Wawan Hary
Setiap malam kamis, saya memiliki
tugas menjaga pos ronda di kampung. Alhamdulillah, sudah berjalan satu tahun
yakni mulai sejak tahun 2020. Malam ini saya datang ke posko sekitar jam 21.00
WIB. Suasana sepi, tak ada satu pun orang yang datang. Di depan posko memang
ada satu rumah, alhamdulillah masih terbuka dan ada pemilik rumah yang belum
tidur. Lalu saya menyibukan diri dengan menyapu, menyiapkan karpet, makanan serta minuman.
Sekitar lima belas menit, mobil polisi
lewat depan posko dan berhenti.
“Mas, ambulan sudah lewat tadi ya?”
Sang sopir bertanya dengan mengenakan masker
“Iya Pak, tadi sekitar jam tengah
sembilan”
“Lha terus, kuburannya di mana?”
Degg,
bagai kejatuhan cicak dari atap rumah. Kaget bukan main, ditanya aparat seperti
itu.
“Terus saja pak, paling setengah
kilo lagi sampai”
“Oh ya..ya.., makasih ya Mas”
“Gih pak, sami-sami”
Mobil polisi melanjutkan perjalanan
menuju kuburan. Ternyata malam ini ada jenazah covid di dusun kami. Dua hari berturut-turut,
jenazah covid dimakamkan. Di mana-mana jenazah covid dimakamkan, entahlah. Saya
melanjutkan jaga posko sambil menunggu teman-teman datang, biasanya kami 5
sampai 6 orang. Malam ini sepertinya cuma bertiga. Sebagian ada yang sedang
sakit berminggu-minggu, ada juga yang belum pulang-pulang, dan yang lain sedang
ada kepentingan di luar kampung. Pokoknya kesibukan penjaga bermacam-macam,
tapi bagaimana pun juga—menjaga posko harus tetap jalan karena ada kewajiban
juga harus mengambil uang jimpitan.
Kentongan saya tabuh dua kali,
supaya teman-teman segera datang ke posko. Sekitar setengah jam kemudian,
datang satu orang lalu bertambah lagi satu. Dan sampai jam 24.00, ada 6 orang
yang berkumpul di posko. Kami berbincang-bincang mengenai persoalan kehidupan
mulai dari ketidakcocokan dengan sesama, perjodohan dengan janda, sampai berita
covid yang belum juga ada ujungnya. Katanya sohibul musibah covid dapat bantuan
15 juta, 25 juta sampai 30 juta. Semua itu katanya, entah seperti apa kenyataan
di lapangan.
Sekitar jam 23.00 WIB, mobil polisi
sudah kembali lewat depan posko. Kemudian disusul mobil BNPB (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana), dan terakhir Pak Babinkamtibmas lewat dengan sepeda
motornya yang khas. Semoga tahun ini sepeda motornya bisa ganti terbaru seperti
milik perangkat desa ya pak. Ya minimal N Max, biar semakin menambah kharisma
dalam bertugas. Lebih keren tentunya.
Tepat jam 24.00 WIB. Artinya waktu
jaga kami sudah habis. Kami satu persatu bubar menuju rumah masing-masing. Jarak
rumah saya dengan posko sekitar 100 meter, tapi di tengah-tengah ada jembatan
yang mengenang banyak misteri. Yakni cerita-cerita masa silam yang membuat bulu
kuduk berdiri. Bahkan beberapa bulan yang lalu, seorang pengendara
diberhentikan seorang gadis cantik di tengah malam. Ia minta diantar pulang. Gadis
itu akhirnya berhenti di salah satu rumah kosong dekat kuburan. Dari rumah saya
masih kelihatan rumah kosong itu, ia ada di pinggir jalan akan tetapi
bertetangga dengan kuburan desa.
Siang hari, yang membonceng gadis
itu bertanya pada salah seorang tetangga rumah kosong itu. Namun, ia terkaget
karena rumah kosong itu tak berpenghuni. Semakin merinding bukan?
Teman-teman sudah lenyap dari
pandangan. Saya di depan posko bersama motor matik dan termos warna merah muda.
Saat tak ada satu pun orang di situ, kondisi sepi, tapi lampu terang benderang.
Motor berulang kali saya starter tidak mau, saya ‘selah’ tidak mau juga. Kalau dihitung
barangkali lebih dari 10 kali. Tapi motor tidak berhasil dinyalakan.
“Apa iya aku harus jalan kaki sampai
rumah. Di depan sana ada jembatan yang remang-remang. Duh kok sepertinya butuh
teman untuk pulang ke rumah.”
Saya mencoba lagi dan terus mencoba menyalakan
motor, tapi NIHIL. Sebagai manusia, rasa khawatir dan merinding tetap ada. Semoga
saja tidak ada apa-apa di jembatan sana. Lalu saya membuka tutup tanki bensin,
dan ternyata bensin habis tuntas. Pantesan motor tidak mau nyala. Oke, fix sudah
berarti saya memang harus jalan kaki menuju rumah.
“Bismillah, semoga aman”
Termos warna merah jambu saya taruh di bawah posko, karena terlalu susah membawanya bila sambil menuntun motor. Saya mencoba tetap fokus menatap ke depan. Tanpa tolah sana sini. Lisan saya tak henti-hentinya membaca “Bismillahi la yadurru ma’asmihi syaiun fil ardhi wala fis samaai, wahuwas samii’ul ‘aliim.
Akhirnya saya sampai di depan pintu rumah dengan selamat, tidak ada makhluk yang menggannggu. Alhamdulilah. Hidup harus selalu bersama Alloh, apa-apa yang tidak diijinkan tampak dari pandangan manusia tak akan ditampakkan. Meski sedikit merinding, bulu kuduk berdiri dan pandangan fokus—saya tetap memiliki ‘rasa’ pada umumnya manusia. Ikhtiar memohon perlindungan kepada Yang Maha Memiliki itu penting supaya kita lebih menyadari bahwa segala sesuatu ada dalam genggaman-Nya.
No comments:
Post a Comment