Tuesday, July 2, 2024

Bi, AKu Pengin Mondok

        
Memiliki anak laki-laki adalah sebuah kebanggaan bagi orang tua. Dalam berbagai keperluan, laki-laki kelak bisa menjadi wakil dari ayahnya. Seperti halnya, ketika ayahnya diundang acara tasyakuran rumah baru dan ia berhalangan hadir--maka anak laki-lakinya yang menjadi wakil. Contoh lain misalnya, ketika di kampung sedang ada kerja bakti, sedangkan ayahnya sedang ada keperluan di luar kota, maka anak laki-lakinya menggantikan posisi ayahnya untuk kerja bakti.
         Namun, bukan hal-hal demikian yang sangat penting dibanggakan oleh orang tua. Masih banyak tanggung jawab lain yang lebih berat dan hanya bisa dilakukan oleh seorang laki-laki. Bukan berarti memiliki anak perempuan tidak merasa bangga, malah Rasulullah sudah jauh-jauh hari menjamin bagi siapa yang memiliki anak perempuan dan mendidik dengan sebaik-baiknya maka ia berhak mendapatkan sorga.
        Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa saja yang mengasuh dua anak perempuan, niscara aku dan dia akan masuk surga seperti dua ini,’ Rasulullah menempelkan dua jarinya,” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
            Terlepas dari itu semua, ada sebuah kisah penulis selaku ayah dari dua anak laki-laki. Anak kami yang pertama berusia 9,5 tahun. Sedangkan yang kedua berusia 6 tahun. Dalam keseharian, mereka sudah sering sekali mendengar istilah anak pondok, mondok, pesantren, pondok pesantren. Anak yang pertama sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah (MI) mau naik kelas 3. Beberapa teman-temannya adalah anak pesantren di sekitar madrasah. Sehingga sudah tidak asing lagi bergaul dengan para santri pondok pesantren.
            Dalam suatu hari 'yang mbarep' mengatakan dan diulang-ulang.
            "Bi, aku mau ke pondok di Kawedusan"
Saya mendengar dengan jelas apa yang ia ucapkan. Tapi saya masih terdiam.
            "Bi, aku mau mondok ya di Kawedusan" katanya mengulangi
            "Kawedusan mana?" Tanya saya
Lalu ia tersibukkan dengan mainannya dan tidak jelas mendengar pertanyaan saya atau tidak. Saat itu saya seperti orang yang kehilangan arah, bingung mau menjawab apa. Saat ini ia baru naik kelas 3 MI dan hal-hal lain terkait kemandirian sepertinya belum memenuhi serta masih ada rasa kekhawatiran.
            "Iya, besok mondok kalau sudah lulus MI" jawab saya pada kesempatan yang lain
Ternyata selain pernyataan anak pertama terkait pengin mondok, putra kedua saya yang masih berumur 6 tahun juga mengutarakan hal yang senada dengan kakaknya.
            " Bi, aku mau mondok ya?" Katanya dengan sangat polos
            "Iya, siap" Jawab saya dengan menahan getir dalam dada
Rasa getir bukan berarti tidak merelakan mereka tinggal di pondok, akan tetapi untuk saat ini belum bisa terkait ini dan itu yang masih menjadi pertimbangan. Barangkali kami salah dalam berpandangan yaitu menunggu mereka lulus MI terlebih dahulu baru masuk ke pesantren. Setiap orang tua pastinya lebih memahami bagaimana kondisi anak-anaknya. Semoga bukan kemelekatan terhadap dunia karena tidak segera memondokkan anak. Untuk sementara ini kami ingin mendidik dan membimbing terlebih dahulu di rumah, memberikan dasar-dasar berperilaku sebelum bertemu dengan orang-orang di luar sana. Kami ingin mendekatkan jiwa dan hati dalam mengawal perkembangan anak-anak kami. Sungguh amat luar biasa para orang tua yang sudah berhasil memasukkan anak-anaknya ke pesantren di usia dini. Itu artinya, Allah SWT sudah memberikan kebaikan-kebakan yang banyak. Kebaikan murah rejeki, anak-anak patuh yang jauh dari orang tua dan merasa ikhlas, kelapangan hati orang tua yang jauh dari buah hatinya dan kebaikan lain yang belum bisa dilakukan oleh orang tua lainnya. 
Akhirnya saya selalu berdoa dan mengatakan dalam dada
            "InsyaAllah Nak, suatu saat kamu akan tinggal di pondok"

No comments:

Post a Comment