Sejak kecil,
kami hidup dalam sebuah keluarga yang sedang-sedang saja. Kekurangan ya tidak,
banyak harta juga tidak. Kami hidup penuh dengan tantangan dari orang tua kami.
Barangkali akan banyak orang mengatakan, orang tua kami tega melepas
anak-anaknya dalam sebuah kemandirian. Ayah kami, beliau seorang petani
sekaligus pedagang sembako. Setiap hari rutinitas kegiatannya kalau tidak pergi
ke pasar, beliau akan mengajak salah satu putranya melihat-lihat pekarangan
atau sawah.
Di saat anak
remaja yang lain sedang bermain bola di lapangan kampung, kami harus ikut ayah
kami menanam tanaman padi ataupun membersihkan sawah yang mulai banyak rumput.
Tidak seperti anak-anak sekarang yang ‘pandai’ bersilat lidah ke sana ke mari
saat diajak membantu pekerjaan ortu. Kami tidak ada upaya dan daya untuk
menolak permintaan ayah yang berkaitan dengan pekerjaan utama beliau.
Saya sempat
meneteskan air mata saat tangan kanan saya menanam padi sambil berjalan mundur.
Ayah kami tentunya tahu, tetesan air mata di pipi. Tapi beliau tetap tegar dan
teguh pendirian untuk tidak memulangkan anaknya saat dilatih bekerja keras.
Kalau sudah demikian, ayah kami akan memulangkan kisaran waktu setengah jam
kemudian. Tangisan itu bukan karena kata-kata beliau yang menyakitkan—akan
tetapi, kami hanya teringat momen-momen bersuka ria bersama teman-teman di
waktu yang sama.
Kini ayah kami
sudah tertimbun tanah. Ia sudah tenang di sisi Alloh SWT. Semangatnya yang
ditorehkan sejak kami remaja tak pernah hilang, bahwa menjadi seorang anak
paling tidak bisa mencontoh sekilas sepak terjang orang tua sendiri sebagai
amal jariah yang bisa dinikmati di alam sana.
Saya menjadi putra
ketiga beliau, di saat mendapat apresiasi sekolah baik rangking ataupun hadiah
berupa nilai ‘cumlaude’—tak ada tampak ceria dan keinginan memberikan hadiah atas keberhasilan putra
putrinya. Padahal di kala itu, beberapa kali prestasi ini saya raih. Dalam
hati, saya sempat kecewa karena menorehkan prestasi dan tidak berprestasi di
mata orang tua tidak ada bedanya. Karena memang respon orang tua kami sebatas
itu, maka setiap kali terima rapot—tugas utama saya adalah membukakan kolom
tanda tangan dan nama ayah saya.
Batin saya
mengucap:”Yah, ini nilai-nilai yang selama ini saya perjuangkan. Ada yang 8 dan
9. Lihat Yah, tidak ada nilai merahnya”
Setelah dibubuhi
tanda tangan, ayah saya memindahkan rapot di tempat yang tinggi. Di sebuah
warung ayah kami ada rak tempat menaruh barang dan buku catatan. Di situlah
beliau menyimpan hasil laporan belajar. Saya pun tidak menanyakan kenapa beliau
meletakkannya jauh dari jangkauan anak-anaknya.
Kini saya sudah
memiliki dua orang anak, laki-laki semua. Perasaan ayah mana yang tidak bangga
memiliki anak yang memiliki kemampuan cukup baik di sekolahnya. Kalaupun ingin
menumpahkan air mata kebahagiaan, tidak lah mungkin seorang ayah akan menangis
di depan anak-anaknya. Waktu itu tak akan terulang, ayah kami pasti melihat
nilai-nilai kami saat kami bermain di luar rumah. Bahkan bisa jadi ayah kami
menangis haru dan bahagia karena deretan nilai dalam sebuah buku laporan kecil
itu.
Di saat kelulusan
SMA, saya diberi tugas untuk demonstrasi bahasa Jepang di atas panggung. Ayah
saya datang alhamdulillah. Beliau duduk di bagian tengah sehingga bisa melihat
penampilan saya. Sayangnya, kenapa waktu itu saya tidak duduk di samping beliau
sesudah tampil? Saya menyibukkan sendiri dengan teman-teman sambil menyaksikan
acara demi acara. Saat itu saya tidak pernah berfikir bagaimana kalau tidak ada
teman di samping ayah? Bagaimana kalau beliau belum dapat snack, dan beliau
malu menyampaikan pada panitia? Ah, kacau sekali pikiran ini di kala itu.
Pikiran remaja saat itu hanya sebatas, saya senang dilihat banyak orang dan
teman-teman satu sekolahan. Egois sekali saya, bagaimana perasaan ayah kala itu
karena memang saya tidak menyempatkan waktu untuk menjumpai dan berjabat
tangan. Sedih rasanya bila hal itu teringat kembali.
Kosan Jogja
Sudah menjadi
karakter orang tua kami terutama ayah, beliau sudah terbiasa melatih
anak-anaknya mandiri dan tidak bergantung dengannya. Bulan Agustus 2005 saya
harus menimba ilmu di salah satu Universitas di Yogyakarta. Saya beranikan diri
untuk berangkat sendiri tanpa diantar orang tua. Saya tidak bisa berfikir
bagaimana nanti malam menginap. Karena saya berangkat ke Kota Gudeg, memang
belum pernah mencari kos-kosan atau asrama untuk menginap. Ayah saya pun
melepas kepergian ke Kota Jogja dengan bekal uang secukupnya dan doa restu dari
mereka berdua.
Tiga jam naik
bus kami lalui dengan penuh kesabaran. Tujuan utama saya langsung pada kampus
tempat menuntut ilmu. Saya mulai berlama-lama di teras masjid sambil bertanya
kepada setiap yang singgah terkait tempat menginap di Jogjakarta. Matahari
mulai bergeser ke arah barat, sebentar lagi pasti ia akan tenggelam. Sedangkan
saya masih terombang-ambing tidak tahu mau ke mana.
Salah seorang
berkacamata duduk sambil memakai sepatu. Sepertinya ia akan pulang ke tempat
tinggalnya.
“Mas, tinggal
di mana?” Tanya saya
“Di asrama
mahasiswa Mas, lha sampeyan tinggal di mana?”
“Mmmm....saya
lagi nyari kos-kosan Mas. Maaf, kalau boleh saya mau nginep semalem di tempat
njenengan bisa nggak?”
“Oh iya nggak
papa, ayo ikut”
Alhamdulillah
saya dapat menginap semalam di tempat seseorang yang tidak dikenal sebelumnya.
Hanya modal nekat saja. Malu urusan belakang yang penting malam itu bisa tidur
nyenyak dan aman sampai pagi. Ayah saya bukanlah pengguna handphone. Beliau
tidak pernah mengoperasikan hp meski anak-anaknya memilikinya. Saya pun tidak
bisa bercerita apa-apa kepada orang tua saat jauh di mata. Orang tua tidak tahu
akan kisah yang terjadi, saya menginap di tempat orang baru dikenal.
Waktu Skripsi
Mengerjakan
skripsi bukan berarti kecil pengeluaran karena tidak ada uang foto copy dan
acara senang-senang. Justru momen-momen inilah, seorang mahasiswa membutuhkan
stimulan dan dukungan materi yang tidak sedikit. Bagi mereka yang merokok,
tentu setiap malam harus disanding dengan kopi dan kepulan asap rokoknya. Saat
ini usia saya semakin dewasa, kebutuhan memang meningkat namun permintaan uang
bulanan pada orang tua malah sudah sungkan.
Saya harus
membeli buku baru yang hanya dibutuhkan beberapa lembar saja untuk memenuhi
daftar pustaka. Saya harus membeli buku non original demi bisa membaca isinya
yang memuat kebutuhan skripsi. Dan akhirnya, saya menjilid skripsi menjadi 5
jilid. Saya berusaha mencukupkan pengeluaran yang lumayan lebih banyak dan
berlipat dibanding bulan-bulan sebelumnya. Ayah saya tidak tahu. Begitu juga
ibu saya. Bukan berarti mereka tidak mau tahu, akan tetapi memang saya dengan
sengaja tidak memberi kabar akan hal ini. Kebutuhan di rumah masih lebih banyak
dibanding yang saya butuhkan. Adik-adik saya harus merampungkan sekolahnya,
sedangkan saya juga harus fokus menyelesaikan kuliah hingga mendapat gelar
S.Pd.I.
Seiring
perjalanan waktu, kami sebagai anak sangat berterima kasih atas didikan dan
ilmu yang diajarkan yakni model orang tua mendidik anak-anaknya. Yang namanya
sayang bukan memanjakan. Sayang bukan memberi yang terbanyak dan terbaik.
Sayang bukan dengan membiarkan anak bermain sepanjang waktu tanpa henti. Sayang
adalah pengorbanan orang tua yang rela dibenci anak untuk sementara waktu dan
akan disayangi anak-anaknya di kemudian hari tanpa batas waktu. Waktu tak akan
terulang. Ayah kami sudah di dalam bumi. Kelak akan saya pegang erat telapak
tangannya dan memeluknya dengan penuh suka cita.
No comments:
Post a Comment