Wawan Hary
Pagi ini putra kami yang pertama minta dibelikan susu. Ia menyebutnya
sebagai ‘susu bikin’. Yakni susu kental manis yang berupa sachetan dan dibikin
dengan air panas. Bukan cara saya memberikan sesuatu tanpa perjuangan. Akhirnya
satu syarat ia penuhi dengan mengaji terlebih dahulu. Meski dengan sedikit
terpaksa, ia dengan semangat—mengaji tanpa harus menangis. Dan syarat ini tidak
mesti saya lakukan setiap ia meminta sesuatu. Karena sering juga, anak tidak
meminta apa-apa—malah kami membelikan sesuatu yang disukainya. Bukankah cinta
itu memang seharusnya tanpa syarat.
Saya membukakakan halaman 9 pada jilid 3. Seperti biasanya ia akan
membaca doa pembuka terlebih dahulu.
“A’uudzubillahi minasyaithaanir rajiim.
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Rodhiitu billaahi robbaa. Wabil islaami diinaa. Wabimuhammadin
nabiyyaw warosuula. Robbi zidnii ‘ilmaa. Warzuqnii fahmaa. Aamiin ya Robbal’aalamiin.
Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahirabbil’aalamiin. Arrohmaanirrohiim.
Maaliki yaumid diin. Iyyaaka na’budu waiyyaaka nasta’iin. Ihdinas shiroothol
mustaqiim. Shirootolladziina an’amta ‘alaihim. Ghoiril maghdhuubi ‘alaihim
waladldloolliin. Robbighfirlii waliwaalidayya walil mu’miniina aamiin”
Setiap kali saya memperhatikan ia membaca, hati saya ‘nggrenthes’.
Ya Alloh, ini amanah Engkau—saya akan berusaha menjaga dengan sebaik-baiknya. Saya
akan didik dengan sebaik-baiknya. Saya akan ajari ia ilmu agama, ilmu ikhlas,
ilmu hikmah, dan berbagai ilmu yang hamba bisa. Ya Alloh, dia adalah penerus
sujud dan perjuangan untuk ikut menjaga agama ini. Bantu hamba ya Alloh untuk
hal itu.
Meski mengajari anak sendiri tak bisa sesabar mengajari anak orang
lain, saya berusaha untuk terus dan terus menjaga amanah itu supaya lebih
tertata sejak dini. Anak orang lain yang tidak bisa membaca lancar barangkali
kita akan memaklumi karena memang di rumahnya tidak diajarkan dulu oleh kedua
orang tua mereka. Akan tetapi, di saat anak sendiri ada di hadapan kita dan ia
tidak mampu membaca dengan baik—maka sebenarnya bukan emosi semata yang muncul.
Ia adalah luapan kasih sayang pada anak sendiri karena orang tua ingin supaya
anaknya sendiri cepat dalam menangkap materi dan belajarnya berkembang lebih
maju.
Bila anak orang lain sudah diulang-ulang dan ternyata belum mampu
barangkali kita akan bisa berkata: “ya sudah besok lagi lebih giat lagi atau ya
sudah besok diulang lagi ya”. Namun, tidak berlaku untuk anak sendiri—orang tua
diupayakan lebih inten dan istiqomah menjaga waktunya. Menjaga ngajinya,
menjaga belajarnya, dan waktu-waktu produktif untuk belajar. Anak sendiri harus
dididik dengan keseriusan dan kesabaran serta tirakat orang tua yang di luar
kebiasaan orang lain.
Saya setiap hari bisa dipastikan mengirim fatihah sekali buat anak-anak
saya sehabis shalat fardhu. Saya memiliki keyakinan bahwa satu fatihah ini
semoga akan mengantarkan anak-anak saya menuju kebahagiaan hidup dan kesuksesan
di dunia hingga akhirat. Usaha lahir memang sudah sepantasnya kita mendidik
mereka dengan penuh cinta, namun usaha batin tidak kalah penting dalam upaya
ikut mendoakan putra-putri kita menjadi generasi yang shalih-shalihah. Karena sekolah
yang pertama memang sekolah yang berasal dari dalam rumah yakni dari seorang
ibu. Ibu yang gigih mendidik putra-putrinya dengan kebesaran jiwa, niscaya
putra putrinya akan menjadi generasi emas yang membanggakan setiap insan. Wallahu
a’lam bis showab.
No comments:
Post a Comment