Kesabaran merupakan menahan emosi atau keinginan (syahwat)
yang cenderung membuat pelakunya menyesal. Misalnya seorang ayah yang dibuat
marah oleh anak pertamanya karena usil dengan adiknya. Terkadang ia memukul
atau membentak dengan suara yang membuat anak takut atau menangis dalam waktu
yang lama. Satu dua jam, perasaan bersalah barangkali tidak akan muncul dan
tetap pada pendiriannya bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran.
Akan tetapi, pada saat menjelang tidur—bukan adiknya yang mendekat
ingin tidur dengan ayahnya. Akan tetapi anak pertama yang tadi pagi dibuatnya
menangis dan sempat terkena pukulan yang mendekap di sampingnya. Seorang ayah,
sekeras apapun hatinya—pada saat ini pasti akan mengakui dengan ketulusan hati
bahwa ia bersalah. Kesalahan pertama ia tidak bisa menyelesaikan persoalan
dengan kepala dingin. Kesalahan kedua, membuat anaknya menangis, entah itu
dengan cara memukul atau membentak.
Hati anak di bawah 10 tahun katakanlah, masih suci—ia belum
terpengaruh perasaan dendam seperti yang dimiliki orang dewasa. Bagaimana jadinya
kalau terjadi pada orang tua. Yang satu membentak yang lain atau memukul yang
lain. Bukan lagi perasaan benci yang tak kunjung hilang, akan tetapi bisa
sampai anak keturunannya tidak menyukai orang tertentu.
Bersihnya hati anak kecil jangan sering kita kotori dengan
kata-kata merendahkan atau pukulan secara fisik yang membuat anak menjauh dari
kita. Sungguh mereka belum dikenai dosa sebagaimana kesalahan orang tua yang
langsung dicatat oleh malaikat pencatat amal.
Contoh lain dari sebuah kesabaran yaitu kita yang setiap hari
dihadapkan pada pasangan hidup atau istri. Menjadi seorang suami harus
betul-betul bisa menjaga diri dari segala bentuk suasana. Sebuah qaul
mengatakan, seorang wanita itu ibarat cuaca di sebuah kota. Terkadang cuaca itu
panas, terkadang dingin. Terkadang hujan dan terkadang pula terik sekali hingga
pepohonan kering. Seorang suami ibarat penduduk dari sebuah kota. Ia harus bisa
bertahan dalam kondisi sedang hujan, panas, gerimis, mendung, badai datang
bahkan cuaca yang sangat tidak nyaman.
Pergi dari sebuah kota karena sering hujan atau sering panas bukan
lah solusi terbaik. Karena di kota lain pun tidak jauh beda. Itu artinya,
seorang suami harus betul-betul memahami bahwa ia hidup di dunia dan belum
saatnya tinggal di sorganya Alloh SWT. Tempat di mana manusia merasa sangat
nyaman, tidak ada panas, hujan, badai, musibah, ujian dan segala perkara yang
sangat tisak menyenangkan. Kesabaran akan berbuah manis, bahkan manisnya
melebihi madu. Akan tetapi apabila kesabaran ini terabaikan dengan memilih
jalur menuruti hawa nafsu, maka yang terjadi hanyalah kehancuran dan penyesalan
yang tiada tara.
Para Nabi juga diuji dengan berbagai pasangan hidupnya. Rasulullah
SAW juga diuji dengan fitnah yang menimpa Sayyidah Aisyah, istri yang masih
gadis dan paling cantik. Sayyidah Aisyah dituduh selingkuh dengan Shafwan bin
Al-Mu’aththal As-Sullami Adz-Dzakwani karena kalungnya Sayyidah Aisyah hilang
dalam perjalanan menuju Madinah. Akhirnya berita hoaks menyebar (viral). Atas kesabaran
Rasulullah SAW, akhirnya masalah selesai dengan turunya wahyu tentang berita
bohong (hoaks) tersebut.
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong
itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu
buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari
mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara
mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu
baginya azab yang besar.” (QS.
An-Nuur: 11)
Hingga Rasulullah SAW wafat, wanita yang berada di
sampingnya adalah Sayyidah Aisyah Radiyallahu ‘anha. Manusia terbaik saja tidak
lepas dari ujian pasangannya, apalagi kita yang manusia biasa dan tidak bebas
dari dosa-dosa. Semoga kita bisa mencontoh beliau, manusia teladan kita hingga
akhir hayat.
No comments:
Post a Comment