Seperti biasanya, sehabis shalat
maghrib—anak kami yang pertama setoran ngaji iqro. Alhamdulillah sudah sampai
jilid 3. Saya sebagai orang tua tidak terlalu peduli dengan penilaian orang,
kok baru jilid 3 dan lain sebagainya. Bagi saya sebagai ayah, kemampuan dan kecepatan
dalam belajar tiap anak berbeda-beda, oleh karena itu saya memiliki keyakinan
bahwa memang anak saya baru sampai jilid 3 untuk masa sekarang. Saya sudah
sangat bersyukur, dia masih patuh dan tidak terlalu banyak alasan untuk tidak
mengaji. Inilah rejeki. Di mana di luar sana banyak ditemukan anak-anak remaja
yang tidak mau mengaji lagi karena sudah asyik dengan dunianya atau memang
belum tersentuh oleh guru ngajinya.
Setelah selesai ngaji, dia berkata
bahwa setiap malam Sabtu—ia ingin ikut berangkat ke TPQ. Saya mengiyakan. Tidak
masalah seminggu sekali. Kebetulan malam Sabtu jadwalnya membaca sholawat yakni
membaca kitab al barzanji Karya Sayyid Ja’far Bin Hasan Al Barzanjiy. Tentunya saya
tidak menjelaskan seperti mengaji kitab dan memaknai dalam bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia. Sehingga, anak kami tatkala ikut berangkat—tidak banyak
mengganggu bahkan bisa ikut mendengarkan dengan baik atau ia sibuk sendiri di
ruang kantor—bermain dan menyusun mainan kesukaanya. Jadi gedung tempat para
santri mengaji itu, kalau pagi digunakan untuk sekolah PAUD, kalau sore dan
malam digunakan untuk mengaji.
Selain pesan ingin ikut ke TPQ
setiap malam Sabtu, nanti sepulang dari TPQ minta tolong dibelikan cemilan
otak-otak. Makanan ini terbuat dari tepun aci seperti cilok hanya saja
bentuknya lonjong. Makanan ini harus digoreng dulu sampai matang dan ditaburi
bumbu sesuai keinginan. Saya sudah paham, bumbu apa yang seharusnya ditaburi di
atas otak-otak. Apa itu? Balado? Pedas asin? Pedas manis? Atau jagung? Ya,
benar sekali –ia meminta rasa jagung. Enak memang.
Sekitar jam 19.40 ngaji selesai dan
dilanjutkan shalat Isya berjamaah. Memang setiap malam kami shalat Isya
berjamaah di TPQ, para santriwati sudah siap sedia dengan mukenanya dan
peralatan shalat seperti sajadah. Alhamdulillah selama ini berjalan dengan
lancar, para santriwati manut, tidak banyak protes dan tidak tampak menggerutu
di belakang layar.
Senangnya seorang guru yang didatangkan
para santri yang senantiasa semangat dan patuh. Bukankah ini rejeki dari Alloh
SWT? Saya selalu berpesan, bahwa mengaji itu harus bisa merubah perilaku yang
belum baik menjadi lebih baik. Jangan sampai sama, perilaku buruk tahun lalu
sampai sekarang masih juga dilakukan. Semua harus berproses menjadi lebih baik
lagi. Seseorang yang beruntung itu adalah mereka yang hari ini lebih baik dari
hari kemarin. Atau dia yang tahun ini lebih baik daripada tahun sebelumnya.
Saat menunggu para santri mengambil
air wudlu, saya merogoh saku. Alhamdulillah ada uang tujuh ribu. Saya keluarkan
tiga ribu rupiah lalu menuju ke penjual otak-otak dan memesan makanan itu
seharga tiga ribu rupiah. Saya teringat pesan anak saya minta dibelikan cemilan
otak-otak. Rasa bersalah dan kasihan, saat saya pulang dan anak saya belum
tidur—di tangan saya kosong tanpa menenteng pesanannya, toh cuma tiga ribu
rupiah.
“Nggak papa lah, hari ini kan
anak-anak belum tak jajanin.”
Motor saya masuk ke dalam rumah,
anak kedua saya yang berumur tiga tahun berlari menyambut kedatangan saya. Dia sudah
senyam-senyum menunggu makanan yang juga dipesannya. Anak kedua ini meski
suaranya belum terlalu jelas, akan tetapi ia sudah bisa berkata otak-otak. Bagaimana
jadinya kalau saya tidak membawa snack itu? Senyuman si kecil sudah menyambut
dengan gembira, masa iya harus saya kecewakan dengan tanpa membawa apa-apa. Sakit
rasanya hati ini kalau sampai kejadian.
Saya keluarkan bungkusan otak-otak
dan menaruhnya ke atas sebuah piring plastik yang besar. Akhirnya, saya, istri,
beserta kedua anak saya menikmati cemilan otak-otak seharga tiga ribu rupiah. Seperti
itu kami sudah merasa senang, terutama kedua anak saya. Paling tidak, saya
tidak mengecewakan hatinya dan membuat sedih malam ini. Makasih ya Alloh,
berbagai rejeki tidak mampu hamba hitung. Anak-anak yang sehat, para santriwati
yang manut, istri yang tidak banyak menuntut ini itu serta kemudahan-kemudahan
lain yang tidak bisa kami sebutkan. Wallahu a’lam bis showaab.
No comments:
Post a Comment