Komariya
"Eh mas, kalau kita langsung tunjuk siapa, maka yang bersangkutan pastinya tidak terima kan. Coba misalkan njenengan yang ditunjuk oleh temen yang lain, apa njenengan langsung mau menerima? Atau coba tanya langsung sama mas Dicky!" tegas Komariya dengan suara lantang
"Kenapa tidak? It's OK." kata Iping
"Betul, mba! Betul apa yang barusan sampeyan utarakan!" kata Dicky spontan mendukung pernyataan Mba Kokom
"Lebih baik seperti tadi sebagaimana pendapatnya Mas Fuad, Voting!" lanjut Kokom
''Chiyee...Mas Fuad, nie.......h.", suara lebah temen-temen putra bergema.
Kokom melanjutkan argumennya tanpa menggubris suara bising anak putra.
"Meskipun kita sudah saling kenal, tapi apa salahnya kalau kita memberikan kesempatan kepada semua yang ada di sini untuk memilih calon pemimpin kita. Sehingga nanti siapa pun orangnya, ia akan menerima dengan baik, tidak ada alasan untuk menolak, begitu....!" kata Kokom menguatkan.
"Kalau begitu, bagaimana temen-temen? Kita voting aja?" Iping seakan kehabisan ide untuk membantah dua pendapat Fuad dan Ratu kelas Wustha.
"Votii.....ng!!!" serentak santri yang tak ikut bersuara menyatakan setuju dengan diadakannya voting.
Pemilihan ketua kelas berlangsung hanya sekali putaran, tak seperti pemilihan Lurah pondok yang sampai dua kali gelombang, waktunya lama lagi. Hingga pada akhirnya Kang Dicky lah yang mendapat suara terbanyak. Kutatap raut muka Dicky yang sejuk dan pendiam, wajahnya terlihat lebih cerah dibanding sebelumnya. Mungkin tahun ini ia sedang mendapat amanah dari Allah untuk memimpin rakyat. Habis pemilihan itu Dicky langsung memberikan sambutan singkat, ia mengucapkan terima kasih kepada semuanya dan mohon kerjasamanya selama belajar bersama di pesantren tercinta.
Di kamar pengurus......
Dicky mengusap-usap kepalanya sambil berbaring menatap langit-langit. Aku duduk bersandar pada almari yang terkunci rapat milik bendahara pondok..
"Gus, menurutmu kelas kita mo gimana ke depannya?" tanya Dicky
"Aduh, Dick...sante dulu donk! Masa baru saja keluar kelas sudah ngomongin kelas lagi. Apa nggak ada yang lain, tuh baca dulu sms-nya!" kataku
"Slmt y Pk Ktu, smg bs mmbw kls Wustha dg bk. Skses sll 4 us, ttp smgt. Da slm dr Mba Vera tuh."
"Dari siapa Dick? jangan-jangan dari Kokom ya, coba sini lihat!"
Ia menyerahkan ponselnya dan memindahkan ke tanganku.
"We...e....e....ternyata Mba kokom ngefens juga sama kamu."
"Nggak juga Gus, Cuma kebetulan saja aku jadi ketua kelas. Coba saja kalau aku nggak jadi apa-apa, mana mungkin ia sms begini?"
"Eh...Dick, jangan su'udzan gitu ach. Kan nggak baik, dosa loh."
"Ngomong-ngomong, Mba Vera juga jadi anggota fans barumu, hi..hi...?"
"Gus.., ....Gus......" Dicky memanggilku
"Apa, Dick.", jawabku sambil memainkan kamera ponsel Dicky.
"Sini donk....dengerin nih! Menurutmu Mba Kokom cantik nggak? Kalau misalkan sama aku cocok nggak, Gus? ya kafa'ah gitu, katanya orang baik dapetnya orang baik, orang sholeh dapet sholehah terus kalau orang pinter dapet orang pintar nggak? Kalau aku nggak terlalu pinter sih, tapi aku kan masih mau mengaji. Cuma masalahnya Kokom tuh dah kelewat pinter, gimana aku bisa menandinginya, Gus?" kata Dicky antusias
Aku terdiam sejenak sambil memikirkan pertanyaan aneh dari Dicky. Sebelumnya ia menanyakan mau dibawa ke mana kelas kami. Kali ini sungguh lain dari yang kuduga, Kokom cocok tidak dengan Dicky? maksudnya kalau suatu saat jadi calon istrinya.
"Serius nih, Dick? Wallahu a'lam." jawabku ringan.
Kuambil buku "Sirah Nabawiyyah" karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri yang merupakan juara I lomba penulisan sejarah Islam. Kubuka halaman demi halaman, sampailah jari jemariku di halaman tiga puluh satu.
"Di tengah-tengah keluarga, seorang laki-laki tetap pemimpin yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita. Seseorang wanita tidak boleh menentukan pilihannya sendiri. Di sisi lain masyarakat jahiliah mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Seorang suami mengijinkan istrinya menikah dengan orang lain, terjadinya pernikahan spontan, poliandri dan lainnya."
"Biadab! Sungguh masyarakat yang tak punya moral!" kataku
"Masa istri sendiri disewakan. Memangnya barang dagangan, apa?"
Sungguh aku terbawa emosi dengan apa yang sedang kubaca. Tapi lebih aneh lagi pada zaman sekarang, seorang ibu nekad membunuh anaknya, suami yang membunuh istrinya hanya lantaran cemburu buta, pertikaian di mana-mana. Ini bukannya tidak jauh beda dengan jahiliyah zaman dulu, malah lebih mengerikan lagi.
Tak terasa jarum jam menunjukkan pukul 00.00 menjelang dini hari. Kututup buku sirah yang cukup bagus itu dan kurapikan barang-barangku. Di sebelah kananku, Dicky sudah tertidur pulas. Dalam keadaan perutku yang lapar, aku melangkahkan kaki masuk kamar kecil-menggosok gigi lalu berwudlu. Dalam qalbuku, serasa ada rasa-rasa rindu akan duduk bersimpuh di hadapan Allah. Lalu kuganti baju dengan warna putih, memakai minyak wangi lalu kugosokkan perlahan keseluruh badan.
"Hmmm......dah wangi." kataku sambil bercermin
Sehabis shalat.....benar-benar qiyamul lail yang menyejukkan jiwa.
"Ya Allah, hambamu yang hina ini bersimpuh di hadapan engkau Ya Rabb. Engkau Yang Maha pengasih lagi Penyanyang, kami memohon rahmat-Mu ya Rabb. Wahai Dzat Yang Maha pengampun, ampunilah dosa-dosa kami, dosa orang tua kami, dosa guru-guru kami Ya Rabb. Hamba memohon perlindungan kepada-Mu dari azab yang pedih ya Rabb. Maha Suci Engkau ya Allah, pemilik kekuasaan, kerajaan, kebesaran dan keagungan. Jika selama ini hamba telah berbuat maksiat di bumi-Mu, maka ampunilah hamba yang lemah ini ya Rabb. Jika selama ini hamba banyak melakukan kedzaliman, maka dengan segala kemuraham-Mu, ampunilah hamba-Mu ini Ya...Allah. Allah.....Astaghfirullahal'adzim, Alladzi Laa ilaaha illa huwal hayyul qayyum waatubu ilaih. Aku mengulanginya tiga kali.
Tiba-tiba air mataku mengalir deras membasahi pipi. Bibirku senantiasa menyebut nama-Nya yang Agung. Dadaku sesak....sungguh kepedihan itu membuncah kuat sekali. Tak kuasa kumenahan isak tangis malam ini. Kini kumerasa ada dalam pengawasan-Nya, ada getar yang menggoncangkan jiwaku.
Aku duduk di samping pintu masjid sebelah kanan, di atas pangkuanku terbuka Firman Allah yang luhur. Aku mencoba berdialog dengan Allah dengan membacanya. Tiap lafal yang tertulis, sungguh tak ada yang sia-sia.
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya
Air mataku kembali meleleh, kujaga supaya mushaf Al-Qur'an itu tidak basah oleh air mataku. Kuseka berulang kali namun tetap saja tak terhenti, kuambil nafas panjang tiga kali......Lalu kuhembuskan perlahan-lahan. Aku merasakan sejuknya hati ini dalam renggutan Ilahi Rabbi. Seakan semua masalahku hilang, serasa tak ada beban dalam hidupku, kapan lagi pengalaman spiritual ini akan kudapatkan kalau tiap malam kutertidur pulas dengan bantal dan selimut hangat. Sia-sia aku hidup kalau mengakui kesalahan saja tidak bisa apalagi menyempatkan waktu bertaqarrub kepada Sang Maha Pencipta. Sebagai ungkapan rasa syukur kehadirat-Nya.
Satu minggu telah berlalu...
Pagi ini ban sepeda onthelku bocor. Terpaksa aku naik minibus supaya bisa sampai ke kampus. Kami melewati jalan Veteran lalu Gembira Loka dan berhenti sejenak di bawah jembatan layang Janti. Kendaraan yang kunaiki belum juga melaju. Kulihat di samping kanan tempat dudukku, dua orang gadis muslimah berpakaian rapi hendak ke kampus.
"Assalamu'alaikum, Mba Suci ya,........" aku memanggil namanya semoga tidak salah orang.
Ia menoleh kepadaku sambil tersenyum, lesung pipinya sungguh mempesona seperti senyum khas Pretty Shinta, bintang Bollywood terkenal.
"Eh...Mas Bagus, i....Iya..kok tumben naik angkot?" ia nerves
"Iya nih, sepedaku lagi Error, hee...." kataku membalas senyum
" Mau ke kampus ya?"
"Iya..." jawabnya. Lalu tersenyum, giginya putih dan tertata rapi.
"eh......Kalau boleh tahu, Mba Suci ambil jurusan apa ya?"
" Sama kan kayak mas Bagus, emangnya kenapa?"
"Oh...begitu, kok di kelas jarang ketemu ya?" kataku
Belum sempat terjawab
" Kiri Pak......." Veranda kasih interupsi pada Pak Sopir
Karena terlalu asyik berbincang-bincang, ternyata kami sudah di depan gerbang kampus. Aku jadi tidak enak sama Vera, aku lupa tidak mengajaknya bercakap-cakap bersama kami. Ia sangat pendiam, apapun masalahnya-ia hanya bisa diam, diam dan diam.
Kami bertiga turun dari kendaraan dan melangkah ke kampus tempat kami studi. Aku berjalan jauh di depan kedua gadis yang tadi bersamaku. Bayangan semburat wajah Suci masih tergambar jelas dalam ingatanku. Apakah aku telah jatuh hati padanya?
Ternyata aku terpikat oleh kecantikan Suci, Suci Alfiani Rahmaningtyas dari Madura. Seorang putri Almarhum K.H Abdurrahman Al-Hafidz, ulama besar sekaligus pahlawan veteran di sana.
Hari demi hari berlalu, waktu berjalan begitu cepatnya. Ternyata sms-ku sudah banyak yang masuk di ponsel Suci. Hingga tepatnya malam Jum'at di kelas A tempat kami belajar, keamanan pondok putra dan putri memanggil kami; Fuad, Fian, aku, Suci, dan juga Veranda.
"Kalian semua tahu aturan pondok nggak!! Sudah ditulis jelas di tatib pondok "Tidak Boleh Menjalin Hubungan Ajnabiyah" antar laki-laki dan perempuan. Alias pacaran, Ngeyel! Apa mau di nikah sirri kan atau dibawa ke KUA! Kami nggak main-main kok, kalau kalian tidak juga kapok, maka akan kami serahkan langsung sama Pak Yai biar beliau yang mutuskan!" Suara Pak Rijal tegas menakutkan. Seorang koordinator keamanan sudah sepantasnya bersikap seperti itu.
"Bentar dulu Pak Rijal." kata Fuad
"Gimana, Fuad! Kau mau bukti?"
"Bukan, Pak Rijal. Tapi dengarkan dulu penjelasan saya. Bagaimana mungkin sampeyan paham penjelasan saya kalau nggak mau denger. Sekarang saya tanya dulu sama Pak Rijal, menurut Pak Rijal sendiri yang dimaksud dengan pacaran itu apa? Kalau njenengan mampu mendefinisikan dengan baik, tentu itu sangat membantu kami supaya permasalahan ini cepat selesai. Tapi kalau tidak, maka masalahnya mungkin akan berlarut-larut, karena kita beda pemahaman!"
Pak Rijal diam sebentar, lalu menyusul anggota security lainnya
"Kang Fuad, namanya pacaran ya pacaran! Masa kamu tanya pacaran itu apa? Sudah semester lima, nggak becus! Kamu jalan berdua sama lawan jenis itu pacaran, kamu berduaan di tempat sepi itu pacaran dan kamu saling nelpon siang malam itu juga pacaran." ucap Kang Jeconia alias Ndut dengan muka beringas.
Mendengar perdebatan sengit itu, semakin membuat darahku panas dan tersulut bara api permasalahan. Akhirnya aku pun angkat bicara.
"Sebelumnya mohon maaf buat semuanya, kita di sini mau membahas definisi pacaran atau mau sidang? Kalau mau sidang, ya sidang aja…..nggak usah bertele-tele! Membuang-buang waktu saja!" kataku setengah emosi.
"Sudah jelas bersalah, mengelak lagi!" gertak Pak Rijal seraya menggampar meja yang ada di depannya. Kedua gadis itu tak angkat bicara. Wajahnya tertunduk padam dan tangannya tersimpan rapi sambil mendengarkan dialog sengit antara kami dan pengurus.
"Baru kali ini ada santri yang berani sama pengurus, dengarkan semua! Pokoknya besok tidak ada lagi santri yang boncengan dengan lawan jenis di manapun juga. Kalau sampai kejadian ini terulang, maka kami akan menindak lebih tegas lagi dan mungkin kalian akan dikeluarkan dari pondok ini, kalian paham!" tegas Pak Rijal
"Tapi begini Pak Rijal.........." kataku
Fuad menarik pergelangan tanganku dan berbisik lemah.
"Sudah, sudah..... nggak usah digubris lagi, percuma."
"Tapi........"
"Sebagai hukumannya, Fuad, Fian dan Bagus. Habis ini langsung menguras bak mandi dan membersihkan WC belakang, tidak ada tapi-tapian. Untuk yang putri, nanti terserah pihak keamanan putri mau diapain. Dengan catatan, ini yang terakhir kali!"
Tak kuduga Pak Rijal menyuruh kami menguras kamar mandi dan WC.
"Uu...h ..Pak Rijal, nyebelin banget." ungkap Fian kesal
"Udah...udah Yan, nggak usah ngeluh gitu, entar ilmunya nggak manfaat lagi." kata Fuad Sambil menggosok-gosok bak mandi yang terletak paling ujung.
"Kemarin itu kan aku mbonceng Adikku, Adik sepupu sih. Tuh Si Bagus yang seharusnya dihukum." Fian tak mau mengalah, jari telunjuknya menunjuk ke mukaku. Aku hanya tersenyum kecil.
"Ya deh, kan aku niatnya nolong. Suci juga nggak nempel-nempel banget, dia tuh gadis pemalu. Kalau dibonceng sama yang bukan mahramnya, ia ambil jarak sepuluh senti, katanya juga baru satu kali, itupun darurat, segala sesuatu itu boleh kan kalau lagi darurat, tapi sekedarnya saja." kataku
"Haaaaa.......haa........haaa." tawa kami menggelegar keras
Kami serentak tertawa, Fian sampai terbatuk-batuk. Ia tertawa lepas, akan tetapi Fuad tampak diam. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Ia melangkah keluar dari kamar kecil tanpa sepatah kata pun. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal dalam batinnya. Sampai dua jam ke depan kami baru selesai menguras kamar mandi. Namun, Fuad sudah kembali ke kamarnya setengah jam yang lalu.
"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga, Yan." Kataku
Fian kembali ke kamarnya dan menghampiri Fuad. Aku di belakangnya
"Ad, kita makan di luar yuk!" ajakan Fian saat di dalam kamar 3
"Sama siapa?" tanyanya
"Ya kita bertiga lah, aku, kamu dan Bagus, sama siapa lagi?"
"Nggak lah, Males ! Aku masih banyak tugas kampus."
"Bener nih? ditraktir lho.. sama Den Bagus"
"Bener, aku belum pengin kok, makasih." Tolak Fuad dengan santun
Dari luar kamar aku sempat mendengar percakapan mereka. Lalu aku mendekati mereka. Fian sudah siap, tubuhnya harum bau parfum kesukaannya. Kopyahnya bertengger di kepalanya dan sarungnya berkibar pelan mengikuti gerak langkah kakinya.
"Kenapa ya Fuad nggak mau diajak, Gus? Kata Fian saat menunggu wedang jahe khas Klaten. Kami duduk di warung angkring dekat Stadion Mandala Krida. Udaranya dingin, sejuk dan suasana hangat seperti persahabatan kami.
"Nggak tahu juga Yan, eh waktu menguras kamar mandi, kamu lihat nggak perubahan sikap Fuad? Dia cemburu kali, kemarin Suci kan dah aku bonceng, pake motor Fuad lagi. Sebenarnya aku mau nolak tuk nggak mbonceng Suci, tapi mo gimana lagi, yang penting ia pengin cepat-cepat melihat keadaan ibunya di rumah sakit. Ibunya Suci kan kenal deket sama aku, dulu aja pas aku ke rumahnya, Ibunya menyambut baik sekali, terus aku juga ketemu beliau saat belanja di pasar, jadi ......ya gitu dech.."
"O........o, jadi kamu dah kenal lama sama Ibunya Suci. Pantesan, Suci mau dibonceng sama kamu, tapi tahu akibatnya kan? Kena ta'jir, ha....ha.....ha....
"E......emangnya cuma aku doang. kamu juga kan. Semoga apa yang kita lakukan tidak menjadi perbincangan umum Yan, biar Pak Rijal dan temen-temennya aja yang tahu. Aku yakin kok, mereka bisa menyimpan rahasia ini.
Siang hari di kampus.....langit tampak suram
Jam 11.45. Hari Ini Jogja berawan dan tampak mendung. Kuamati kampusku sudah tak seperti awal kali aku masuk. Tiga tahun yang lalu, di tepi-tepi jalan banyak mahasiswa berkumpul sambil berdiskusi tentang Islam, di bawah rindangnya pepohonan lima mahasiswa bercakap-cakap dalam bahasa asing, di pinggiran jalan beberapa mahasiswa yang tidak mendapatkan tempat, duduk dengan penuh konsentrasi sambil membaca buku pelajaran. Setiap ada dosen yang lewat selalu dihormati dan terkadang berjabat tangan penuh keikhlasan.
Tapi........hari ini!! Coba perhatikan keadaan di sekitar kita. Di depan kedua mata, kita melihat dan menyaksikan dengan senyata-nyatanya keadaan pelajar di negara kita. Sungguh memprihatinkan. Dari ujung timur ke barat, dari ujung utara sampai pojok selatan berduyun mahasiswa pulang dan berangkat kuliah dengan pakaiannya yang menutup aurat tapi telanjang. Alangkah kasihan, orang seperti ini tidak akan mencium baunya sorga, padahal bau sorga bisa tercium dari jarak sekian dan sekian. Begitu sabda Rasulullah
Di tepi-tepi jalan banyak di buka pendaftaran anggota baru suatu kegiatan mahasiswa dan sejenisnya, organisasi dan banyak macam acara kampus yang tujuan utamanya hanya sekedar selembar sertifikat. Tapi ilmunya disepelekan, apakah mahasiswa di negeri ini cuma butuh itu? Atau sekedar gengsi punya sertifikat banyak, tapi ilmunya dilalaikan dan dianggap sepele.
Sungguh makna pendidikan di negeri ini terkoyak, di ruang kelas, kita banyak bergelut dengan pemikiran para filosof muslim; Al Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd dan ibnu-ibnu lain yang telah banyak meninggalkan warisan berupa khazanah keilmuan Islam. Namun, sungguh sayang suara-suara kurang enak seringkali terdengar di telinga kita semua. Mahasiswa anarkis bermunculan menolak kebijakan baru dari kampus, merusak pagar-memecah kaca dan membakar gedung sebagai alternatif terakhir kekecewaan mereka. Akal sehat sudah terabaikan, yang ada hanyalah nafsu-nafsu amarah. Pertanyaannya dimanakah pendidikan Islam yang telah diperolehnya selama ini? Etika moral mana yang diusung dan siapa tokoh teladan sikap anarkis tersebut? Ironis sekali...
Aku melangkahkan kaki meninggalkan segerombolan mahasiswa yang sedang membuka stand pendaftaran."Training Shalat Khusyu." Sepertinya menarik, tapi setelah aku tahu waktu pelaksanaannya, aku sangat keberatan karena di waktu yang sama aku harus presentasi kitab fiqih di pesantren. Aku tak mungkin mengecewakan teman-temanku di sana.
Sampailah kedua kakiku di depan masjid kampus, dari kejauhan kulihat Fuad baru selesai dari wudlu. Ia tampak begitu tampan dan berseri-seri setiap kali wajahnya basah oleh air wudlu. Tatapan matanya tajam setajam pemikirannya.
"Hayya...'ala Shalah, hayya 'alal falah."
''Qad qamatishalah...qad amatishalah."
" Allahu akbar....Allahu Akbar."
"Laa ilaha Illallah."
Iqamah berkumandang dengan merdunya sampai semua orang di sekitar kampus mendengarnya. Kecuali mereka yang hatinya telah tertutup oleh kesenangan pribadi dan disibukkan oleh teknologi super canggih, laptop dan ponsel mewah. Terserah mereka, adzan sudah mengingatkannya.
Selesai shalat dzuhur, aku dan Fuad berjabat tangan sebagai lahan diampuninya dosa diantara kami. Aku sengaja shalat disebelah kanannya supaya bisa menatap wajahnya yang lembut sekaligus menjabat tangannya yang putih mulus. Lalu aku keluar lebih dulu dan hengkang dari masjid.
Di tempat yang sama, mereka masih asyik dengan teknologi kesayangannya. Telinganya sudah kebal dengan suara adzan sang Muadzin, baik laki-laki ataupun perempuan sama saja. Sungguh pemandangan yang tidak pantas untuk ditiru. Padahal sebentar lagi pelajaran di dalam kelas dimulai, sungguh dunia hanya sebuah kesenangan yang menipu.
Di dalam kelas, Fuad menyampaikan tentang Pendidikan Islam di Indonesia yang belum juga dirasakan efeknya dalam kehidupan ini.
" Upaya pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, sebagai usaha untuk mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan dan pengajaran, menyebabkan orientasi pendidikan dan pengajaran Islam di Indonesia mengalami perubahan. Namun, menurut Rahman, Indonesia sebagaimana negara-negara Muslim lainnya menghadapi masalah pokok dalam pembaruan pendidikan Islam. Masalah itu menurutnya adalah kelangkaan tenaga guru yang memadai untuk mengajar dan riset, dan bagaimana memproduksi tenaga seperti itu. Karenanya, tak bisa dihindarkan lagi dilakukannya percobaan-percoaan dalam penyempurnaan materi-materi pelajaran Islam klasik dengan pelajaran-pelajaran modern."
Presentasinya sunguh luar biasa, Fuad tak henti-hentinya mempertahankan pendapatnya dan mengungkapkan sederet contoh dalam hidup ini terkait tema yang sedang dibicarakan. Semua pertanyaan yang masuk pun tak ada yang terlewatkan, ia mampu menjawabnya dengan baik sekali.
"Silahkan kalau masih ada pertanyaan lagi terkait dengan pembahasan kita?" tanya Fuad kepada teman-temannya di depan kelas. Ia memberikan waktu tiga puluh detik untuk berfikir, namun tak ada satu pun yang berani angkat tangan. Akhirnya presentasi diakhiri karena sudah dianggap cukup.
Malam harinya....
Jam 18.00 tepat, ponselku berdering kencang. Kuurungkan niatku melangkah ke mushala pondok, padahal baru saja iqamah selesai dikumandangkan. Layar ponselku tertulis sebuah nama yang tak asing lagi "Honey Suci."
"Ada apa malam-malam gini, Suci nelepon ya?" kataku dalam hati
Kuangkat ponselku dan berdiri di teras asrama sambil mencari posisi yang nyaman.
"Assalamu'alaikum." kata Suci dalam telepon
"Wa'alaikum salam warahmatullah." jawabku
"Mas Bagus ya?" tanya Suci
"Iya, bener. Ada apa Suc? Kok tumben malam gini nelpon?"
"Mas Bagus golongan darahnya apa?" kata Suci seperti sedang menangis
" Darah A !! emangnya kenapa, Suc? Ada Apa?"
"Ibuku Mas, sekarang aku di Rumah Sakit Sardjito. Ibuku butuh darah O, bisa minta tolong nggak mas bantuin aku ngusahain darah O secepatnya, malam ini juga, please!"
Aku terdiam-bingung hendak berbuat apa. Satu-satunya santri putri yang tiga tahun ini mencuri hatiku hanyalah Suci, Suci Alfiani Rahmaningtyas. Di saat kritis seperti ini mana mungkin aku bisa tenang. Tidak!
"Mas....Mas Bagus, gimana?" panggil suci, suaranya sudah bercampur isak tangis.
"I........Iya, aku usahain secepatnya. Kamu tenang aja di situ ya, nanti aku kabari kalau dah dapet. Ya udah, sabar dulu ya!" kataku gugup
Telepon terputus. Aku masuk kamar lalu mengenakan celana panjang dan jaket kulit milik Iping.
"Ping, pinjem jaketnya dulu ya. Penting banget nih!" kataku tergesa-gesa
"Mau ke mana Gus?" tanya Iping
"Ke rumah sakit. Eh Ping, siapa yang golongan darahnya O ya?."
"Kalau darahku B, kalau nggak salah Fuad darahnya O. Coba kamu ke kamarnya sekarang! Siapa yang sakit, Gus?" tanya Iping
Aku tak menjawab, langkah kakiku beberapa detik kemudian sampai di kamar Fuad. Fuad sedang menghafal nadzam kitab sambil duduk sila menghadap kiblat.
"Permisi Ad, maaf mengganggu. Aku mau tanya, apa benar golongan darah kamu O?"
" Iya benar. Emangnya kenapa, Gus?" tanya Fuad penasaran
"Alhamdulillah. Ad, bisa minta tolong nggak kamu mendonorkan darahmu malam ini juga?" pintaku memelas
Ia tak menjawab. Raut mukanya tampak seperti orang yang sedang berpikir
"Ya, nggak apa-apa. Kebetulan aku sudah tiga bulan ini belum donor. Tapi ngomong-ngomong siapa yang sakit, Gus?"
"Lebih baik kita sekarang ke rumah sakit dulu. Untuk ijin nggak ngaji biar nanti aku yang urus." Akhirnya ia menyanggupi permintaanku untuk donor darah. Aku dan Fuad melesat ke rumah sakit Sardjito setelah shalat maghrib.
"Gus, hati-hati!! Jangan cepat-cepat, banyak kendaraan!" kata Fuad dengan suara agak tinggi. Motor Fuad melaju dengan kencang, dalam setiap hembusan nafasku, aku selalu berdo'a kepada Allah semoga mereka dalam keadaan baik-baik saja.
Di rumah sakit...
Keadaan di luar masih ramai. Di kanan kiri jalan, banyak para pengunjung yang menemui keluarganya di rumah sakit ini. Suci adalah sahabatku sekaligus belahan jiwaku. Ia juga berhak untuk ditolong dan diberikan bantuan.
Di gedung baru lantai 2, kami menemui Suci, beserta pamannya dan Vera. Fuad merasa heran karena orang yang ditemuinya adalah teman sekelasnya di pondok. Ia mungkin bingung mau berkata apa? Namun aku yakin, ia ikhlas melakukan semua ini. Dengan singkat pembicaraan, lalu Aku dan Fuad menuju ke PMI di Kotagede untuk transfusi darah.
Dua jam kemudian kami baru kembali dari PMI ke rumah sakit dengan membawa dua kantong darah golongan O. Kutemukan wajah cantik Suci sudah dibasahi oleh air mata, tiap detik air matanya keluar. Kedua bibirnya tak henti-hentinya berdo'a memohon keselamatan orang yang paling dikasihinya di dunia ini. Malam semakin larut.....Aku dan Fuad mulai terserang rasa kantuk. Vera, Suci dan pamannya sudah tertidur pulas setengah jam yang lalu.
Sehabis shalat shubuh....
Salah seorang dokter memanggil kami; Suci, pamannya, Vera, Fuad dan aku. Beliau menyampaikan kabar bahwa keadaannya sudah sangat kritis, pihak rumah sakit pun sudah berusaha semaksimal mungkin. Kami diminta menemui Ibunya Suci di ruangan. Kata dokter itu, ada kelainan dalam tubuh ibunya. Seorang ibu tertidur sebatang kara di atas kamar tidur, ia tergeletak tak berdaya. Kami pun menemuinya dengan segera.
"Suci......anakku, kamu baik-baik saja, Nak?" tanya ibunya kepada anak semata wayangnya. Suaranya lemah. Kedua matanya tampak mengecil.
"Betul Bu, ini Suci, putri Ibu. Ibu jangan pergi ya, jangan tinggalkan Suci sendiri Bu, hu.....hu…..Ibu pasti sembuh." tangisan suci tak dapat dibendung
Tangan mulia ibunya mengusap air mata suci untuk terakhir kalinya.
"Maafin Ibu ya, Nak. Ibu mungkin tak bisa lagi menemanimu sampai kau berhasil nanti, Ibu hanya berpesan sekali lagi. Jadilah anak yang baik, kamu nanti tinggal di Jakarta saja dengan pamanmu, biar ada yang memperhatikan kamu. Satu hal, menikahlah dengan orang yang taat kepada Allah!" Suaranya mengecil.
Saat matahari terbit dengan membawa sinar kehidupan. Dengan ungkapan Laa ilaha illallah. Saat itu pula ruh ibunda tercinta kembali ke Rahmatullah. Innalillaahi wainna ilaihi raaji'un. Semua yang ada di ruangan itu meneteskan air mata. Suara tangis Suci semakin keras, Vera pun mencoba menenangkannya.
Aku dan Fuad saling memandang, kami juga ikut merasakan duka cita sebagaimana yang dirasakan oleh mereka berdua. Pagi harinya jenazah almarhumah Nyai Rusmiyani dibawa dengan mobil ambulan ke tempat kelahirannya, Magelang. Aku dan Fuad ikut berbela sungkawa atas meninggalnya almarhumah. Tepat pukul 07.30 kami kembali ke pesantren dengan segala kepiluan dalam hati.
Dua minggu kemudian datanglah sepucuk surat dari Suci.
"Mas Bagus, terima kasih buat semua kebaikannya ya. Begitu juga Mas Fuad. Aku sekarang sudah tinggal di Jakarta bersama paman Syahid. Aku terpaksa harus pindah kuliah di sana, insyaAllah Suci akan menghafal Al-Qur'an memenuhi keinginan Bapak. Suci ingin melihat bapak dan Ibu tersenyum besok di Sorga.
Terakhir, Aku mo jujur, kalau selama ini aku sangat sayang sama Mas Bagus. aku juga tahu kalau Mas bagus juga sangat perhatian sama Suci. Bila memang jodoh, Mas. Tuhan pasti kan mempersatukan kita berdua kelak. Surat ini tidak usah dibalas. Suci mohon maaf tidak menyertakan alamat Jakarta."
No comments:
Post a Comment