Oleh : Wawan Hary
Seorang ibu akan
memberikan apapun yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Bahkan di saat beliau
tidak memiliki. Beliau tetap akan berusaha mencarikan apa yang menjadi
keinginan anaknya. Terkadang beliau akan berbuat sesuatu yang dipandang kurang
baik menurut ukuran adat di masyarakat, akan tetapi hal itu dilakukan supaya
anaknya merasa senang dan tercukupi kebutuhannya.
Suatu waktu, di
saat kecil penulis pernah mengungkapkan ingin disembelihkan hewan kurban atas
nama sendiri. Hal ini diungkapkan beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Adha. Sungguh
kalimat itu terlontar begitu saja tanpa adanya persiapan ini dan itu. Namun bagi
orang tua, apalagi saat itu diungkapkan di depan seorang ibu—sosok yang telah
melahirkan ke dunia—beliau ‘trenyuh’ atau baper. Penulis seolah-olah
melihat kedua matanya berkaca-kaca, namun tak ada yang mengalir. Ada lelehan
hangat yang masih tertahan di bawah bulu matanya.
Hatinya haru dan
bahagia, meski hanya mendengar sederet kalimat sederhana dari seorang anak
kecil yang tak tahu makna idul adha dan seterusnya. Tak lengkap kiranya seorang
ibu yang baper dengan kata-kata anaknya bila tidak disampaikan orang sekitar.
“Bapak ngesuk arep
kurban nang mushola, tahun depan gantian”, ungkap beliau sambil jaga warung
sembako di rumah
Seperti itu yang
dipahami orang tua kami, berkurban dengan nama masing-masing. Logika sederhana,
kelak di akhirat kalau kambing satu dinaiki dua orang atau lebih maka tidak
kuat. Sehingga pemahaman idul adha yakni menyembelih satu kambing untuk satu
orang. Sampai saat ini pun masih seperti itu. Adapun pendapat lain yang
mengatakan bahwa berkurban 1 kambing untuk satu keluarga sangatlah bisa
diterima berdasarkan hadits Rasulullah SAW.
Kembali pada sosok
ibu. Tak berhenti pada hari-hari menjelang idul adha, beliau ketika memiliki
beberapa bungkus daging kambing dan sapi yang diperoleh dari panitia kurban—tak
segan-segan beliau mengirimkan kepada putra-putrinya. Entah bagaimana caranya,
seorang ibu memiliki banyak cara untuk menyampaikan daging kepada mereka. Pernah
kami mendapatkan titipan daging kurban dari ibu melalui panitia kurban.
“Kan di rumah
masih banyak daging, kenapa punya ibu dikirimkan ke sini”
Sosok ibu akan
rela tidak memasak daging asalkan anak-anaknya bisa memasaknya. Beliau akan
mengatakan hal-hal yang membuat anak-anaknya mau menerima pemberian itu, baik
dengan berbohong tidak suka daging, bau yang tidak enak, di rumah sudah ada daging
yang lain serta berjuta alasan supaya kami bisa menerimanya.
Seorang ibu yang
memiliki anak-anak kelahiran tahun 80-90an, barangkali kita ini—bukankah beliau
yang berjuang membela kita saat kita beradu konflik dengan bapak terkait
masalah-masalah tertentu. Sosok ibu hadir dan mencoba mendinginkan suasana
dengan berbagai cara, dalam posisi kita salah pun beliau tetap menjadi embun
pagi yang selalu menetes ke dalam kalbu. Dingin, sejuk, menyejukkan.
Idul Adha bukan
momen paling indah dalam hidup seorang ibu, akan tetapi seorang anak bisa
menciptakannya menjadi hari-hari bahagia seorang ibu yang melihat anak-anaknya
sehat ceria. Bahagia menatap cucu yang saling bercanda, membakar daging kambing
meski dagingnya ‘alot’ bagi mereka. Beliau lebih bahagia menyaksikan putra
putrinya sehat ceria dan rukun damai bila dibandingkan dengan menikmati
lezatnya rica-rica daging sapi dari resep koki nusantara.
Buat yang masih bersama ibunya, ukir terus senyum bahagia di lisan
dan hatinya, jangan pisahkan bahagianya itu. Kedua bola mata, bibir dan hatinya
adalah satu kesatuan wujud kebahagiaannya, dan itu bisa diciptakan. Siapa yang
menciptakan? Tentunya Alloh SWT, huwa adhaka wa abkaa (Dialah Yang bisa
menjadikan manusia tertawa dan menangis) melalui perantara anak-anaknya. Tetap semangat
di Hari Raya Idul Adha tahun ini, berkorban untuk orang-orang terkasih niscaya
Alloh akan datangkan balasan berlipat-lipat dan memberikan keberkahan yang
nyata.
No comments:
Post a Comment