“Kemuliaan
itu didapatkan dengan adab, bukan karena keturunan”
Oleh: Wawan Hary
Kan’an, putra seorang
Nabi dan Rasul Allah harus mengalami nasib yang tragis ditelan banjir. Ketidaktaatannya
pada ayahandanya menjadikan ia anak yang celaka dan tidak selamat dari ancaman
air bah. Ini adalah kisah nyata yang patut menjadi cermin bagi umat Islam
khususnya. Menjadi apapun kita hidup di dunia ini, maka tidak sepantasnya
kemuliaan orang tua diagung-agungkan. Tidak juga
membangga-banggakan harta yang banyak, karena harta itu milik orang tua.
Imam Assyafi’i rahimahullah pernah
mengatakan :”Laisal Fataa man yaquulu haadza abii, walaakinnal fataa man
yaquulu haaa ana dza, bukanlah dinamakan seorang pemuda—dia yang mengatakan
inilah ayah saya. Akan tetapi yang dinamakan pemuda adalah dia yang mengatakan
inilah saya”. Cukup manis bukan perkataan beliau? Melalui lisan beliaulah
kita diingatkan bahwa ayah bagi kita adalah motivator, supporter,
fasilitator yang disediakan oleh Allah SWT supaya kita bisa mencontoh
kerja kerasnya, semangatnya dalam menjalani hidup, ketahanan dirinya dalam
menghadapi berbagai hal yang tidak menyenangkan, membela kita mati-matian demi
keselamatan kita, dan lain sebagainya.
Kita yang memiliki ayah seorang
ketua RT, lurah, camat, bupati, gubernur, presiden, atau raja—sudahlah, itu
semua milik ayah kita. Malah semestinya kita harus berhati-hati dalam
membelanjakan gaji setiap bulannya, karena dalam jabatan itu terkadang muncul
harta-harta yang haram. Kita sebagai anak beliau, yang dicontoh adalah adabnya.
Bagaimana cara ayah kita menjamu tamu, bagaimana ketika beliau masuk rumah
orang lain, bagaimana sikap beliau ketika disuap untuk meng-ACC sebuah proyek
beromset miliaran rupiah? Itu yang kita teladani, ketika beliau menyimpang dari
tatanan syariat Islam, kita pula yang harus memilahnya dan juga meluruskan
beliau.
Atau barangkali ayah kita seorang Guru,
Ustadz, Kyai, bahkan Habaib—sudahlah, itu semua kemuliaan
milik ayah kita. Kita tidak bisa mengambil akhlak mulia mereka begitu saja,
akan tetapi kita harus belajar hari demi hari untuk mempelajari akhlak mulia
beliau. Bagaimana sikap beliau ketika ada tamu yang ngomel-ngomel tak
ketulungan? Bagaimana ketika datang sepertiga malam terakhir, beliau
menyempatkan bangun untuk qiyamul lail atau tidak? Bagaimana akhlak beliau ketika diundang
oleh orang-orang fakir dan miskin dalam sebuah acara? Datang apa tidak? Inilah
beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Bukan sebaliknya, karena merasa ayah
kita adalah kyai besar—lantas ke mana-mana bebas berbuat tanpa merasa khawatir
tindakannya salah atau keliru.
Seorang muslim yang sejati, pasti
akan bisa mencontoh Nabiyullah Ibrahim yang memiliki ayah seorang pembuat
patung berhala, akan tetapi beliau tidak mengikuti jejaknya. Seorang muslim
yang kuat, pasti akan mencontoh Khalifah Ali Bin Abi Thalib meski ayahnya sendiri
sampai meninggal dunia tidak mau mengikrarkan diri masuk Islam. Adablah yang
menjadi patokan kemuliaan seseorang, sungguh bukan keturunan yang menjadikan
diri kita mulai di hadapan manusia lebih-lebih di hadapan Sang Pencipta.
Cukuplah adab Rasulullah SAW sebagai
tolok ukur kemuliaan kita, semakin baik kita mencontoh beliau, semakin mulia
pula kita di hadapan sesama dan Yang Maha Kuasa.
***
No comments:
Post a Comment